83, Menyerang [17++]

218 51 123
                                    

DOR!

.

Mendengar bunyi itu, tanpa aba-aba lain empat orang yang mengendap di luar langsung berlari seperti kesetanan. Ari di depan langsung menuju pintu dan membuka handel. Terkunci. Tanpa menunggu, dia mundur beberapa langkah, tiga temannya menjauh ketika Ari melompat dan menendang.

.

BRAK

.

Pintu langsung menjeblak terbuka.

Beberapa orang masih berusaha menarik Non. Dalam lemahnya, Tristan melihat moncong senjata terarah ke Non, tak peduli apa pun lagi, dia langsung menerjang tubuh Non.

.

DOR

.

Satu lagi timah panas bersarang di tubuh Tristan tepat ketika dia berhasil menutupi tubuh Non dengan tubuhnya. Empat orang sudah berada di ruang yang sama. Tanpa basa basi, Ari langsung menghajar orang yang memegang senjata. Satu tendangan keras membuat senjata itu terlepas, Ando menendang pistol itu ke sudut. Perhatian yang lain teralihkan dari Tristan dan Non.

Ari langsung menghadang orang yang memegang belati. Setelah beberapa gerakan, satu belati terlepas dari tangan dan dia langsung menendang benda itu menjauh. Masih ada yang lain yang memegang senjata.

Non sudah kehabisan suara menjerit, dia berusaha melepaskan diri dari tubuh Tristan yang menindihnya untuk melindunginya. Dia kembali menjerit histeris melihat Tristan sudah payah bermandi darah.

"TRISTAAANNN!!!"

Melihat Non tidak berbaju, Ari melepas kasar kemejanya sampai beberapa kancing terburai lalu sambil terus menendang dan menyikut dia menyelubungi Non dengan kemejanya. Melihat kondisi Tristan, empat orang itu mengamuk sejadi-jadinya. Non dan Tristan terabaikan.

"Bang Tis..."

Sepanjang mendengar keributan itu, dan berhasilnya Tristan menggagalkan upaya pembiusan Trisha, membuat gadis kecil itu bisa lebih sadar. Dia melihat semuanya. Dia melihat ketika kakaknya roboh dihadang peluru, dia melihat abangnya menerjang tetehnya dan mendapat peluru kedua.

Trisha beringsut mendekat. Dia menyebut nama Tristan berulang-ulang sepanjang usahanya mendekati abangnya.

"Bang Tis...."

Bersimpuh, panik dan kalut, Non berusaha menghentikan perdarahan di tubuh Tristan.

"Non..." Lemah, pandangannya semakin kabur. "Trisha... mana?"

"Ada, Trist. Dia nggak apa-apa." Non terus bekerja meski air matanya terus berlerai.

Empat yang lain terus bertempur. Empat lawan belasan.

"NON, TELEPON BANG JOE. SURUH BAWA AMBULANS."

Bergetar tangan Non merogoh ponsel sementara sebelah lagi tetap menekan lubang berdarah di perut Tristan dengan koyakan bajunya. Hanya tembakan dari bagian depan yang bisa dia tekan, yang di punggung terabaikan. Darah mulai merembes di lantai.

Dia tidak menemukan nomor Bang Joe. Hanya ada nama Fabian di chat teratas. Dia hubungi saja nomor itu. Nyaris tanpa dering ketika tersambung.

"BANG, PANGGILIN AMBULANS. TRISTAN KRITIS. SEKARANG, BANG!"

"Tenang, Non, Ambulans sudah OTW sama Bang Joe." Fabian tentu sudah sangat panik. Dia berjalan mondar mandir di kamar rawat inap Rey. "Usahain pendarahannya berhen—"

Sambungan telah terputus karena Non membutuhkan dua tangannya. Dengan sebelah tangan belum terpakai, dia mengangkat pinggang Tristan terganjal tungkainya. Dengan cara ini dia bisa mencari luka tembak di bagian belakang tubuh dan menekannya dengan cabikan hemnya. Dia membiarkan bagian dada Tristan tetap di bawah demi memperlambat aliran darah ke luka. Luka di lengan pun sebenarnya butuh perhatian tapi Non hanya punya dua tangan. Luka-luka yang lain lebih terabaikan. Dengan tungkainya, luka di punggung tertekan, berharap itu bisa menghentikan perdarahnnya meski tekanan-tekanan itu membuat luka-luka itu semakin menyakitkan bagi Tristan.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang