29, Abang Terbaik Untuk Trisha

153 44 36
                                    

TERNYATA melepas Trisha jauh lebih berat daripada perjuangannya memasukkan adiknya di sekolah itu. Dia mengantar Trisha ke kamarnya. Berkenalan dengan teman-teman sekamarnya. Membiarkan Non memindahkan isi koper ke lemari. Untuk urusan itu, dia tahu, dia sudah sangat tepat mengajak Non yang sangat piawai di pekerjaan domestik.

"Bang..." panggil Trisha pelan dan takut-takut. Jemarinya bergerak memainkan ujung rok sampai terpuntir-puntir di jari.

"Ya?"

"Adek takut." Gerakan tangannya melemah.

"Adek bukan takut. Adek malu." Mereka duduk berdampingan di ranjang Trisha. "Selama Adek nggak bikin salah, jangan malu ya. Kalau ada yang ganggu, langsung tonjok aja." Tristan menirukan gerakan menonjok.

"Abangnda Tristan...." Non melirik sinis.

"Nanti Adek dimarahin Bu Guru kalau nonjok orang."

"Sama aja. Yang nonjok dan ditonjok sama-sama dipanggil Bu Guru. Sama-sama dimarahin karena berantem. Tapi kamu kan nggak sakit karena kamu yang nonjok."

"Kan Adek nonjok karena ditonjok."

"Nah, apalagi kalau begitu. Biar impas." Dia terkekeh sambil mengacak rambut adiknya. "Jangan diam aja kalau ada yang ganggu ya."

"Nanti Adek jadi anak nakal."

"Abang dulu sering berantem, apa sekarang Abang jadi anak nakal?" Yang ditanya diam. "Abang bilang, jangan diam kalau ada yang ganggu. Kalau nggak diganggu ya jangan mulai ganggu orang. Nakal itu kalau Adek ganggu orang."

Memang penghuni asrama ini adalah bocah-bocah kecil, tapi tetap saja berpotensi merundung adiknya. Ketika dia tidak bisa melindungi adiknya, dia harus bisa membuat adiknya melindungi dirinya sendiri.

Anak sekecil itu...

Dengan latar belakang kehidupan keluarga yang menyakitkan...

Dia tahu, ini akan berat dijalani oleh Trisha. Namun ternyata, melepas Trisha jauh lebih berat lagi.

"Bang...." Suara mencicit itu menyudahi lamunannya.

"Ya?"

"Abang ke sini kapan lagi?"

"Kalau libur Abang ke sini ya."

"Masih lama dong."

"Cuma seminggu. Jangan ditungguin makanya. Adek main aja sama Bu Guru ya."

"Bang...."

"Ya?"

"Kapan Adek bisa tinggal sama Abang lagi?"

Deg.

"Dek, Abang kan selalu tinggal sama Adek."

"Tapi sekarang nggak."

"Abang nggak bisa temenin Adek seharian. Abang juga harus sekolah."

"Kalau Adek sudah sekolah kayak Abang, Adek bisa tinggal sama Abang lagi?"

"Iya."

"Janji?"

"Janji." Tristan mengulurkan kelingkingnya yang disambut oleh kelingking Trisha. Jari terkecil itu bertaut. Meski senyum kecemasan tidak serta merta hilang dari wajah Trisha, tapi senyum pasrah yang juga hadir membuat Tristan lebih berantakan lagi. Tak ingin niatnya terkacaukan resah hatinya, Tristan berpamit.

"Abang pergi dulu ya, Dek." Mendadak Trisha memeluk kakaknya. "Nanti Abang ke sini lagi." Pelukannya makin erat makin membuat Tristan berantakan.

Melihat itu, menyadari Tristan berat melepas adiknya, Non turun tangan. Dia menepuk lembut bahu Tristan, membuat Tristan mendongak dan sebuah anggukan sebagai kode mengajak pergi. Membuat Tristan memejamkan mata dan balas memeluk adiknya lebih kuat lagi.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang