78, Di Rest Area

202 46 105
                                    

DI tempat parkir, dua mobil itu kembali berdampingan.

"Non, lu lapar?" Non diam. "Kita makan dulu aja ya. Sebentar kok."

"Sekalian subuh aja," ujar Seto ketika Tristan membantu Non keluar. "Nggak keburu sampai Bogor."

Tubuh Non tiba-tiba menegang kemudian dia langsung memeluk Tristan dan menangis [lagi] di dada lelakinya. Membuat tiga lelaki itu berkerut kening.

"Shh...." Tristan meski heran tapi tetap berusaha menenangkan. "Ada apa?"

"Gue apa bisa sholat?" ujarnya di sela isak di dada Tristan.

"Kenapa?"

Ditanya seperti itu Non makin terisak. Tristan sampai dibuat bingung. Dua lelaki lain membantu mengarahkan Tristan yang memapah Non ke tempat yang lebih tersembunyi. Tristan membantu Non duduk di beton pengaman trotoar sementara dia berlutut dengan sebelah kaki di depannya. Dua yang lain pun sama.

"Ada apa, Non?" tanya Tristan sambil memberikan saputangannya yang ketika Non mengabaikan pemberiannya, dia turun tangan langsung membersihkan wajah istrinya.

Namun Non tetap terisak. Membuat Tristan bergerak duduk di sampingnya dan memeluk bahu Non. Dia terkejut dan menatap heran ke arah dua temannya ketika Non menolak pelukannya. Seto dan Dewa hanya mengedikkan bahu. Mereka harus menunggu Non merapikan hati dan menghentikan isaknya sedikit. Menunggu itu, Tristan hanya mengelus punggung Non saja. Namun sepertinya Non menolak semua sentuhan Tristan. Membuat tiga lelaki itu semakin berkeryit.

"Ada apa, Non?" Tak sadar dan tak sabar, Tristan akhirnya bertanya. Mereka memang sudah lebih aman, tapi tetap saja, akan lebih baik jika mereka segera sampai di rumah.

"Mereka nelanjangin gue, lalu mereka semua on*n* di depan gue terus gantian keluarinnya di perut gue, Trist. Gue kotor." Sambil terisak Non kembali menggosok kasar perutnya seperti tadi ketika dia membersihkan cairan tiga orang itu. "Mereka gantian grepe-grepe gue." Non makin panik menggosok seluruh tubuhnya dengan ekspresi takut, marah, dan jijik. "Gue kotor, Trist. Gue jijik."

Tristan ingin memaki tapi dia hanya bisa memarik Non ke pelukannya. Makiannya diwakilkan dengan sepenuh hati oleh Seto dan Dewa. Non masih berontak, masih menolak sentuhan Tristan, tapi kali ini Tristan memaksa.

"Shh... It's okay, Non. Sudah lewat."

"Mereka telanjangin gue, Trist." Non makin histeris. Tristan makin ingin mengamuk. Namun saat ini Non yang terpenting.

"Sudah lewat. Lu tetap suci meski mereka sudah gituin lu. Gue dengar tadi pas kejadian. Mereka cuma on*n" kan? Nggak sampai—"

Bahkan Tristan tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Seto hanya membalik badan dan menendang angin sementara Dewa yang tidak tahu apa-apa hanya terbeliak dengan wajah bodoh. Tak bisa menjawab, Non hanya menggeleng saja dan kembali menangis.

"Shh..." Lembut, Tristan mengelus rambut istrinya. "I've told you. I love you whatever happened to you. And now, thanks God, nothing had happened to you, Non."

"Gue kotor, Trist...." Mengiba, Non merasa dia sangat kotor dan hina di hadapan Tristan."

"Nggak, Non. Lu tetap bersih."

"Tapi—"

"Shh... Dengar gue, Non. Lu tetap suci."

"Trist..."

"Non, itu musibah. Gue dengar kok gimana lu ngelawan. Lu nolak, lu marah. Sudah, itu sudah cukup. Yang terjadi setelahnya itu musibah yang harus kita terima. Perlawanan lu membuktikan lu bukan cewek murahan. Lu cewek yang berusaha menjaga diri. Kalau sampai mereka gituin lu, Ya sudah, lu sudah berusaha maksimal. Yang penting sekarang lu selamat, kita semua selamat."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang