116, Management Trainee

147 44 30
                                    

WALAU semburat jingga di timur bumi mulai merobek langit, tapi hari masih gelap. Meski begitu kehidupan sudah mulai meriah di rumah itu. Bu Darmi merayakan kebersamaan mereka dengan nasi kuning andalannya.

"Nah, aku bilang juga apa. Urusan selametan mah kasih Ibu aja. Jadi kan naskunnya." Tristan terkekeh sambil menerima piring dari Non.

"Managenet trainee?" tanya Non sambil menaikturunkan alis.

Tristan terkekeh lalu melanjutkan keseriusannya menatap ponsel.

"Kamu baca apaan sih, Trist? Serius amat," tanya Non ketika melihat Tristan bahkan nyaris lupa menyuap makan paginya. Sisa mereka berdua di balai-balai, yang lain sudah mulai menikmati hari di halaman dan kebun. Suara gelak Trisha bahkan tetap terdengar jelas meski dari arah kebun.

"Ari kasih kesimpulan dari data-data kantor." Keseriusannya terinterupsi pertanyaan Non. Teringat isi piringnya, dia kembali menyuap.

"Memang kamu ngerti?" tanya Non lagi.

"Nggak." Lalu dia terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ini baca sekalimat browsing-nya sampai ngabisin kuota." Dia menggerutu meski masih tertawa kecil. "Tu orang ngomong apa sih?"

Pertanyaan yang membuat Non ikut terkekeh setelah terkesima dengan jawaban tidak dari Tristan.

"Kesimpulannya deh. Pasti dia kasih kesimpulan kan?"

Tristan menarik napas. "Dia baru skimming data aja sih. Belum terlalu dia seriusin banget kayak akuntan nyari setengah rupiah yang miss dari tabel."

Non menunggu kelanjutan kalimat itu.

"Kata Ari, ada yang nggak match antar divisi. Dan ada angka yang agak mengada-ngada."

"So?"

"Sebenarnya dia butuh waktu lagi untuk periksa lebih detail, tapi dia takut kelamaan. Ya atuh aku mau gimana ya? Aku tau dia sudah paksa kerjain cepat, tapi kan kerjaan dia banyak banget."

"Lalu?"

"Ari bilang, bikin janji ketemu aja secepatnya biar kita bisa bicara langsung. Kan sudah ada data sementara tadi."

"Mau langsung nanya kejanggalan itu gitu?"

"Ya nggak lah. Ari bilang kalau ketemu langsung bisa kenal orangnya gimana. Dan kasarnya kalau mereka mau main-main nggak keburu karena kita kasih waktu sedikit banget."

Non menarik napas. Lelah. Ada apa lagi ini?

"Dia sudah pernah ngurus Blackwood meski susah banget ketemu mata-matanya. Dia yang ketemuin penyelewengan Ben." Non mengingat-ingat cerita itu.

"Dan sekarang dia ngutak-ngatik data kantor kita." Tristan berkata sambil menyuap lagi. Itu pun diingatkan Non dengan lirikannya. Jika mereka berdua saja, tentu Non akan menyuapi Tristan. Mengingat itu, dia benar-benar merasa butuh berdua saja dengan Tristan. Dia belum bisa mengumbar kemesraan di depan adik-adiknya.

"Saran Ari gimana lagi?" Non bertanya mengalihkan isi kepalanya.

"Aku disuruh pelajari dulu semuanya. Katanya kalau bingung tanya dia. Lha ya aku bingung semua, bisa mendadak kurus tu orang ngelayanin aku."

Non terkikik. "Makanya browsing terus?"

"Iya. Dari kemarin dia kasih ni data tapi baru semalam aku bisa buka. Aku kelonin malah bikin makin pusing. Enakan kelonin kamu, Non."

Non makin terkikik.

"Pantes serius amat mukanya."

"Aku japri mereka besok untuk lusa atau Rabu kali ya?" tanyanya meminta pendapat. "Besok aku mau ke sekolah Trisha juga. Biar asrama bantu pegang Trisha. Tu anak butuh tempat lain dan pengalih perhatian." Dia melirik ke arah kebun, ke arah sumber suara tawa lepas adiknya. "I mean, look at her now, dia bisa ngakak sebebas itu di sini. Tadi malam juga tidurnya nyenyak. Aku makin percaya kalau Trisha cuma nggak mau di rumah itu. Ketakutannya sudah masuk ke alam bawah sadarnya."

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang