TRISTAN hanya bisa tidur sebentar dini hari itu. Meski dia tahu tubuhnya masih butuh tidur, tapi matanya sulit diajak bekerja sama. Dia melirik jam dinding. Masih jam tiga dini hari. Bukan dengkur lembut teman-teman sekamarnya yang bersahut-sahutan yang mengusik tidurnya, hanya isi kepalanya terlalu penuh.
Non benar. Kabur dari rumah membawa gadis kecil sangat merepotkan. Urusan yang sudah jelas di depan mata adalah sekolah. Tidak ada kendaraan membuat semuanya makin susah. Belum lagi urusan yang pasti akan mengganjalnya. Dia yakin orangtuanya akan mengamuk begitu tahu Trisha pindah ke sekolah negeri di kampung. Namun tanpa fasilitas ayahnya, Tristan tidak akan sanggup membayar SPP sekolah swasta berstandar internasional seperti sekolah Trisha sekarang.
Urusan makan pun membuatnya bingung. Apa yang bisa dia kerjakan? Sungguh, dia tidak mau menjadi penumpang penuh di sini. Cukup tempat tinggal yang homy untuk Trisha, jangan yang lain lagi.
Dini hari, menjelang puncak kegelapan malam, dingin makin menusuk menembus kulit dan daging. Tanpa penyejuk ruangan, Tristan merapatkan selimut. Penghuni rumah ini menerima dia dan Trisha dengan tangan terbuka. Membagi semua yang mereka punya meski hanya kamar, lemari, dan ranjang.
Lalu, apa yang dia punya yang bisa dia bagi? Isi kotak yang sekarang dia titipkan pada Bu Darmi? Dia memejamkan mata sangat rapat. Dulu, mungkin sangat mudah memberikan itu pada teman-temannya sekarang. Namun kini, saat dia terlalu menuruti emosi padahal masih ada ego yang harus diurus, hanya isi kotak itu yang dia punya.
Sebersit pikiran yang seharian ini kembali muncul. Salahkah langkahnya? Kalau salah, di mana egonya harus dia taruh untuk kembali ke rumah? Paling tidak Trisha saja yang pulang. Tapi buat apa? Justru Trisha yang paling menderita di sana. Dia sendiri sudah kebal, justru dia yang lebih mungkin bertahan di sana. Kalau dia pulang, sementara Trisha di sini, itu lebih kacau lagi.
Aaarrrggghhh...
Kenapa bisa semua sekacau ini?
Di dini hari itu, Tristan mengacak-acak rambut, kepala, dan wajahnya. Semuanya terasa tidak berada di tempat yang tepat.
Dia terus melamun dan merutuki jalan nasibnya. Sampai suara-suara subuh mulai terdengar, dan satu per satu penghuni kamar menggeliat. Tiga orang di tiga ranjang single bed.
"Lu sudah bangun, Trist?" Ando bertanya sambil melipat selimut. "Apa nggak bisa tidur?"
Tristan terkekeh. "Yang kedua."
"Wajar. Sabar aja. Nanti juga biasa. Secara kalau kita sih ke sini dari neraka ke surga. Lu kan dari surga ke neraka." Ganti Ando yang terkekeh.
"Bukan itu sih, Bang. Gue nyaman di sini."
"Lalu?"
"Impak gue keluar dari sana aja."
Ando langsung mengerti dan dia hanya bisa menarik napas panjang.
"Gue bisa bantu apa?"
"Begini juga sudah bantu banget. Makasih, Bang." Dia berucap setulus ularan tangan Ando.
Keduanya terdiam. Selimut Tristan pun sudah rapi terlipat.
"Bang."
"Ya?"
"Kalau produksi tempe gue dobelin, bisa kejual nggak?"
"Kenapa?"
"Gue pikir, cuma itu kerjaan yang bisa gue kerjain di sini."
"Yakin lu? Kuliah lu gimana? Bang Ian nggak akan setuju kalau lu cuti apalagi sampai berhenti."
"Ya nggak lah. Gua akan usahakan atur waktu. Kalau kalian bisa, ya gue juga harus bisa."
"Trist. Lu nggak usah pusing urusan makan di sini. Masih ketutup untuk tambah dua orang. Nah, urusan sekolah lu yang mau nggak mau harus lapor ke Bang Ian. Mau nggak mau nambah budget kalau nambah dua orang. Apalagi sekolah Trisha, gue yakin wow banget tuh."
"Gue mau pindahin dia aja, Bang."
"Lu pikir-pikir dulu. Jangan gegabah."
Tristan terdiam.
"Gue ngomong Bang Ian dulu deh."
"Selama Trisha masih sekolah di sana, lu pakai aja tu mobil buat antar jemput."
Tristan menghela napas. Antar bisa dia jadwalkan. Jemput? Berapa kali seminggu dia harus membolos? Dia sungguh-sungguh harus bicara dengan abangnya. Secepatnya.
***
Dan yang secepatnya itu ternyata bukan hari ini. Info dari Rey, hari ini Fabian tidak ada jadwal di kampus. Dan lebih parahnya lagi, ada musibah menimpa Rey. Abah berpulang dan semua menjadi kacau bagi mereka berdua. Dia bahkan hanya bertemu Fabian di kelas saja. Fabian begitu sibuk dengan pekerjaannya, terlebih sebentar lagi ujian. Juga urusan-urusan lain. Kejadian di Pangumbahan dan urusan pengkhianatan di kantornya. Lalu dia pun bisa melihat, ada yang aneh dengan dua orang itu. Fabian dan Rey terasa menjauh tapi terlihat rapuh. Melihat ini, Tristan sama sekali tidak bisa mengganggu Fabian.
Teman serumahnya tidak ada yang mengizinkan dia mengambil keputusan tanpa pertimbangan Fabian. Apalagi di urusan sekolah. Ini titik krusial yang sangat dipahami adik-adik Fabian. Menghadapi itu, menunggu waktu yang tepat, dia hanya bisa menyabarkan hati saja.
Sebulan ini, dia mengatur waktunya sangat ketat. Beruntung ada Dewa dan Seto yang mau bergantian membolos untuk menjemput Trisha demi angka membolos Tristan sedikit tertolong. Ada mobil Rey yang menjadi ganti mobil operasional tim enam. Dia hanya bisa berdoa, orangtuanya masih terlalu abai untuk mencari anak-anaknya. Namun demi mengamankan semuanya, di akhir pekan Tristan membawa adiknya pergi ke rumah orangtuanya.
Ya, dia sudah menganti kata pulang untuk ke rumah orangtuanya. Kata pulang sekarang untuk ke rumah mereka. Rumah panggung dari kayu di lereng gunung. Meninggalkan rumah ini berarti pergi.
Melihat Trisha ketika pergi ke rumh orangtuanya, sebenarnya sangat membuat Tristan semakin yakin membawa adiknya itu pergi. Trisha tidak pernah mau pergi ke sana. Pun dipaksa, dia akan menangis menjerit ketakutan. Membuat semua terenyuh. Dengan dalih Bu Darmi rindu Trisha, meski masih menangis, Trisha akhirnya mau bermalam semalam di rumah orangtuanya. Anak sekecil itu sungguh tidak butuh fasilitas paripurna untuk hidup. Mereka sangat abai urusan itu.
Seperti Sabtu tadi. Tristan mengantar Trisha pergi ke rumah orangtuanya setelah drama satu babak yang panjang. Tak mau pulang.
"Kok lu pulang? Trisha nggak nyariin lu kalau lu ke sini?" tanya Non ketika melihat Tristan melamun di balai-balai. Hari sudah malam. Ando yang ada di sana hanya seperti pelengkap saja. Sama-sama diam. Hanya ada mereka bertiga menikmati malam di akhir pekan bersama dingin.
"Dia nggak tau gue ke sini," jawabnya datar. "Gue kabur."
Non terkekeh.
"Lu tuh ya, hobinya kabur."
Tristan melirik sinis pada gadis yang duduk di balai-balai di depannya.
"Kenapa lagi sih? Nggak bisa apa lu semalam aja di sana? Temenin Trisha. Tu anak asal pas balik dari sana, dia tuh kayak orang yang lega banget bisa ke sini lagi. Memang dia bilang sih, senang banget bisa balik."
"Nggak apa-apa. Ada Bu Darmi."
"Iya memang ada Bu Darmi. Tapi kalau dia sadar abangnya nggak ada apa nggak bikin drama lagi tuh bocil?"
"Mau nggak mau."
"Kenapa lagi sih?"
"Gue ketemu sama Papa di sana."
"Lah, ya kan itu rumahnya. Lu boleh berharap nggak ketemu, tapi ya kemungkinannya kecil."
"Gue ketemu dan ribut lagi," ujarnya berusaha datar. Tapi wajah marahnya tentu tidak bisa rapi dia sembunyikan meski gelap dan dingin sudah utuh menguasai hari.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...