APA lagi ini?
Dia terus memandangi layar ponsel itu tanpa tahu harus membalas apa.
"Trist..." Sebuah suara dan sentuhan di bahu membuatnya sungguh terkejut sampai dia menjatuhkan ponsel dari tangannya. "Kamu kenapa? Kok mukanya tegang amat?" tanya Non sangat serius. "Ada apa?"
"Eh, nggak. Nggak ada apa-apa." Tristan terburu mengatur wajah.
"WA dari siapa? Kenapa muka kamu kayak gitu?"
Tristan mengacak wajahnya sambil membuang napas kasar. Dia menyandarkan kepala ke kemudi, menyembunyikan wajah di sana. Membuat aura ketegangan semakin meningkat.
"Tristan...." Meski lembut tapi Non tidak bisa menyembunyikan tone khawatir di suaranya. "Ada apa?" Namun Tristan tetap diam dan belai di bahunya tidak bisa meredakan gundah.
Merasa tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Non bergerak keluar. Dia membuka pintu sisi pengemudi dan merogoh ke lantai di sela kaki Tristan. Seharusnya jawaban pertanyaannya ada di benda ini. Meski kaki Tristan bergerak memberi jalan tangan Non mengambil ponsel, tapi tetap saja desah resah keluar dari hidung yang masih tersembunyi di balik kemudi. Kembali ke posisinya, Non langsung membuka WA mencari pesan yang bisa menjadi tersangka. Ada nama baru yang tidak dia kenal. Dia buka, dan dia baca. Hanya pesan berisi keinginan bertemu.
Ini yang membuat Tristan langsung berubah? tanya Non dalam hati.
"Ini siapa, Trist?"
Tristan masih diam.
Siang itu terik. Udara malas bergerak sebagai angin. Matahari menyengat dengan kekuatan full tanpa terhalang awan sejumput pun. Kering dan panas. Deru pendingin ruangan di putaran tertinggi memang membuat panas di luar tidak tembus ke dalam mobil tapi ada panas yang lain yang tidak bisa dihalau pendingin udara.
"Tristan..." Non masih berusaha. "Aku nggak tau harus diam nunggu kamu cerita apa aku harus paksa kamu."
Perlahan Tristan bergerak. Non tahu, gerakan perlahan itu demi menjaga luka di dalam tubuhnya. Mungkin seandainya dia bisa mengamuk, dia akan mengamuk. Setelah tubuhnya berada di posisi yang tepat, tetap tanpa suara, dia menggerakkan kemudi. Wajahnya masih kaku. Non sediam patung. Dia hanya terus berjaga saja. Perjalanan pulang menjadi begitu menegangkan.
Non tetap diam ketika Tristan mengarahkan mobil ke flat milik bersama. Dalam hati dia berdoa semoga Angkasa tidak ada di sana. Dan semoga hari ini dia pulang larut malam. Dia tidak tahu berapa lama mereka membutuhkan tempat ini.
Melewati pintu, Tristan langsung masuk ke kamar yang thank God kosong. Di sana dia langsung merebahkan diri dalam gerakan perlahan. Tidur miring membelakangi Non.
Tak tahu harus melakukan apa, Non duduk di tepi ranjang lalu tanpa berpikir, dia menunduk dan mengecup pelipis suaminya. Sudahnya, dia menjauh, memberi jeda pada lelaki itu.
Menunggu... itulah yang dia lakukan.
Duduk di sofa hanya memandangi tubuh yang entah tidur atau hanya diam. Pikirannya kacau. Bagaimana caranya dia bisa mengurus Tristan jika mengatur isi kepalanya sendiri saja dia tidak bisa.
Jarum jam belum genap berputar satu kali ketika dia melihat Tristan bergerak. Duduknya langsung bersiaga. Ini gerak menggeliatkah? Atau yang lain? Gerakan Tristan makin kuat, dan jelas itu bukan geliat. Non langsung loncat dari duduk tegaknya.
"Tristan...." Dia menepuk pipi lelakinya. "Bangun, Trist."
"No..."
"Ayo bangun." Kali ini dia mengguncang bahu. "Tristan...." Masih belum sadar malah gerakannya makin kacau. "Tristan...." Dia menambah volume suara dan beberapa tamparan ringan di pipi akhirnya membuat Tristan membuka mata. Mata yang menatap liar. Napasnya kasar menderu dan mendengus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...