61, Solusi

167 49 63
                                    

SEBENARNYA Tristan ingin berlama-lama berjarak dengan Non. Dia butuh menyepi, berpikir tentang semuanya dan merasai dirinya sendiri. Tapi saat ini, itu tidak bisa dia lakukan. Tanpa hubungan yang baru pun Non butuh makan setelah malam yang berat ini yang entah kapan akan berakhir.

Dia singgah membeli makan pagi untuk mereka berdua lalu kembali dan menjumpai ruang tengah yang kosong. Menarik napas berat, dia berjalan ke arah kamar.

"Non..." panggilnya sambil mengetuk pintu kamar.

Haruskah dia menunggu jawaban dari dalam?

Setelah menunggu dan mengetuk sekali lagi dan tetap tidak ada jawaban, akhirnya dia membuka pintu lalu melongokkan kepala terlebih dahulu. Ranjang kosong. Non berdiri menatap langit menjelang pagi sambil bersedekap. Melihat itu, Tristan makin runtuh. Non yang kuat, Non yang tegar, kenapa jadi selemah ini?

"Non...." panggilnya pelan. Non hanya sedikit berjengit. "Makan dulu."

Dia menunggu sampai Non berbalik dan bergerak, lalu dia mengikut saja di belakang.

Non membuatkan mereka teh panas lalu mereka makan perlahan dalam diam. Sampai akhirnya bungkus makan pagi itu bersih, dan Non merapikan meja, Tristan baru kembali bersuara.

"Tidur gih."

"Orderan gimana? Nggak enak sudah janji kirim hari ini."

Tristan menarik napas panjang.

"Gue nggak bisa mikir sekarang. Gue juga capek banget. Gue harus tidur dulu. Siang aja kita kerjain."

"Mepet banget."

"Lu juga butuh istirahat, Non."

"Lu nggak ngindarin gue kan, Trist?"

Mendengar itu, Tristan memejamkan mata rapat dan menghitung mundur sebelum bersuara.

"Iya, gue memang menghindar. Tapi bukan secara personal. Gue menghindari hubungan ini. Tapi gue tau, I have to face it."

Jeda.

"Non, kita memang butuh bicara. Tapi kita juga butuh jarak. Di antara dua ini, kita paling butuh berjarak karena pada dasarnya kita sudah sama-sama tau apa yang harus kita lakukan."

Non memijit pangkal hidungnya. Kepalanya mendadak pening.

"Apa lu mau langsung kita berusaha mendekat sebagai pasangan?"

Non menggeleng cepat.

"Nggak, Trist. Gue nggak sanggup. Tugas kuliah gue banyak banget. Gue makin mumet kalau mikir yang lain."

"Ya sudah, kita cooling down dulu aja. Berusaha tetap seperti kemarin."

Untuk saat ini, sepertinya cukup. Hal lain yang mereka butuhkan adalah tidur. Melupakan sejenak semuanya.

***

Menggeliat, perlahan kesadarannya datang seiring matanya yang membuka.

Jam berapa ini? tanyanya sambil melirik dinding. Ketika dia tidak menemukan jam di sana. Dia meraih ponsel.

Hampir jam sepuluh. Pantas badannya terasa jauh lebih segar. Dia tidur mati nyaris empat jam.

Saat itulah sebuah pesan masuk.

.

Fabian Samudra : Ada mobil di basement. Kunci gue titip di sekuriti.

.

Hah?

Bang Ian di bawah.

Bergegas dia menelepon Fabian.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang