125. Epilog: Laporan dan Diskusi

256 52 77
                                    

HARI sudah malam ketika Tristan memasuki lahan parkir kampus. Melirik jam, masih ada waktu sebelum Non selesai dengan urusannya. Menunggu waktu itu, Tristan memilih sedikit merebahkan tubuh dengan menyetel sandaran kursi lebih ke belakang.

Lelah.

Beberapa bulan sudah berlalu sejak dia bekerja di perusahaannya. Di sana, dunianya makin terjungkir balik. Ternyata, bekerja sangat menguras tenaga dan otak dan waktu. Meski dia meninggalkan kantor ketika hari gelap, tetap saja di tasnya ada pekerjaan yang [se]harus[nya] dia kerjakan di rumah. Namun ini akhir pekan. Dia juga ingin bersantai. Menjelang sore dia sudah menjemput Trisha, mengantarnya pulang, lalu dia kembali ke kantor.

Mengantar ke rumah Bu Tedjo yang akhirnya mereka tempati karena dia kalah suara. Memang tidak ada ayam apalagi domba yang Trisha bawa. Sebagai gantinya, dia memelihara kucing kampung yang dia bawa dari rumah mereka di Bogor. Tolong bedakan rumah mereka dengan rumah papa mereka. Rumah mereka adalah rumah panggung di lereng gunung.

Rencananya, mereka akan ke rumah itu malam ini. Namun melihat waktu dan badannya yang rontok, sepertinya malam ini dia memilih tidur di rumah Bu Tedjo. Mereka belum menemukan frasa lain untuk rumah itu. Terlalu banyak rumah.

Dan kenapa dia memilih malam ini tetap di rumah itu? Ketika begitu lelah bekerja, pijatan Non bisa membuatnya lelap. Tentu pijatan plus-plus khas pasangan suami-istri.

Hah!

Membayangkannya saja sudah membuat ada yang ikut menggeliat.

Hah [lagi]!

Suara dering telepon mengganggu khayalannya. Suara itu tetap terdengar ketika tangannya menggapai benda itu di dashboard sementara dia malas mengangkat punggung dari sandaran. Namun ketika melihat nama di sana, meski santai, dia menegakkan sandaran kursi lalu memasangnya di standing ponsel.

"Yaps," sapanya ketika sambungan terkoneksi.

Vcall.

"Lagi di mana lu? Gelap amat?" tanya Fabian.

"Di parkiran."

"Jemput Non?"

"He eh."

"Gimana kalian?"

"Fine. On our best condition."

"Alhamdulillah." Senyumnya merekah. "Non masih harus dijemput?" tanya Fabian hati-hati.

Tristan mengangguk santai. "Masih. Tapi nggak apa-apa lah. Sekarang kan sudah dekat rumah. Antar sekalian jalan, pulang sekalian jemput."

"Soal antar jemputnya sih nggak masalah, tapi kalian harus concern di traumanya loh."

"Kami belum sempat urusin itu. Ngurus yang mendesak dulu sambil tenangin Non dikit-dikit. Gue sering ajak jalan ke tempat-tempat ramai. Gue ajak menjauh, biarin dia sendirian dulu. Kalau dia nyari, mulai panik, gue langsung nongol. Dia sih bilang, memang butuh waktu, tapi lama-lama akan hilang. Dia sudah ngobrol sama seniornya yang psikiater. Katanya begitu."

Fabian menarik napas lega.

"Bagus deh kalau begitu."

"Mungkin memang rezeki gue jadi supir. Dulu antar jemput Trisha, sekarang Non."

Fabian terkekeh. "Mobil gimana? Mobil gue lu urusin nggak?"

"Tiap minggu ganti mobil euy." Ganti Tristan yang terkekeh. "Gua jadinya ambil dua mobil. Buat Non dan ya..." Dia mengedikkan bahu. "... kalau butuh buat yang lain." Dia mengedikkan bahu lagi. "Gantian aja empat mobil itu dipakai. Kadang Aa dan Ari juga pakai. Kan ditaruh di apartemen."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang