25, Ketakutan Trisha

154 52 30
                                    

TRISHA terus memangis memeluk tungkai abangnya. Mungkin jika tidak ada Trisha dia sudah akan mengamuk untuk kalimat penutup ayahnya sebelum pergi dari hadapannya begitu saja.

"Abang... ayo pergi, Bang. Adek takut...." Trisha menggoyang-goyangkan tungkai Tristan yang terlalu diam.

"Bang... ayo..."

Gerakan itu bukan lagi goyangan, tapi guncangan. Namun paling tidak itu berhasil menyadarkan Tristan. Setelah menarik napas panjang, dia menarik adiknya untuk digendong.

"Bang... Adek takut...." Rintihnya di bahu Tristan. Dia total menyembunyikan wajahnya di sana.

"Sshh..."

"Ayo pergi, Bang.... Ayo...."

Tanpa kata Tristan berjalan, membiarkan adiknya menempel seperti bayi monyet di dadanya. Di ambang pintu, dia berhenti di hadapan ibunya.

"Ma, tolong tanda tanganin," ujarnya datar lalu kembali melangkah. Mengabaikan Bu Darmi yang terisak mengikuti langkahnya.

"Nak..."

"Abang pamit, Bu." Dia berkata tanpa menghentikan langkah. Terus berjalan melewati voyer, pintu depan, teras, halaman, dan gerbang. Bu Darmi berhanti mengikuti di titik itu.

"Nak...."

Tidak ada balasan lagi dari orang yang dia panggil.

Trisha tetap di tempatnya bahkan ketika Tristan menaiki angkot. Dia tidak mau bergerak meski angkot sudah berjalan.

Terus begitu bahkan ketika mereka sudah sampai di rumah dan melewati pagar. Penghuni rumah hanya diam melihat kedatangan dua orang itu.

Non menyambut mereka dengan berusaha mengambil Trisha dari gendongan Tristan. Tapi Trisha tidak mau. Pelukannya makin erat di tubuh kakaknya.

"Bawa ke atas aja, Trist."

Seperti robot, Tristan mengikuti langkah Non menaiki tangga. Tapi Trisha benar-benar tidak mau melepaskan diri dari kakaknya. Non terbelah. Antara mengizinkan Tristan tetap di area gadis atau mengusir Tristan.

Perlahan Tristan kembali berdiri.

"Malam ini Trisha tidur sama gue aja." Suaranya datar ketika dia berjalan.

Di ranjangnya, Trisha kembali tidak mau melepaskan diri. Anak itu tidak bersuara sama sekali termasuk terisak apalagi menangis.

"Dek..." Tristan membelai punggung adiknya. "Ini di kamar Abang. Ini tempat tidur Abang. Adek bobo sama Abang ya."

Diam.

"Tapi lepas dulu, Abang belum sholat."

Masih diam.

"Sebentar aja, Dek."

Dia berusaha mengurai pelukan adiknya. Kali ini, dengan sedikit paksaan akhirnya dia berhasil. Trisha meringkuk di ranjangnya, membuat pertahanan Tristan runtuh dan dia menjatuhkan tubuhnya memeluk adiknya. Berusaha tidak terisak tapi getaran bahunya terlihat samar. Ini sungguh berat. Saat kewarasannya porak poranda dia harus tetap menjaga hati adiknya.

Butuh beberapa saat untuk dia bisa sedikit meredakan emosinya. Setelah menyelimuti adiknya—memberi waktu lebih untuk lebih tenang—perlahan dia berdiri. Waktu tidak bisa ditahan, hari sudah semakin gelap.

Malam itu, semua memberi waktu dan tempat pada Tristan. Menunggu waktu sholat, dia duduk di tangga belakang. Tangga yang lebih aktif dipakai sehari-hari. Membuat Non dan para gadis mengalah dan memakai tangga depan.

Lepas shalat ashar menjelang magrib, dia duduk di sana. Sebelum shalat maghrib dia melongok ke kamar. Setelah shalat maghrib pun begitu. Lalu dia duduk di tangga itu lagi. Dia menolak ajakan makan malam di balai-balai yang kali ini begitu hening. Berkali-kali suara sshh terdengar untuk menenangkan yang masih kecil. Bahkan Angi yang merengek pun dibawa kabur ke atas oleh Wini.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang