43, Rumah Baru

165 51 26
                                    

NAMUN semua berjalan begitu saja. Akhir pekan mereka optimalkan untuk bekerja. Mereka melihat langsung ke beberapa penjual, mengambil gambar produk, membayar pesanan, mengambil pesanan yang tidak bisa dropship, lalu membeli beberapa barang untuk stok. Di hari kerja semua mereka kerjakan online. Pembeli terhubung dengan Tristan kemudian Tristan menghubungi Non lalu Non melanjutkan pesanan ke penjual sambil mencatat pesanan dan pernak pernik administrasi lainnya.

Tidak ada waktu bersantai untuk mereka. Setiap waktu mereka optimalkan untuk belajar dan bekerja. Untuk Non ditambah mengurus rumah dan adik-adiknya dan Tristan mengurus Trisha.

***

Hari itu akhirnya datang juga. Di satu akhir pekan, rumah panggung yang baru akhirnya sudah bisa mereka tempati meski belum sepenuhnya selesai. Setelah berbulan-bulan menunggu, akhirnya hari itu mereka bisa berkumpul di tengah rumah yang masih belum sempurna. Belum ada plafond dan belum dicat. Mungkin hanya akan dipermis untuk mempertahankan warna kayu alami seperti di rumah aslinya dan rumah yang lama.

Ari berjalan perlahan berkeliling rumah. Dia memasuki satu per satu kamar yang ada, merasai rumahnya di kampung halaman. Yang lain pun sama. Angkasa, Dinda, dan Nana yang pernah melihat langsung rumah asli merasa rumah itu benar-benar mirip aslinya. Tristan merekam rumah itu dalam mode video dan foto lalu mengirimkannya pada Fabian yang meneruskannya pada Mami. Non sibuk di dapur bersama beberapa orang yang bisa diharapkan membantu. Heri lebih bisa diandalkan di dapur daripada Wini.

Makan siang kali ini terasa sangat menyenangkan. Mereka tetap memilih makan di balai-balai demi ditemani semilir angin.

"Lu belajar masak di mana sih, Non?" tanya Dewa sambil tidak berhenti mengunyah.

"Sama Bu Barjo. Kan pas pertama ke sini tinggal di Bu Barjo. Ya sekalian aja belajar masak."

"Pantes bisa masak banyak."

"Memang kenapa?"

"Masak banyak dan sedikit kan beda. Kalau cuma masak seporsi dua porsi sih biasa. Tapi kalau bisa masak buat sekampung itu luar biasa. Bisa buka katering."

"Kalian yakin sudah mau tinggal di sini?" Ari bertanya. "Rumah ini belum jadi."

"Nggak apa-apa, Bang." Dadang yang menjawab tentu sambil mengunyah penganan. "Bang Ando aja lama tidur pakai tenda di sini. Kasihan kalau kelamaan sendirian."

"Iya, Bang. Ini juga sudah bagus kok. Sumpah. Sudah bagus banget ini mah. Yang penting ada atap. Dinding mah nggak terlalu perlu."

"Kok gitu?" tanya Nana.

"Atap biar nggak kehujanan. Susah tinggal di tempat yang nggak ada atapnya. Kalau kepanasan atau kedinginan masih bisa diakalin. Kalau hujan? Susah ngakalinnya kalau nggak ada atap. Kalau tidur di tempat yang nggak ada dinding sih kami dulu sering banget. Buat kami, rumah ini sudah mewah banget. Ada kamar lengkap sama kasurnya. Bisa makan tanpa harus cari uang, malah bisa sekolah. Kurang apa lagi?"

Semua diam dengan alasan sederhana itu. Sederhana tapi bermakna. Turunkan standar kenyamanan hidup serendah-rendahnya untuk mudah menikmati hidup.

Ari mengangguk dan tersenyum tipis.

"Apa pernah ada kejadian yang datang lagi?" tanyanya.

"Nggak ada, Bang. Kami rutin kok ngecek CCTV. Nyaris setiap detik hasil rekaman kita lihat. Aman."

"Kan sudah ada alarm juga. Lebih aman lagi." Angkasa menambahkan.

"Iya, A. Lagian kamar cowok kan di atas gitu. Jadi mirip menara pengintai. Dari atas tuh jelas banget ke arah jalan." Ando menjelaskan membuat yang lain melihat ke arah area kamar bujang di atas garasi.

Bangunan itu pun belum sempurna. Rumah ini benar-benar memakai prinsip yang penting bisa ditempati dulu. Mereka lebih merasa tenang jika bisa menjaga langsung rumah itu bersama-sama.

"Kalian mau bikin tempe lagi?" tanya Seto.

"Nggak kepegang kayaknya." Heri yang menjawab. "Kita sih bisa kerjain. Tapi yang tau ina inu-nya kan Teh Non."

"Kalian tuh sudah bisa. Cuma nggak pede aja."

"Kalau kalian mau bikin lagi, nanti Aa beliin alat-alatnya lagi."

"Dang beliin sapi kek, A." Si Dadang ini memang yang ada di kepalanya hanya binatang saja. Dia seperti ingin membuat kebun binatang di sana.

"Sama Bang Ian nggak boleh, Dang." Heri mengingatkan. "Nggak kepegang."

"Kamu nanti mau kuliah di Peternakan apa di Kedokteran Hewan, Dang?"

"Mau di Kedokteran Hewan aja, biar kalau Bang Heri sakit Dang aja yang obatin, nggak usah ke Teh Non." Heri langsung menoyor sadis dahi Dadang. Tapi Dadang hanya ikut terkekeh seperti yang lain. "Enakan pasiennya binatang tau. Nggak bawel. Dikasih obat apa juga terima. Nggak seringg curcol. Nggak manja, kalau manusia disuntik aja takutan."

Pembicaraan random itu berlanjut sampai akhirnya yang bukan penghuni rumah berpamit satu per satu. Sisa Tristan yang tidak jelas statusnya. Anak kos, tapi terlalu sering hinggap di rumah itu. Sepertinya dia hanya menumpang tidur saja di kos.

Malam ini ada kekecualian. Mereka diizinkan Ari bubar lebih lama dari malam normal. Dia sendiri pulang sejak jam delapan malam. Tapi penghuni rumah sudah berkurang satu per satu. Tersisa Ando, Heri, Tristan, dan Wini. Tak lama Non menyusul. Dia sudah berhasil menidurkan Angi.

"Rumah sudah ditempatin, Trisha gimana?" tanya Ando.

"Dia sudah nanyain terus sih kapan bisa ke sini lagi," respons Tristan.

"Lalu?"

"Ya mau nggak mau harus diajak ke sini sesekali." Tristan mengedikkan bahu. "Mungkin dari sekolah langsung ke sini. Malam minggu baru balikin ke rumah bokapnya. Minggu anterin lagi ke asrama."

"Dia pulang tiap minggu?"

"Sama sekolahnya sih diizinin tiap minggu. Tapi gue pikir, kalau keseringan pulang nggak bagus juga. Jadi gue jatahin sebulan sekali. Tapi kalau kepepet bolehlah ekstra pulang. Cuma ya sekarang dia ngambek mulu karena gue jarang bisa main sama dia. Ya habis kapan waktunya? Paling sesekali gue jenguk pas hari sekolah. Ketemu sebentar aja." Tristan memijat keningnya yang mendadak berdenyut.

"Mungkin gini, Trist." Non angkat suara. "Kalau pas Trisha libur, ya kita libur juga aja."

"Gue perlu duit dari jualan itu, Nona."

"Kayaknya kalau weekend kalian kerja di sini dan Trisha ada di sini beres deh. Bisa lah sekalian kerja sekalian main sama Trisha."

"Ya itu juga paling hari Minggu. Tapi dia kan harus absen di rumah sana juga."

"Kayaknya mending lu ganti deh jadwalnya. Dari asrama ke sana dulu, malam Miggu lu jemput ke sini biar Minggu bisa main sama lu. Balik ke asrama dari sini," usul Non.

"Kayaknya mending begitu deh." Dia berpikir ulang tentang jadwalnya dan jadwal Trisha.

"Lu nggak capek kan bolak balik begitu?" tanya Non sambil berkerut kening. "Pakai mobil aja," usul Non.

"Ask yourself, Non." Tristan mendengus sambil melirik gadis yang hanya tertawa kecil saja.

Tiba-tiba ponsel Tristan berbunyi.

Fabian.

"Ya, Bang." Dia mengaktifkan loudspeaker.

"Tadi Ari bilang soal alarm. Gue nggak pernah merasa ada omongan tentang ini. Siapa yang beli? Lu ya?"

***

Bersambung

Hayuluuuu... Bang Ian marah lagi luuuu...
Ini masih part maksa deketin mereka. Kalau ada aneh-aneh, atau ide-ide nyeleneh, ngeneny ye. Jangan dipendem aje. Mateng kagak, benyek kagak, mentah iye. Eman-eman kan tuh ide.
Belum baca komen yang bab kemarin. Lagi bikin sprei kasur lipat, titah Ndoro Mertua.  Ribet ternyata. Sudah berbulan-bulan disuruhnya. 😄
Sa jahit dulu yaaa... Happy reading.   😘😘😘

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang