74, Terkurung

159 49 50
                                    

BOLA matanya bergerak acak berusaha mendorong naik kelopak yang membuat penglihatannya terhalang. Namun kelopak itu terasa sangat berat. Meski matanya masih susah terbuka, dia berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia berusaha bergerak, tapi sangat sulit. Tubuhnya begitu lemah, tapi kesadaran itu perlahan datang dan membuatnya panik.

Di mana aku?

Dia makin panik ketika tubuh bahkan matanya sulit bergerak. Entah tenaganya yang tidak ada atau tulangnya yang menghilang. Dia terus berusaha menggerakkan tubuh, minimal membuka keopak mata sambil terus berusaha mengingat kejadian terakhir. Namun semua masih segelap hitam yang menutupi matanya.

Dia makin panik.

Kepanikan yang membuat matanya perlahan bisa terbuka. Dia mulai memindai di mana dia berada. Dia berada di sebuah ranjang di kamar sangat sederhana yang tentu tidak dia kenali. Refleks tubuhnya membuat dia spontan bergerak mundur, menjauh dari apa pun itu yang tidak dia kenali. Dia sendirian di ruang kecil ini. Tubuhnya bebas tanpa ikatan.

Di mana Trisha?

Ya Tuhan...

Dia semakin panik.

Yang pertama dia ingat tentu Tristan. Dia tahu kondisinya memang cukup baik tapi dia berada di situasi yang darurat dan sangat mungkin membahayakan keselamatannya. Di mana ini? Dia terus menoleh ke segala arah mencari petunjuk apa pun itu. Namun nihil. Ketiadaan yang membuatnya semakin panik.

Apa yang Tristan tahu soal kondisinya sekarang? Yang dia bayangkan adalah dia hilang dari pantauan suaminya. Apa Tristan sudah mengetahui keberadaannya?

Dia langsung ingin mengabari Tristan. Mengabarkan bahwa dia baik-baik saja sekadar mengurangi paniknya. Dia meraba bagian depan tubuhnya. Tali sling bag masih ada. Bergegas, dia menarik tali itu membawa tas ke depan. Dengan tangan bergetar dan jantung berdebar dia membuka ritsleting. Dia ingin menangis ketika melihat ponselnya masih ada di sana. Dia ingin langsung menghubungi Tristan, tapi suara anak kunci diputar membuatnya tersentak. Dia langsung berusaha menyembunyikan ponsel itu. Benda yang dia harap menjadi penyelamat. Ingin menyembunyikan tapi tak ingjn jauh dari benda itu, dia berpikir cepat sampai akhirnya dia menyelipkan di pinggang jeans bagian belakang. Menyusul melempar sling bag kembali ke belakang. Bersyukur dia nyaris selalu menyampirkan sling bag di atas t-shirt lalu melapisinya dengan hem seperti saat ini. Mungkin hal itu yang membuat sling bag-nya tidak terlacak. Backpack-nya ada di kaki ranjang. Segera dia sambar tas itu seakan bisa menutupi dirinya.

Pintu itu terbuka. Non berusaha lebih mundur lagi, tapi tentu tidak bisa saat dia sudah ada di kepala ranjang. Dia hanya beringsut sedikit ke pojok ranjang. Yang penting menjauh meski hanya satu inchi, meski hanya gesture saja.

Pintu yang terbuka membawa masuk dua lelaki bertubuh besar berpakaian berantakan. Dalam pemindaan cepat, dua orang itu terlihat sebagai si Botak dan si Codet. Jantung Non makin berdentam. Dalam hati, dia terus melafadzkan doa dan sesekali meneriakkan nama Tristan.

"Sudah bangun tuh. Kata Bos diapain yang ini?" Si Botak berkata sambil melempar kantong kresek ke ranjang. Non makin mengecilkan tubuh.

"Mau dipakai Bos kali." Si Codet menjawab sambil melihat Non selekat mungkin.

Dua mereka terbahak. Mendengar itu Non ingin mati dan dia semakin keras meneriakkan nama Tristan. Wajahnya memucat. Bergetar, dia semakin meringkuk.

"Kalau Bos mau pakai berarti kita nggak bisa icip-icip dulu dong." Si Botak berkata dengan tatapan kurang ajar.

"Katanya masih segel." Si Codet bergerak makin mendekat ke Non yang mendelik sempurna mendengar semuanya. "Si Bos tau aja barang bagus. Langsung buat dia aja."

"Pegang dikit boleh lah."Si Botak seperti mengajak si Codet. Non makin mengecilkan diri.

Dua lelaki itu makin mendekat. Meski takutnya sudah di puncak kepala, Non tetap berusaha memasang wajah tegar dan berani. Dia langsung menghalau tangan yang menjulur ke arahnya. Namun empat tangan tentu tidak bisa dia halau semua. Pertahanannya terbuka, sebuah tangan berhasil meremas kasar dadanya.

"Jancuk!"

Sambil terus menghalau tangan-tangan tak berakhlak itu, matanya menatap marah bergantian ke kedua orang itu. Dua orang itu terbahak terkekeh meledek Non. Jika dia tidak dalam bahaya besar, tentu dia akan mengamuk. Kali ini, dia tidak mau memancing emosi dua orang itu.

"Weh, si Bos memang suka yang galak-galak gini." Kembali dadanya teremas paksa. Membuat si pelaku merasa menang dan terbahak keras. "Gue juga suka sih yang kayak gini."

"Ayo ah, nanti lu mupeng. Kita lapor Bos dulu." Si Codet mengajak dengan kedikan bahu.

"Woy, lu makan tuh nasbung. Jangan sampai pingsan pas digoyang."

Dua mereka bergerak keluar. Non ingin mati saat itu juga. Dia mulai bisa memetakan apa yang terjadi padanya. Tubuh lemasnya mungkin sisa pengaruh obat bius. Dia diculik dan terpisah dari Trisha. Jantungnya mencelus mengingat Tristan seminggu ini merasa ada yang mengikuti mereka.

This is it.

Mendengar anak kunci diputar lagi, Non bergegas mengambil ponsel dari punggungnya. Tangannya masih bergetar hebat ketika dia berusaha mengaktifkan layar. Namun layar di sana hanya menampilkan warna hitam. Frustrasi, dia terus menekan-nekan semua tombol yang ada. sampai akhirnya dia yakin bahwa ponselnya mati dan dia makin panik.

Namun dia segera teringat ponsel lamanya. Dia merogoh ke kantung jeans dan dia makin ingin mati saja. Ponsel itu sudah tidak ada. Tangannya bergarak acak, bibirnya terus menceracau menyebut nama Tuhan.

Bagaimana ini?

Tangannya menarik keras rambutnya. Seakan berusaha menarik keluar ide apa pun dari dalam kepalanya. Bagaimana cara menghubungi Tristan? Dia ingin berteriak tapi dia tahu, dia berada di area penculiknya. Berteriak hanya akan memanggil mereka datang. Melirik jam, dia menghitung efek obat bius.

Sh*t!

Ini sudah dini hari. Mereka memberi dosis berlebih padanya. Dengan kaki lemah, dia memaksa dirinya berjalan meski goyah ke arah jendela yang ternyata berteralis rapat dibalik gorden tebal. Melalui kaca, dia mengintip keluar. Gelap. Tak ada yang bisa dia lihat di luar. Tanpa lampu, dia hanya menangkap samar-samar bayangan ilalang luas dari sinar lemah bulan sabit dan bunyi serangga malam.

Ya Tuhan... di mana aku? Di mana Trisha? Apa yang terjadi pada Trisha? Apa yang mereka lakukan pada anak kecil itu? Apa benar mereka akan memperkosaku? Setelah itu apa lagi yang akan terjadi padaku? Pada Trisha?

Tidak.

Ini tidak boleh terjadi. Dia harus bisa keluar dari tempat ini lalu mencari Trisha. Namun bagaimana caranya? Seandainya teralis ini tidak ada, dia akan memberanikan dirinya turun bahkan meloncat ke luar.

Dia mengguncang-guncang teralis itu. Tentu tak begerak. Membuatnya makin panik.

Ya Tuhan... tolong kami...

Tristan, kamu di mana? Aku takut.

***

Bersambung

Saya lagi ngelonin Aa. Kalau hari ini bisa ngetik 2k, besok saya update TristaNon ya.

Oh iya, Aa itu stuck di urusan pedekate. [Mantan?] fuckboy ketemu cewek jinak-jinak merpati, jual mahal malu-malu mau jadi rada jutek. Saya kekurangan referensi karena sudah lama banget nggak baca romance. So, kalau ada ide, feel free keluarin di sini ya. Secuplek-secuplek, kadang disambung-sambungin jadi juga.

Oh iya #2. Scene-scene di sini akan nyambung di Aa. Iya sih seri lepas. Tapi enaknya dibaca urut. Saya usahakan TristaNon end Aa bisa langsung nyundul.

Wish us luck. Happy reading... Happy? Sad kali ya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang