64, Memetakan Masalah

144 48 44
                                    

SEPERTI hari sebelumnya, jadwalnya hari ini sama. Sholat, makan, lalu tidur. Jam sembilan dia sudah bangun. Tubuhnya masih lemah. Dia masih sangat berat pulang ke rumah dan menemui Non. Tapi ada Trisha yang harus dia urus setelah seharian kemarin dia tinggalkan. Mellihat sahabatnya sekuyu itu, Dewa langsung menawarkan diri mengantar Tristan. Lebih tepatnya memaksa. Saat ini, Tristan yang limbung sulit mengambil keputusan.

"ABAAANNNGGG..." Teriakan ceria Trisha menyambutnya. Mendengar itu, sedikit tanda-tanda kehidupan terlihat di wajahnya. Trisha hanya sekilas memeluk abangnya, sudahnya, dia kembali pergi bermain. Melihat itu, Tristan tersenyum. Senyum yang di mata Dewa malah membuatnya teriris. Semua yang Tristan lakukan, yang dia korbankan, hanya demi melihat adiknya bisa sebahagia itu.

"Bro, gue balik ya." Dewa menepuk pundak Tristan. Dia yakin, dia tidak akan bisa berlama-lama menemani Tristan, tapi di tempat seramai ini, beban pikirannya bisa teralihkan.

"Thanks ya."

"Never mind." Dewa menepuk pundak Tristan lagi. Kali ini lebih keras. "Bro, kadang, kita harus melawan ketakutan itu dengan menghadapinya langsung. You have to face it. Karena manusia sering sekali diuji sesuai ketakutannya. Kalau lu nggak takut, lu nggak akan merasa berat dan susah. Nggak jadi ujian buat lu."

Tristan terdiam meresapi kalimat itu.

"Tanpa ketakutan itu, lu sekarang lagi honeymoon sama Non. Lalu ujiannya beda lagi. Dan tetap, you have to face it."

"Iya."

"Gue yakin lu bisa, Bro." Dewa menjulurkan tangannya ke atas lalu tangan mereka saling menggenggam. Sebelah tangan Dewa lagi-lagi menepuk bahu Tristan.

Setelah Dewa pergi, Tristan memanggil adiknya.

"Trisha, kita ke Bu Darmi dulu baru Abang antar ke asrama ya."

"Yah, Abang. Adek nggak mau pulang. Langsung aja sih ke asrama."

"Kita nggak pulang, Dek. Kita ke Ibu. Ibu kan kangen sama Adek." Kata pulang adalah untuk ke rumah ini, meninggalkan rumah ini berarti pergi.

Masih merengut, Trisha menandak menaiki tangga untuk bersiap. Tak lama dia turun bersama Non.

"Lu ikut ya, Non."

"Hah? Ke rumah lu?" Terkejut.

"Nanti gue antar ke Bunda."

"Eh, nggak usah. Lu antar Trisha aja."

Tristan berkedip. Non menunduk dan langsung berbalik, berjalan ke atas, mempersiapkan diri. Tak menunggu lama, dia sudah kembali. Tristan mengarahkan keduanya ke mobil.

"Kok pakai mobil?" tanya Non.

"Nggak apa-apa. Biar cepat aja."

Non diam. Sejak meninggalkan rumah, Tristan sangat menghindari menggunakan mobil. Bahkan motor Fabian lebih sering dia tinggalkan di kos untuk dipakai Dewa dan Seto.

Sisa perjalanan mereka isi dengan melayani celotehan Trisha. Untung ada bocah itu, jika tidak, entah apa jadinya mereka berdua. Sesekali Tristan melirik Non dari spion depan, dia tahu, gadis itu pun kurang tidur. Dia hanya bisa mendesah dalam hati.

Sampai di rumah Bu Darmi menyambut mereka dengan suara besar.

"Eh, anak cantik datang...." Dia langsung menarik tangan Trisha ke tengah rumah. Meninggalkan Tristan dan Non di garasi. Setelah yakin salah satu dari orangtua itu melihat Trisha, Bu Darmi mengajak Trisha ke dapur dan menjumpai Tristan dan Non duduk di kursi meja makan. Dia mengambil puding cokelat yang memang dia siapkan untuk Trisha, gadis kecil itu langsung menyambar porsinya.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang