"NON, gue nggak mau nikah sama lu atau cewek mana pun karena gue trauma sama pernikahan."
Non tersentak sampai punggungnya menabrak sandaran kursi.
Tristan sudah membanting bokongnya di kursi yang tadi dia sandari. Kedua sikunya bertumpu di meja demgan tangan meremas rambut kasar.
"Mungkin selama ini semua orang lihat gue kuat. Gue berani face to face sama bokap. Gue berani nentang bokap. You mention lah. Seakan semua yang gue alami di rumah itu nggak ninggalin bekas apa pun."
Dia terus menunduk. Tak mau menatap Non, tidak berani menatap masa depan.
"Tapi percaya, Non. Sakit puluhan tahun pasti ninggalin bekas."
Suaranya tercekat, melemah seperti berbisik. Membuat Non makin tersentak tak percaya.
"Seumur hidup gue, yang gue tau pernikahan seperti pernikahan orangtua gue. Ribut, nggak tau apa yang mereka ributkan. Ketika akhirnya gue tau jenis hubungan itu, hubungan antara lelaki dan perempuan yang disebut pernikahan, gue nggak bisa hilangkan pikiran kalau gue nggak mau hubungan seperti itu."
Jeda.
"Otak gue, dengan pengalaman yang dia rekam, ya nyambungnya ke pernikahan yang kacau. Gue nggak mau pernikahan yang kacau lalu gue nggak mau nikah. Otak gue nggak mikir untuk mencari jenis pernikahan yang lain. Lu nikah tapi jangan dengan orang yang salah. Nggak. Otak gue nggak mikir ke sana. Mungkin karena gue trauma atau otak gue memang nggak sampai ke sana."
Di luar, malam benar-benar berada di saat tergelapnya.
Sebentar lagi fajar.
Tapi hubungan yang baru berumur beberapa jam ini sepertinya baru memasuki terowongan gelap tanpa tahu ujung yang bercahaya di mana.
"Dan sekarang...." lanjut Tristan lagi. "Gue terjebak di hubungan itu."
"Tristan... gue bilang... kita bisa batalin pernikahan ini. Gue akan ngomong ke Bang Ian. Dia pasti bisa ngerti."
"Setelah semua drama kehidupan yang gue alami, jadi lelaki kayak apa gue kalau batalin pernikahan ini? Jilat ludah sendiri."
"Nggak ada yang tau, Trist. Cuma kita berempat yang tau. Apa susahnya hapus foto dan video dari gallery. Cuma itu buktinya kan?"
Tristan menggeleng meski masih menunduk.
"Gue sudah jatuh, terhina—"
"Kenapa lu jadi terhina?"
"Gue bilang nggak mau pakai uang bokap lagi. Tapi ketika gue ambil Trisha, gue nggak mampu hidupin dia dari kerja gue sendiri sampai Trisha tetap harus hidup dari uang bokap." Napasnya makin menderu ketika dia akhirnya mengangkat wajahnya. "Itu ego gue. Harga diri gue."
"Lalu sekarang, kalau gue batalin, pun nggak ada orang yang tau, tetap aja gue merasa gagal dan terhina."
"Trist..."
"Gue jadi laki cemen banget. Belum apa-apa sudah mundur, batalin. Tapi maju pun gue nggak berani."
"Tadi kenapa lu iyain ide gila Bang Ian?"
"Nah, lu mikir apa tentang gue? Tentang kita?"
"Tapi itu kan fakta. Gue tau diri, Trist."
"Seandainya cuci darah bisa ngebersihin darah gue dari darah bonyok, gue mau cuci darah. Ganti darah sekalian semua."
"Tap—"
"Ah, sudahlah. Gue nggak mau bahas itu. Pokoknya gue nggak suka lu ngomong begitu ke gue."
"Sorry." Non menunduk. "Gara-gara gue semuanya jadi kacau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...