57, Bola Kembali Pada Fabian

164 51 70
                                    

Kemarin jengjengjeng-nya kena banget ya? Ya sudah, anggap aja bonus.  Sudah lama nggak kasih bonus kan? 😉


***


NAPAS Tristan masih menderu ketika dia berusaha bersuara. Dia tahu sakitnya Non atas ucapan ibunya, dia tidak ingin membenarkan isi kepala gadis itu.

"Non...." Dia masih terengah. "Gue nggak tau ke depannya gimana. Tapi lu mikir kayak gitu, b*llsh*t banget. Gue rusak kayak gini, risiko tanggung sendiri. Gue mau nikah sama lu. Lu mau nikah sama gue?" Apa pun yang akan terjadi, hancurlah hancur sekalian saja. Dia mungkin akan merusak dirinya dan gadis itu. Tapi cuma ini cara mengubah isi kepala gadis itu.

Aura ketegangan seakan tidak mau pergi. Setelah Fabian memberi bola pada Tristan, Tristan malah melempar bola itu pada Non.

"Siapa wali gue?" tanya Non singkat dan tegas.

"Gue," jawab Fabian cepat dan tegas

"Lu tanya wali gue aja," ujar Non pada Tristan. "Apa pun keputusan wali gue, gue nurut."

"B*ngs*t lu berdua pade ye."

Dan bola kembali kepada Fabian dengan cantiknya.

Ari yang sejak awal hanya menjadi pengamat, mendengar kalimat Non dan umpatan Fabian, seulas seringai tipis terbentuk di bibirnya. Sementara Fabian menatap bergantian kedua wajah berantakan di depannya. Dia ingin memaki mereka lagi. Dia hanya ingin membantu kedua adiknya, membebaskan mereka memutuskan sendiri masa depannya. Cukup sedikit interupsi darinya. Kenapa malah sekarang dia yang memegang bola? Sedikit merasa karma meledeknya, dia berdoa dalam hati, semoga keputusannya benar.

"Nikah lu pada. Sekarang." Tegas dengan tatapan menusuk ke arah keduanya.

Tristan terbelalak, Non terhenyak, keduanya menatap lurus ke arah Fabian. Keputusan yang meski sudah mereka duga tapi tetap saja membuat keduanya tersentak. Seharusnya tidak seperti ini.... Minimal tidak secepat ini. Namun keduanya kelu, isi kepalanya hanya kelebat-kelebat acak dan terasa kosong. Mereka tidak bisa menggunakan otaknya ketika hatinya terasa begitu kacau.

Tapi ini yang mereka mau kan?

Ah, kenapa jadi sekacau ini?

Tristan ingin mengamuk, Non ingin menangis. Namun yang terjadi adalah keduanya sebeku patung dikutuk.

"Kalian butuh saksi satu orang lagi." Tiba-tiba Ari bersuara, datar saja seakan tanpa beban. "Ini tengah malam."

Menyadari itu, Fabian kembali melemah. Mungkin memang belum saatnya....

Namun seperti menjawab perkataan Ari, pagar yang berbunyi mengantar masuk seseorang yang langsung berkeryit dahi melihat empat orang itu menatapnya seperti dia manusia tertampan titisan dewa dari langit.

Alexando.

Tanpa tatapan terkesima itu pun dia sudah terkejut. Terkejut melihat Fabian. Terkejut melihat ada empat orang berwajah sangat serius di tengah malam buta seperti ini yang sepertinya sedang membahas hal penting. Langkahnya melambat, dia bersiap dan memasang kuda-kuda seperti akan diserang.

"Saksinya datang," ujar Fabian dengan kelegaan dua kali lipat yang tidak dapat dia sembunyikan. Lega rencananya bisa berjalan, lega merasa Langit mendukung rencana itu.

Terima kasih, Tuhan.

"Bang Ian?" seru Ando terheran, melepas kuda-kuda ketika tidak ada yang menyerangnya dengan fisik. "Kapan datang?" Dia mempercepat langkah dan langsung bersalim.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang