101, Makin Kacau

157 46 42
                                    

NAMUN belum sempat Bunda menyentuh pintu, pintu itu sudah menjeblak terbuka mengantarkan Non yang mendelik sempurna ketika melihat Tristan tersaruk di lantai.

"TRISTAAANNN..."

Dia langsung berlari dan menjatuhkan dirinya di depan Tristan.

"Sorry, aku nggak bisa cepat ke kamar." Mengabaikan semuanya, Tristan berusaha menenangkan Non.

Panik, Non meraba seluruh tubuh Tristan. Dia bahkan membuka t-shirt dan melihat ada sayatan di sana.

"Tristan... Tristan... kamu nggak apa-apa kan?"

"Aku nggak apa-apa, Non. Cuma kaget aja tadi. Kesandung pas buru-buru mau ke kamu."

Namun Non masih panik. Gerakannya kasar tak terarah, kepalanya bergerak kasar mencari luka di tubuh Tristan. Napasnya menderu. Wajahnya jelas menunjukkan ketakutan dan kepanikan ketika dia menoleh ke segala arah.

"Kita di mana, Trist?"

"Non?"

"Ak... ak... aku...."

"Non," Tristan langsung merengkuh wajah istrinya. "Sudah selesai. Kita sudah aman. Ini di rumah Bunda. Kamu cuma mimpi." Dia sudah tahu apa yang terjadi pada Non. Mendengar itu, Bunda hanya bersimpuh sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar. Sementara suaminya yang terbangun hanya berdiri dan terlihat semakin berantakan.

"Non..." Antara lembut, lemah, dan lelah, Tristan berusaha bertahan. "Sudah selesai. Pemeriksaannya juga sudah selesai. Dilupain aja semua ya."

Tersadar ini hanya mimpi buruk, memastikan benar Tristan baik-baik saja, seterbaik nasib yang membawanya sejauh ini, Non terisak di balik tangannya lalu tak lama dia menangis sampai bahunya berguncang keras.

Semuanya terasa begitu nyata. Dia bahkan belum sempat berusaha melupakan semuanya saat harus mengurus Tristan yang kehilangan ayahnya lalu kembali dipaksa mengingat kenangan buruk itu. Batinnya penuh, sesak tanpa jalan keluar.

"Ayo ke kamar, Nak."

Bunda yang tersadar berusaha membantu Non berdiri. Suaminya pun ikut bergerak membantu Tristan. Kakinya mungkin kuat menapak, tapi bekas luka itu sangat diusahakan tak banyak gerakan. Non pun berusaha membantu. Setelah kakinya lurus berdiri, dia berusaha meluruskan punggungnya. Perlahan, tak ingin ada gerakan menyentak di perutnya.

"Bisa jalan, Trist?" tanya Bunda.

"Di kamar aja periksanya." Suaminya yang menjawab.

"Tapi bisa jalan nggak?"

"Bisa kok, Bund. Pelan-pelan aja."

Melihat Tristan tertatih, mendadak tenaga Non datang. Meski lemah, dia langsung merengkuh pinggang dan membantu Tristan yang berjalan terpincang. Dua manusia lain hanya bisa diam melihat dua anak muda berjalan seperti itu. Entah siapa memapah siapa. Bunda sampai harus menghapus air mata sambil berjalan bersiap di belakang mereka.

Di kamar, Tristan akhirnya bisa duduk di tepi ranjang. Dia menolak ketika Non akan membantunya merebahkan diri. Dia memilih duduk bersandar di kepala ranjang untuk merasai luka baru di kaki bekas terantuk kaki meja. Tentu dia tidak akan membiarkan Non tahu soal itu.

"Bund, Om, maaf ya. Tidurnya jadi keganggu," ujarnya ketika Non masih sibuk dengan dirinya.

"Ya Allah, Nak. Kok ngomong gitu sih." Bunda memegang dadanya yang masih sesak.

"Maaf."

"Tristan, kalian nggak boleh tinggalin rumah ini ya. Jangan mikir macam-macam. Nggak usah Bunda ngadu ke Fabian. Dia nggak ada urusan. Nggak ada hak di sini. Bunda yang larang kalian pergi."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang