106, Menggali Kuburan Sendiri

276 44 29
                                    

FABIAN Samudra : Mama sakit. Aa harus ke Bandung.

.

Pesan itu Non terima ketika dia melihat Tristan berjalan nyaris melayang sepanjang jalan menuju mobil. Pertemuan itu sudah selesai. Menyisakan Tristan yang makin berantakan. Berita yang baru saja dia terima membuatnya semakin penuh. Sangat penuh sampai tak tertampung dan terasa kosong.

Di depan pintu pengemudi Non menahan tangan Tristan yang akan membuka pintu.

"Aku aja yang bawa ya."

Tristan menoleh untuk menatapnya. Namun tatapan itu seperti bertanya apa maksud kalimat sederhana itu. Membuat Non makin yakin untuk tidak melepas Tristan mengendarai mobil. Terlalu berbahaya mengemudi dengan pikiran seberantakan itu.

"Aku aja yang bawa mobil. Jangan kamu. Bahaya."

"Ck." Setelah mengerti, Tristan berdecak dan menepis tangan Non dari pintu.

"Tristan, sekali-kali kek nurut nggak pakai ngebantah. Nggak ada salahnya disupirin aku kan? Nggak selamanya perempuan harus jadi ratu duduk manis disupirin cowok. Punya harga diri tinggi itu bagus banget. Aku dukung. Tapi dalam kondisi tertentu, turunin dikit lah. Apalagi cuma sama aku. Aku ini istri kamu. Nggak selamanya kamu harus ngelayanin aku kan?"

"Kamu belum bisa bawa mobil." Dia mengelak.

"Kapan bisanya kalau selalu kamu yang jadi supir."

"Ya nggak usah bisa."

"Dulu kenapa maksa aku belajar nyetir?"

"Karena kamu akan butuh itu. Aku kan nggak tau kalau kita akan nikah. Kalau tau, ya nggak usah belajar. Aku aja yang nyetir."

"Tristan!"

"Apaan sih, Non?"

"Sudahlah, kita sudah banyak masalah. Jangan sampai ada musibah lain lagi. Sudahlah mobil bonyok lalu kita berakhir di rumah sakit."

"Naik, Non."

Non malah melangkah menjauhi mobil.

"Non!"

"Pulang sendiri aja sana. Aku mending naik umum daripada disupirin orang mabuk."

Beberapa orang menoleh mendengar kalimat itu.

"Apa-apaan sih kamu, Non." Tristan berjalan beberapa langkah dan menarik tangan Non. "Ayo, pulang."

"Aku yang bawa."

Mereka sudah menjadi pusat perhatian di sana. Dan itulah yang akhirnya membuat Tristan mengalah. Dia menyerahkan kunci mobil pada Non.

"Urusan bawa mobil aja jadi panjang ya sama kamu." Non memasang safety belt lalu berusaha setenang mungkin. Dia harus bisa menunjukkan pada Tristan kalau dia bisa. Iya, dia nekat, tapi ini jauh lebih aman daripada membiarkan orang yang tadi sore menelan pain killer mengemudi dengan kepala sekacau itu.

Sedikit keributan memang berhasil membuat Tristan lebih berisi. Namun itu tidak bertahan lama. Tak lama dari meninggalkan area parkir, Tristan kembali diam. Membuat Non benar-benar bersyukur tadi memaksa mengambil alih kemudi. Non begitu serius mengemudi. Mengabaikan Tristan yang nanti saja dia urus. Namun Tristan pun begitu dalam tenggelam dalam lamunannya sampai tidak sadar mereka menuju ke mana.

"Kok kita ke sini?" tanya Tristan ketika mereka sudah di parkir basement apartemen milik bersama sambil menoleh ke kiri ke kanan memastikan mereka ada di mana.

See?

Tristan sekosong itu.

"Tadi Bang Ian bilang Aa ke Bandung." Dia sudah melepas safety belt. "Ayo." Meski dia merasa sangat lega bisa sampai di sini dengan selamat tapi tetap saja ada hal lain yang harus dia hadapi beberapa saat ke depan.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang