5, Pertemuan Pertama

216 59 67
                                    

2011

MALAM belum terlalu larut. Masih cukup siang untuk ukuran kota sebesar Jakarta. Di salah satu sudut kota itu, kemacetan mengular membuat nyaris semua pengguna jalan menggerutu jengkel. Tapi kemacetan itu berarti anugrah untuk yang lain. Para pedagang asongan, pengemis, dan pengamen semakin nyaman bekerja di saat kendaraan tidak bisa bergerak leluasa.

Sudah terbiasa dengan kondisi kota yang seperti itu, membuat Fabian santai saja menikmati musik di mobil. Mobilnya di jalur kiri, bermaksud menuju gerbang tol. Meski di atas kertas seharusnya jalan tol adalah jalan bebas hambatan, tapi itu belum tentu terjadi di saat jam pulang kantor seperti sekarang ini. Tapi paling tidak jalan tol tidak semacet jalan biasa. Dan tidak ada motor di sana. Pemotor yang benar-benar menguras emosi pengendara roda empat dengan kesemenamenaanya di jalan. Bergerak seperti pasir mengisi celah kosong di antara mobil.

Sesekali dia melongok ke sisi jalan yang lain, mencari pengalih perhatian dari kemacetan itu. Tangannya mengambil botol air mineral dan meneguk isinya. Saat itulah dia melihat pemandangan yang cukup menarik. Keributan sekelompok anak jalanan di sebuah area kosong tepat di sisi trotoar. Ini memang Jakarta, tapi bukan di pusat kota yang menjadi etalase Jakarta. Kehidupan jalanan yang keras cukup jamak di wilayah-wilayah tertentu di kota ini.

Seorang gadis dengan pakaian kumal memegang alat musik ritmik dari tutup botol berusaha menghalau tiga pemuda dengan usia yang jauh di atasnya. Gadis itu berdiri dengan wajah menantang dan tangan teracung. Sebuah waist bag melintang di dadanya. Terlihat dia melindungi tas itu. Tiga pemuda tidak bisa terlalu aktif menyerang. Biar bagaimana pun, kondisi jalan yang ramai bisa memancing orang lain turun dan membela si gadis.

Fabian meneguk lagi air mineralnya ketika kakinya bergerak melepas pelan pedal rem. Mobil bergerak maju semakin mendekat ke kelompok itu. Gadis itu langsung memutar badannya ketika dia merasa ada yang menarik tasnya. Dia langsung berhadapan dengan orang itu. Meski Fabian tidak melihat jelas, tapi siluet tubuhnya menunjukkan gadis itu semakin meradang.

Tak ingin mencari ribut yang mengundang petugas datang, seorang pedagang asongan datang dan meneriaki mereka. Teriakan yang cukup mengalihkan tiga pemuda. Si gadis pun sadar, tak perlu meladeni bocah tua nakal, dia langsung bergerak menjauh. Petugas datang bisa berarti teman-teman seprofesinya bubar. Berarti jalan rezeki mereka tertutup. Dia tidak mau itu terjadi. Tapi tiga pemuda mengikuti langkah si gadis. Beberapa kali di gadis menoleh ke belakang, lalu memutuskan dia harus menyeberang jalan, menjauh dari tiga berandal.

Dia memilih melintas di depan mobil Fabian untuk menyeberang. Saat itulah Fabian menekan klakson keras, membuat si gadis berjengit, berhenti berjalan tepat di samping kiri depan mobil. Fabian membuka jendela sisi penumpang depan sambil melajukan sedikit mobilnya membuat si gadis berdiri tepat di sisi jendela yang terbuka.

"Naik," ujarnya sambil melongok ke luar. Memastikan si gadis bahwa dia yang diajak bicara pengendara di dalam mobil. Tapi tentu si gadis tidak langsung percaya. Dia menoleh ke belalang, mencari orang lain yang mungkin dimaksud orang di dalam mobil itu. Orang terdekat adalah penunggu bus yang berdiri mematung sejauh dua meter di belakangnya.

"Ck." Fabian berdecak. "Iya, kamu. Naik."

Dia makin mendelik dan menunjuk wajahnya sendiri.

"Saya, Pak?"

"Iya. Cepetan. Keburu saya naik tol nih." Gerbang tol sisa antrian beberapa mobil lagi. Fabian pun harus melajukan lagi mobilnya. Ketika si gadis masih berpikir, Fabian kembali bersuara.

"Mending gue yang ngerjain lu daripada preman dekil kayak gitu."

Otaknya cepat mencerna, tanpa sadar si gadis terbirit membuka pintu mobil dan membanting b*k*ngnya di jok.

"Pasang sabuk."

"Iy... iya, Pak."

Fabian mengintip tiga berandal dari spion kiri sementara di gadis bisa leluasa memutar badannya. Tiga berandal masih berjalan di belakang mobil meski pelan dan sambil menggerutu dan memaki. Lepas transaksi di gerbang tol, Fabian melajukan mobilnya secepat kepadatan jalan.

***

Sementara itu, di luar batas kota, cerita lain terjadi di sebuah rumah serupa istana. Megah dan mewah.

Dua orang saling meneriaki dengan mata mendelik sempurna dan tangan teracung dan mengepal. Jelas keduanya sedang berusaha agar tangan itu tidak menyentuh tubuh yang lain. Mereka terus berteriak tak peduli seorang anak kecil yang cantik menjerit menangis ketakutan di atas ranjang di dalam kamar. Kamar yang pintunya terbuka membuat suara keributan di luar terdengar jelas di dalam kamar itu.

Mereka terus saling berteriak.

Namun bukan suara itu yang membuat tubuh seorang pemuda bergetar hebat. Keringat dingin mengucur dan tubuh bergetarnya terpelintir-pelintir di ranjang. Suara teriakan anak kecil masih menembus gendang telinganya di sela teriakan itu. Meski tubuhnya sudah sangat payah, sekuat tenaga dia berusaha bergerak. Tertatih menyusuri lantai dan bergerak limbung sepanjang tangga turun. Matanya yang sudah sulit fokus berusaha mencari sumber suara. Begitu dia melihat bocah kecil yang duduk pasrah di tengah ranjang, dengan sisa tenaganya dia berusaha menggapai bocah itu.

"Shh... tenang ya. Ini Abang." Suaranya memang bergetar, tapi suara itu berhasil sedikit menenangkan si bocah. Setelahnya, bocah itu tenggelam dalam pelukan abangnya. Dia yang kembali tertatih menuju kamarnya lagi dengan si bocah dalam gendongannya.

PLAK

Tepat ketika dua anak manusia itu berdiri di ambang tangga, suara tamparan itu terdengar nyaring. Spontan pemuda itu berhenti melangkah, menoleh sejenak ke sumber suara. Dia melihat si wanita duduk tersungkur di lantai sementara si lelaki berusaha melanjutkan tindak anarkinya. Kehabisan tenaga dan merasa tak perlu melakukan apa pun untuk melerai, pemuda itu kembali melangkah naik. Perlahan dia meletakkan adiknya di atas ranjang. Lalu dia menjatuhkan dirinya ke lantai, kembali terkapar dan menggelepar.

Tak lama seorang wanita paruh baya tergopoh masuk ke kamar itu. Dia langsung tersuruk di lantai.

"Bang..." Dia mengguncang tubuh kesakitan di depannya.

"Bu..." Tangan si pemuda menggapai. "Sakit, Bu." Ekspresi wajahnya jelas menunjukkan itu.

"Bang, Abang ke rumah sakit ya."

Dia menggeleng cepat.

"Pegang Trisha, Bu."

"Abang gimana?"

"Jangan tinggalin kamar ini. Trisha nggak boleh jauh dari Abang, Bu."

"Tap—"

"Kerjain aja sih, Bu."

Si ibu diam.

Batinnya teriris perih melihat pemuda itu menggelepar di depan matanya. Mata tuanya menangis dan dia tidak berusaha menyembunyikan isaknya ketika meninabobokan gadis kecil di dalam gendongannya. Ketika gadis kecil sudah lelap, perlahan dia letakkan di atas ranjang. Lalu dia bergegas ke si pemuda yang kondisinya makin memprihatinkan.

"Bu..."

"Ya?"

"Abang nggak kuat, Bu."

"Nggak, Bang. Bang Tristan kuat. Yang sabar ya." Tangan keriputnya terus mengelus bagian tubuh apa pun dari pemuda itu. Bibirnya tak henti merapal doa. Dia sampai menjatuhkan tubuhnya memeluk Tristan. Berdua mereka merintih dan menangis. Sepanjang malam sampai semua kegaduhan itu mereda.

***

Malam menyimpan banyak misteri. Gelapnya menyembunyikan terang. Cerita-cerita di dalamnya bernuansa kelam. Seperti malam itu. Dua kisah dua manusia yang kelak akan bersinggungan meniti malam yang gelap dan siang yang mendung, seakan matahari enggan menerangi bumi.

***

Bersambung

Author's note
Akhirnya.... Ketemu juga sama Bang Ian ..  Oohh... begitu cerita ketemunya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang