48, Cemburu [?]

152 46 28
                                    

LANGKAHNYA yang melambat akhirnya berhenti ketika melihat Non tergelak begitu lepas.

SH*T!

Mendadak dia ingin melontarkan semua makian yang dia tahu. Berusaha tetap menatap ke depan, tapi ada yang bergolak di hati yang membuatnya mendongak sambil menarik napas sepanjang mungkin, mengambil semua oksigen yang mendadak menipis. Secepat yang dia bisa, dia menghalau semua yang mendadak mengganggu. Setelahnya, dia kembali menatap ke depan, ke arah gadis itu, lalu kembali melangkah. Saat itulah Non menyadari kedatangannya. Dengan senyum mengembang maksimal Non melambaikan tangan menginfokan keberadaannya memanggil Tristan.

Dia memilih membanting bokong di kursi di samping Non.

"Dari tadi selesainya?" tanyanya sebagai salam pembuka.

"Nggak juga. Cuma pas ke sini ketemu Mas Bimo." Dia tersenyum lagi. "Kenalin deh. Ini Mas Bimo, senior gue. Asdos anatomi. Ini lagi morotin ilmunya sambil temenin dia makan."

"Bimo." Lelaki itu menjulurkan tangan.

"Tristan." Dia menyebutkan nama ketika menerima jabat tangan dari lelaki itu. Dia berusaha sebaik mungkin, senormal mungkin.

"Tristan ini yang ngajarin aku jualan, Mas." Non melanjutkan perkenalan kedua lelakinya. "Lumayan lah buat jajan aku."

Aku?

Akuuu???

Tristan nyaris tersedak ludahnya sendiri.

"Oh, iya, boleh juga tuh belanja di olshop kalian. Kata Non barangnya ori harga miring."

Tristan mengedikkan bahu.

"Reject dari pabrik."

"Nggak apa-apa kalau cuma cacat dikit."

"Main aja ke lapak gue, Bro. Batara Tristan."

"Oke, nanti gue minta link-nya ke Non deh."

"Sip." Dia tersenyum tipis nyaris hanya berupa dengus. "Jalan sekarang?" ujarnya kali ini pada Non.

"Mas Bimo masih makan, masa ditinggalin."

"Oke." Iyakan saja.

Duduk santai, dia mengeluarkan bungkus rokok dan mengambil sebatang, menyalakan, lalu langsung mengisapnya. Membuang kepulan asap sembarang saja.

"Ish, Tristan!" Non mengibas tangan menghalau asap.

"Apaan sih?" Dia melongok ke segala arah. "Nggak ada sign larangan ngudud kok." Santai, dia meletakkan sebelah tangannya di sandaran kursi yang Non duduki. "Biasanya juga lu santuy aja kalau gue ngudud. Kan ini bukan di rumah."

"Mas Bimo nggak ngerokok, Trist," bisiknya dengan bibir rapat.

Namun ucapan itu membuat Tristan terbatuk sampai Non harus membantunya minum.

"Tuh kan, ngudud itu ngundang penyakit."

Saat itu, Tristan sangat ingin merokok dan membuang asapnya tegak lurus ke depan. Namun, demi sopan santun ketimuran, dia mengalah. Meski tetap merokok di tempat yang sama, Tristan berusaha membuang asapnya sejauh mungkin dari dua orang itu. Sementara dia merokok, Non dan Bimo melanjutkan diskusi entah apa. Tak ada yang Tristan mengerti, dia memilih berselancar di gawai. Sampai akhirnya Bimo selesai menghabiskan porsinya dan mereka beriringan berjalan ke arah gerbang yang ternyata melewati tempat mobil Bimo diparkir. Tiba-tiba Tristan merindukan mobil yang biasa dia pakai ke kampus. 4FWD kelas premium. Selevel dengan SUV yang Bimo pakai.

"Kalian mau ke mana? Aku antar dulu."

"Eh, nggak usah, Mas. Terima kasih." Dengan langkah ringan Non berjalan sambil melambaikan tangan pada Bimo.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang