24, Kematian Hati

155 48 54
                                    

"TUNGGU di balai-balai. Gue bikinin mi rebus aja."

Tristan memang akhirnya duduk di balai-balai. Entah menuruti perintah Non atau memang hanya ingin saja. Tak lama, Non datang membawa nampan berisi dua mangkuk mi rebus dan dua mug teh hangat yang masih mengepul. Lalu keduanya menikmati menu darurat dalam diam.

"Gimana urusan sekolah Trisha?" tanya Non sambil menyusun mangkuk kosong dan membiarkan mug teh yang masih terisi di tempatnya masing-masing.

"Tadi gue nungguin nyokap pulang makanya lama"

"Lalu?"

"Malah gue dituduh mau buang anak. Ck. Dia buang anak, gue mungut adek."

"Kok bisa?"

"Sudahlah. Malas banget gue bahas mereka. Sumpah, nggak bakal nyambung sama frekuensi kita."

"Oke. Itu urusan lu. Kesimpulannya, Trisha pindah nggak?"

"Harus. Gue nggak ada pilihan lain."

"Gimana?" tanya Non tak mengerti.

"Gue besok balik lagi. Pastiin surat itu sudah mereka tanda tanganin."

Diam.

"Gue nggak pernah ngerasain punya orangtua. Gue cuma anak dibuang." Tiba-tiba Non bersuara. "Jadi gue nggak ngerti perasaan lu sekarang. Sorry." Dia berbicara tanpa menatap Tristan. "Yang gue pikir, apa nggak bisa banget diomongin lagi? Apa nggak bisa diperbaiki hubungan kalian? Terutama urusan sekolah Trisha."

Tristan mendengus. "Anggap aja kita sama. Sama-sama nggak diinginkan."

"Kalau mereka nggak mau lu lahir, apa susahnya digugurin aja."

"Itu jauh lebih baik."

"Anugrah terbesar dalam hidup adalah hidup itu sendiri. Gue aja yang dibuang kayak gini nggak nyesal kok hidup. Kenapa lu nyesal banget?"

"Buat apa hidup kalau seperti ini?"

"Seperti ini bagaimana? Lu kan masih bisa ubah hidup lu kok. Lu bisa hidup seperti apa yang lu mau. Tapi kasih pilihan. Jangan lu stuck di satu pilihan hidup aja."

"Kan gue sudah milih. Out dari rumah itu."

"Tapi Trisha under ages, dia nggak segampang itu lu ambil alih."

"Lu mau ngomong apa sih? Gue sudah pusing, jangan lu bikin kesal lagi."

"Orangtua lu masih ada. Trisha under ages. Lu mau nggak mau harus berkoordinasi sama orangtuanya Trisha. Ngomong baik-baik."

"Kenapa lu suruh gue ngomong baik-baik?"

"Karena tadi lu nggak ngomong baik-baik ke nyokap."

"Sok tau."

"Trist, baik itu banyak jenisnya. Mungkin lu nggak memaki, tapi lu ngomong maksa, sengak, muka lu jutek."

"Sok tau."

"Kalau tadi lu baik-baik aja, nggak bakal sekarang muka lu senep kayak gini."

Diam.

"Trist, gue yakin, bonyok lu masih bisa diajak ngomong. Mungkin di mata lu mereka sudah nggak ada harganya sama sekali. Tapi kalian masih ada sampai sekarang meski banyak cara melenyapkan kalian, pasti mereka masih ada sayang buat anak-anaknya. Jelas keberadaan gue bisa jadi pembanding."

Diam.

"Besok ngomong baik-baik ya. Selama ini lu ngomong bikin mereka kesal terus. Coba cara lain. Karena kata Einstein, hanya orang bodoh yang berharap hasil beda dengan usaha yang sama."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang