53, Sondesip Gelisah

251 46 20
                                    

KEHIDUPAN berlangsung normal di rumah itu. Tidak pernah ada lagi hal-hal aneh yang membuat mereka harus ekstra hati-hati. Meski begitu, semua kehati-hatian tetap mereka jalankan. Hasil rekaman CCTV tetap mereka cek, alarm tetap diaktifkan, jam malam tetap berlaku, dan area bujang di atas garasi tetap menjadi menara pengindai yang sangat strategis.

"Ayo, pada naik. Sudah malam, tidur semua. Biarin aja Non dan Tristan yang beberes. Sebentar dia juga naik." Wini mengingatkan Non dan mulai mengaktifkan jam malam. "Ayo, Trisha, naik juga. Besok bangun pagi main sama Sondesip." Gadis kecil itu menurut.

Tristan langsung membantu Non merapikan semuanya. Balai-balai sudah kosong. Non bergerak santai. Wajahnya antara datar dan lelah.

"Lu masih bete, Non?" tanya Tristan. "Apa cuma capek aja?"

"Nggak kok. Biasa aja."

"Nggak biasanya lu lemes. Minggu lalu lu begini, lalu ngajak liburan. Sekarang mau libur lagi? Nonton?"

"Ogah. Mitamit." Dia terkekeh. "Gue mau nonton cari hiburan kok malah nonton film yang bikin stres sih? Gue bilang juga apa, mending nonton Ipin Upin aja deh. Jelas menghiburnya. Seserem-seremnya Ipin Upin ya Keris Siamang Tunggal. Mentok-mentok pas mereka ngayal cari harta harun lalu main tebak-tebakan sama manusia batu."

Tristan tertawa geli. "Iya, iya. Gue janji deh. Lain kali kalau nonton kita nonton Warkop DKI Reborn aja."

"Eh, ada adegan anuannya nggak tuh?" Tangannya berhenti bergerak menyapu lantai. "Ternoda benar mata gue kemarin."

Tristan mendelik dan berkerut kening.

"Lu nggak pernah nonton bokep?"

"Astaga! Yang live aja pernah. Tapi kan nggak pakai layar sebesar itu."

"Hah? Yang live?"

"Ck. Rumah gue, dibilang gubuk juga masih lebih jelek lagi. Ya tetangga juga begitu rumahnya. Lalu di mana mereka anuan kalau nggak di situ juga?"

"Astaga!"

Non mengedikkan bahu.

"Lalu kenapa kemarin lu segitu ngumpetnya? Kayak perawan polos aja lu. Ck."

Haruskah Non katakan yang sebenarnya? Dia malu, sangat malu karena ada Tristan di sana.

"Dibilang efek layar segede gitu beda. Manalah yang namanya film kan ada angle dan efek-efek lain. Beda lah sama versi live yang gue lihat."

Non berusaha mengelak, Tristan pun berhenti mencecar. Ingatan dirinya ketika melihat adegan itu masih membekas. Berkedip, dia berusaha menghilangan bayangan atau apa pun itu.

Lalu keduanya terdiam. Membuat malam semakin sunyi. Suara-suara di atas mereka nyaris hilang. Memang kehidupan masih berlangsung di atas, tapi hanya berupa obrolan ringan pengantar tidur yang hanya menjadi dengung lembut di bawah rumah. Dengung yang tak mengganggu senyap yang tercipta ketika keduanya memilih mengunci mulut dan diam menatap langit malam.

Kebersamaan ini, terasa begitu sederhana, begitu apa adanya. Begitu natural yang sudah menjadi keseharian mereka. Yang lain mungkin tahu, mereka butuh istirahat sejenak sehingga tidak pernah ada yang ribut menyuruh mereka membubarkan diri. Ini pun memang belum jam malam di jam sembilan. Masih ada beberapa menit ke depan yang bisa mereka gunakan. Menunggu waktu itu, tanpa pernah saling mengungkapkan kebenaran, mereka akan berusaha tetap ada di bawah rumah, tetap bersama meski hanya beberapa menit dalam kesunyian malam.

Masih beberapa menit untuk menikmati rumah kesayangan bersama yang mereka sayang tapi sayangnya tidak bisa mengungkapkan sayang.

Apa memang rasa yang mereka pendam serumit itu?

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang