"Trisha..."
Lirih suara itu tidak bisa menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. Secepat yang dia bisa, dia berjalan tertatih ke luar untuk menyambut adik kecilnya. Dia melihat pintu mobil terbuka lalu Trisha keluar kemudian gadis kecil itu berdiri takut-takut di samping pintu sambil menatap ke depan berusaha mengenali tempat baru. Tangannya memeluk sebuah boneka kelinci putih yang sudah tidak berwarna putih lagi saking lusuhnya. Hadiah ulang tahun keempat dari Tristan yang dia berikan ketika akan direhabilitasi.
Melihat itu, Tristan berjalan lebih cepat lagi. Adiknya tidak akan bergerak sebelum melihat dirinya. Non yang tahu kedatangan Trisha sudah berdiri di samping Tristan membantunya berjalan.
Beberapa langkah menuju ambang pintu, Trisha melihat abangnya. Matanya langsung berbinar dan berlari secepat kaki kecilnya melangkah. Bu Darmi menahan tangannya agar dia tidak menabrak Tristan. Namun ketika Trisha hanya memeluk tungkai abangnya, pegangan tangan itu terlepas. Membiarkan adik dan kakak itu melepas rindu. Sebelah tangan gadis kecil itu tetap memegang bonekanya meski dia memeluk erat tungkai kakaknya. Tristan berusaha memeluk adiknya, tapi apa daya tubuhnya belum selentur itu.
Setelah beberapa saat, akhirnya Trisha mengurai pelukannya. Dibantu Non, dia duduk di kursi ruang tamu. Trisha yang tidak mau lepas dari abangnya berusaha naik ke pangkuan Tristan.
"Dek, jangan duduk di situ dulu ya. Abang masih sakit." Bu Darmi setengah menahan lengan Trisha di bagian ketiak. Namun Trisha memberontak yang malah membuat Tristan berkeryit.
"Nggak apa-apa, Bu. Yang harus hati-hati kan di perut. Yang di kaki mah sisa-sisa aja." Dia membantu Trisha duduk. "Tapi Adek jangan banyak gerak ya. Abang belum bisa banyak gerak."
"Peluk Abang boleh?" tanyanya dengan wajah ragu dan boneka kelinci lusuh tetap di tangan.
Perlahan Tristan menarik adiknya mendekat. Memeluknya seperti mau si adik. Dan Trisha tenang di sana. Ketika itulah baru dia bisa mengambil tangan Bu Darmi untuk bersalim.
"Pak Dino suruh masuk aja, Bu. Ngapain di luar begitu. Panas."
Non yang bergerak memanggil supir Trisha.
"Sudah sehat, Den?" tanya si supir sopan sambil bersalaman.
"Ck. Nggak usah panggil aden-aden lagi. Yang suruh kan sudah mati."
"Tristan..." Beberapa suara terdengar.
"Kalau Bapak panggil Non ke Trisha, yang nengok istri saya loh. Bukan Trisha."
"Iya, Bang." Si supir mendapat delikan Bu Darmi untuk mematuhi saja ucapan Tristan.
"Ini rumah siapa, Bang?" tanya Trisha masih di lekuk leher abangnya.
"Rumah Bunda. Adek belum salim ya sama Bunda?"
"Belum. Kok Abang tinggal di sini?"
"Iya." Dia harus menjawab apa?
"Abang sebenarnya tinggal di mana sih? Katanya di kos, tapi kadang di rumah Sondesip, lalu sekarang di sini. Trisha bingung."
Dia pun.
"Doain Abang ada rezeki biar punya rumah ya."
Bisa mengontrak saja dia sudah sangat bersyukur.
"Kalau Abang punya rumah, Adek tinggal sama Abang ya."
"Iya. Nanti tinggal sama Abang aja." Sudah tidak ada lagi orang yang harus diabseni setiap libur.
"Adek jarang jajan. Uangnya Adek tabung. Buat Abang beli rumah aja ya. Celengan Adek sudah mau penuh."
"Makasih ya, Dek." Dia mengelus rambut adiknya.
"Sekarang Adek boleh tinggal di sini?"
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...