65, Terbuka

157 53 70
                                    

MENDENGAR suara-suara itu, dan tubuh yang memeluknya menegang, Non menyadari, ada yang salah dengan Tristan. Tangannya yang tadi memeluknya bergerak panik seakan tak tahu tangan itu harus melakukan apa. Tristan merasa berada di dunia yang lain.

Sendirian.

Suara-suara itu masih terdengar di luar. Pun tidak terdengar lagi, Tristan tetap akan mendengar suara itu. Suara-suara yang sudah terekam di dalam kepalanya, menetap dan bertahan di sana. Cukup sedikit percikan, semuanya akan meledak. Tubuhnya yang menegang kaku perlahan meluruh jatuh. Dia meringkuk dengan kedua tangan menutup keras telinganya. Tapi suara-suara itu tetap terdengar. Suara-suara yang sudah lama meringkuk di benaknya pun ikut tersadar. Semuanya membuat dia gila.

"Trisha.... Trisha...." Dia mengerang berusaha duduk. Tangannya tak lagi menutup telinga. Tangan itu bergerak semakin acak. Menarik rambut, mengacak wajah, menyugar. "Trisha... Trisha...."

"Trisha sama Bu Darmi, Trist." Non berusaha menenangkan Tristan dengan mengelus bahu kaku itu.

"Trisha... Dia nggak bisa dengar kayak gini." Matanya menyapu ruang. "Mana Trisha?"

"Sama Bu Darmi. Belanja ke pasar. Dia nggak ada di sini, Trist. Dia nggak dengar." Tak lagi mengelus, Non memeluk suaminya. Berbisik di telinganya. "Tenang ya..."

Tiba-tiba dia tersentak.

"Non?" Matanya menatap Non dengan ekspresi terkejut dan ketakutan. "Ngapain di sini?"

Non mendelik sempurna. Namun kecerdasannya membuat Non bisa segera menyadari apa yang terjadi pada Tristan. Lelakinya tersedot ke dalam memori tergelapnya. Dia menarik Tristan ke dalam pelukannya.

"Trist... Nggak apa-apa. Lu sudah nggak tinggal di sini lagi. Trisha juga sudah pergi."

"Non..." Tidak tahu mau berkata apa, dia gamang.

.

PRANG

.

Suara benda pecah menyentaknya. Tubuh dalam pelukan Non yang kaku mendadak keluar dari pelukannya. Suara itu menariknya lagi ke masa sekarang. Tiba-tiba dia berdiri dan berderap.

"Tristan! Mau ke mana?" Non bergegas mengikuti langkah lelaki itu.

Kasar, Tristan membuka pintu lalu dia menyambar guci besar di selasar depan kamar. Lalu dia berjalan ke arah pagar pelindung, mengangkat tinggi-tinggi guci itu, lalu membuang ke bawah tanpa peduli siapa yang ada di tengah rumah.

.

PRANG

.

Suara guci jatuh mengagetkan kedua orangtuanya. Dua wajah menengadah ke atas, dan melihat Tristan berpegangan di pagar dengan tubuh condong ke depan.

"BERHENTI KALIAN!"

Tidak ada suara lagi. Tristan berderap turun. Non terus mengikutinya. Dia beehenti beberapa langkah di depan ayahnya.

"KALIAN SEHARUSNYA SALING BUNUH AJA BIAR URUSAN CEPAT SELESAI!"

"KURANG AJAR!"

"SIAPA YANG NGAJARIN SAYA KURANG AJAR HAH?"

"NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

"KALIAN BIKIN GADUH RUMAH."

Dua lelaki ayah dan anak itu terus saling berteriak. Dua perempuan terperangah dengan dua kecamuk yang beda. Si ibu terkejut mendapati suami dan anaknya saling berteriak, si istri terdiam tak tahu harus melakukan apa. Namun melihat dua lelaki itu seperti siap saling menerkam dan menyerang, Non maju dan berusaha menarik Tristan menjauh.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang