TIDAK menunggu lebih lama lagi, keesokan harinya Tristan langsung mengurus kepindahan sekolah Trisha. Bertepatan dengan semester genap, Trisha akan memulai petualangan barunya di sekolah yang baru. Dia sudah meminta Non untuk menemaninya mengantar Trisha. Non tentu menyanggupi dan malah sangat bersemangat.
Di hari Minggu, Tristan dan Non sudah bersiap sejak pagi. Mereka harus menjemput Trisha terlebih dahulu ke rumah lalu mengantarnya ke sekolah yang baru.
Di depan sebuah pagar tinggi yang menutupi isi di dalamnya, Tristan membunyikan klakson. Tak lama pintu terbuka oleh petugas berseragam. Dari sini saja, Non sudah terdiam. Dia hanya melirik manusia di sebelahnya yang terlihat lentur melewati gerbang meski memasang wajah datar. Setelah melewati halaman super luas akhirnya Tristan memarkir mobil di belakang jajaran mobil. Mendadak mobil operasional rumah mereka bekas mobil Fabian menjadi gerobak kayu di antara mobil-mobil itu.
Tristan turun dan dengan kode kedikan dagu dia mengajak Non turun. Non tetap diam dan mengikuti saja gerakan Tristan. Beberapa asisten rumah tangga yang sedang bekerja mengangguk sopan sepanjang Tristan berjalan.
"Ibu mana?" tanyanya pada salah satu di antara mereka.
"Di kamar Aden sama Non Trisha, Den."
Tanpa berkata lagi Tristan langsung melintasi ruang dan menaiki tangga dan langsung membuka pintu.
"Tuh, Dek, Abang sudah datang. Ayo bangun." Bu Darmi sedang membangunkan anak asuhnya.
Tersenyum, Tristan berjalan menuju ranjang, membungkuk dan mengecupi wajah adiknya. Trisha terkekeh tapi tetap memejamkan mata. Mengetahui adiknya sudah bangun, Tristan ganti menyapa—bersalim—pada Bu Darmi. Tentu Non mengikuti saja semua gerakan Tristan. Membuat Bu Darmi menoleh dan lalu bertanya pada Tristan.
"Ini siapa? Pacar Abang?"
"Astaga!" Satu kata dari dua suara.
"Teh Non." Mendengar ada suara Non, Trisha langsung berbalik, membuka mata, lalu langsung duduk dan merentangkan tangan, meminta pelukan yang langsung diberikan Non yang mengabaikan pertanyaan Bu Darmi.
"Teman Abang, Bu. Jangan asbun deh."
"Habis Abang nggak pernah bawa teman cewek. Cowok aja jarang banget."
"Nggak ngelihat Trisha kayak apa sama tetehnya?" Tristan mengedikkan dagu ke arah Trisha dan Non yang sedang bermain tepuk tangan. "Biar gimana Trisha nanti ditinggal sendirian di asrama. Dibawain pawang yang lain buat jinakin dia."
"Oohh... ya Ibu mana tau."
"Ya makanya jangan asbun."
"Kan makanya Ibu nanya."
"Ck." Dia berdecak. "Mandiin Trisha aja sana gih, Bu."
Bu Darmi langsung mengajak Trisha yang kali ini bergerak cepat meninggalkan Tristan dan Non berdua saja.
"Mau minum apa?" tanya Tristan sebagai tuan rumah yang baik.
"Gue nggak haus."
"Ck." Dia berdiri dan berjalan ke pintu. Hanya melongokkan kepala saja lalu bersuara. "Bikinin jus dua ya."
"Jus apa, Den?"
"Apa aja." Lalu dia menutup pintu tanpa menunggu jawaban lagi.
Non tetap duduk di tepi ranjang. Dia melihat saja Tristan yang menyambar remote dan menyalakan LCD layar super besar sambil membanting tubuh di ranjang.
"Kita di sini aja?" tanya Non ketika dia merasa aneh dengan keberadaan mereka di kamar ini.
"Hah?"
"Biar gimana ini kamar lu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...