22, Sekolah Trisha

184 52 32
                                    

"GUE ketemu dan ribut lagi," ujarnya berusaha datar. Tapi wajah marahnya tentu tidak bisa rapi dia sembunyikan meski gelap dan dingin sudah utuh menguasai hari.

Non hanya menarik napas panjang saja. Banyak yang ingin dia tanyakan tapi semua tersangkut di tenggorokan.

"Apa sih yang kalian ributkan terus di rumah?" tanya Ando tiba-tiba setelah sejak tadi hanya menyimak saja. "Maksud gue, lu kan cuma anak, apa yang bisa anak lakukan sampai orangtua marah terus?"

"Kebalik, Bang. Apa yang orangtua lakukan sampai anak marah terus."

"Lah ya itu. Kenapa anak doang aja marah terus? Memang apa yang bikin lu senep banget di sana?"

"Ya mereka ribut terus. Entah apa yang diributkan tapi kalau ribut tuh ya ribut. Saling teriak."

"Ada KDRT?"

"Ada."

"Kenapa nyokap bertahan?"

"Entah. Mereka nikah untuk ngegabungin perusahaan."

"Kalau cerai perusahaan pecah kongsi juga?"

"Mungkin."

"Ada perselingkuhan?"

"Ya adalah."

Tristan mendengus. Aldo dan Non terdiam.

"Waktu lu kecil apa kondisinya kayak Trisha?"

"Sama aja, Bang. Cuma gue sudah melewati masa-masa itu. Dan nggak enak banget. Gue ngerti banget jadi Trisha. Makanya gue nggak mau dia ngalamin apa yang gue alamin dulu."

"Ternyata orang kaya masalahnya sama aja ya kayak orang miskin." Aldo menarik napas panjang. "Dulu sebelum di sini, gue biasa tuh dengar suami istri ribut-ribut sampai gontok-gontokan. Selingkuh juga ada. Apalagi urusan uang. Beuh. Sampai gue pikir masalah utamanya ya uang. Coba mereka pegang uang, paling meneng bae. Ternyata gue salah. Ada uang tetap aja ribut."

"Gue pikir tadinya juga gitu, Bang. Terserahlah orangtua mau bunuh-bunuhan, selama aliran dana lancar, gue akan diam aja."

"Money can't buy evertything."

"Uang bisa beli makan, Trist. Percaya gue, lu nggak pernah ngerasain kan harus kerja seharian demi bisa buat makan besok?"

Tristan terdiam.

Tidak. Dia tidak pernah ada di posisi itu.

"Trist, mungkin lu anggap bonyok nggak bertanggung jawab, tapi percaya deh, mereka lebih bertanggung jawab daripada banyak orangtua blangsak di luar sana." Aldo menimpali lagi. "Jangankan kasih makan, malah anaknya dijadiin sarana cari uang."

"Bahkan dibuang kayak gue. Kurang nggak bertanggung jawab apa lagi coba tuh?" sambar Non.

"Soal itu, kami anak jalanan tau banget," lanjut Ando lagi.

"Maksudnya gini loh, Trist." Non cepat membuka suara sebelum Tristan bersuara. "Lu tuh sebenarnya kondisinya jauh lebih baik daripada banyak anak-anak lain di luar sana. Oke, gue nggak nyalahin kalau lu nggak terima sama perlakuan orangtua lu. Tapi, Trist, lu ada Trisha dan lu belum mampu mandiri."

Tristan baru akan membuka suara tapi Non langsung melanjutkan lagi.

"Dan jangan kufur nikmat."

Tapi penutup itu justru membuat Tristan meradang. Dia langsung berdiri dan mendelik menatap Non.

"Gue nggak kayak gitu. Dan cukup lu tau ya, nggak selamanya uang bikin orang bahagia. Buktinya gue dan bonyok gue. Kurang apa uangnya? Tapi mereka malah ribut terus."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang