TRISTAN berusaha santai mengendalikan kemudi. Jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh menjadi terasa lebih lama. Tapi akhirnya dia sampai juga di tempat tujuan. Hari sudah gelap utuh menjadi malam. Bergegas dia membuka pagar, Nia menyambutnya di ambang pintu.
"Mbak, Bang Ian mana?"
"Belum pulang. Nggak tau malam ini apa besok pagi langsung ke kampus. Kenapa?"
"Umm..."
"Nggak janjian?"
"Nggak."
"Ya telepon dulu aja."
"Nggak usah, Mbak. Titip ini aja." Dia segera menyerahkan tas jinjing kecil yang sejak tadi dia pegang.
"Buat Bang Ian?"
"Bukan. Saya titip barang ini di Bang Ian."
"Bang Ian sudah tau?"
"Belum. Taruh aja di kamarnya."
"Umm..."
"Ya sudah, Mbak. Saya pamit ya." Tristan bergegas pergi tak ingin ditanya-tanyai lagi.
***
Lepas Tristan pergi, Nia duduk di meja makan sambil menimbang-nimbang menghubungi Fabian atau tidak. Dia bahkan tidak tahu kapan Fabian dan Rey akan pulang. Benda titipan masih dia letakkan di meja makan. Menimbang beratnya, memang berat.
Nggak mungkin bom kan ya? tanyanya membatin. Ck. Gila aja si Tristan segila itu. Tapi tetap saja dia dekatkan telinga ke arah tas itu. Meyakinkan isinya tidak berbunyi.
Ah, kenapa tadi nggak nahan si Tristan aja sih? Tunggu di sini, kalau nggak bawa deh titipannya, rutuk Nia dalam hati. Dia terus duduk di meja makan. Beberapa kali bolak balik ke meja telepon di ruang tengah. Bahkan jarinya sudah siap menekan nomor ponsel Fabian dengan gagang telepon di telinga tapi dia urungkan lagi.
Nanti Bang Ian kepikiran.
Tapi...
Dia langsung meloncat ke depan ketika mendengar pagar bersuara. Rey sudah membuka pagar.
"Kok belum tidur, Mbak?" tanya Rey sambil mendorong pagar.
"Nunggu kalian pulang," jawab Nia dengan muka serius.
"Ada apa?" tanya Rey tersentak sampai lupa dia berdiri di tengah jalan, Fabian tidak bisa memasukkan mobil. Fabian sampai merasa perlu melongokkan kepala keluar jendela alih-alih membunyikan klakson.
"Ada apaan sih? Minggir dulu dong."
Nia menggeret Rey ke pinggir sehingga Fabian bisa memasukkan mobil. Nia bergerak cepat merapatkan dan mengunci pagar. Fabian sudah berdiri di belakangnya.
"Ada apa, Dek?"
"Ayo."
Bertiga mereka beriringan masuk mengikuti langkah Nia.
"Tadi Tristan ke sini," ujar Nia sambil melangkah.
"Lalu?"
"Dia ada titip barang."
"Hah?"
"Dia titip barangnya di sini, bukan buat Abang."
"Apaan?"
Nia langsung menunjukkan benda yang dimaksud.
"Isinya apa?" tanya Fabian lagi.
"Nggak tau. Tadi Tristan buru-buru."
"Eh, berat loh," responsnya ketika mengangkat benda itu. "Nggak sebanding sama volumenya." Dia menatap bergantian kedua perempuan di depannya. "Apaan isinya ya? Sampai dia titip di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...