NON merosot sepanjang dinding lalu airmatanya turun tanpa isak.
Tak tahu berapa lama dia di posisi itu, tapi rasanya sebentar saja. Tak tahulah. Lelahnya yang tadi sempat menguap mendadak datang menerjang bersama badai putus asa. Apalagi yang bisa dia lakukan sekarang? saat yang harus dia lalukan sudah semua dia kerjakan.
Non terus terpuruk dengan air mata meleleh tanpa isak. Anak setegar dia, sampai airmatanya keluar, hanya sakit yang sangat yang membuatnya seperti itu.
Sampai sebuah tepukan di bahu terasa. Seorang tetangga membawanya kembali ke lorong rumah sakit.
"Non," ujarnya pelan.
"Ya."
"Dokter mau ngomong sama lu."
Dia mengehela napas, berat, lalu berusaha berdiri meski tubuhnya limbung. Terseok dia menyeret langkahnya ke IGD. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan dokter sampaikan. Apalagi ketika dokter yang menemuinya memasang wajah sendu. Ah, paling tidak wajah sendu itu menunjukkan empatinya pada sesama manusia.
Benar dugaannya. Setelah ucapan maaf dan telah berusaha maksimal, Non tahu, neneknya sudah pergi.
Non tidak lagi menangis. Airmata duka sudah keluar tadi di dinding depan administrasi. Air mata kemarahan yang berarti kegagalan. Yang tersisa sekarang hanya rasa kehilangan, kesendirian, dan kesepian yang sangat. Yang dia tahu beberapa hari ke depan semua rasa itu akan semakin menyengat, lalu perlahan memudar. Namun pudar yang tersisa tidak akan hilang, menetap selamanya sepanjang hidupnya.
***
Tak ada lagi yang tersisa saat isi keranjang di tangannya sudah kosong. Yang Nona lakukan hanya merapikan taburan bunga di pusara neneknya. Mengambil kelopak yang melenceng jauh dari gundukan tanah, lalu meletakkan kelopak itu ke tengah pusara. Sisa dia sendirian di kuburan itu. Semua tetangganya sudah pulang.
Buat apa lagi dia pulang? Tidak ada lagi Nenek yang menunggunya di rumah. Memijat bagian apa pun dari tubuhnya dengan tangan tua keriput dan lemah. Pijitan yang tidak terasa tapi begitu menyentuh hati Nona. Saat memijat, neneknya akan menghibur dan menguatkannya. Membuatnya bersemangat untuk menyambut esok hari yang meski dia yakin setidak pasti hari ini, tapi senyum neneknya bisa membuatnya teryakini bahwa semua akan baik-baik saja.
Buat apa dia pulang? Semua yang membuatnya berlari pulang sudah tidak ada lagi. Semua? Ah, hanya ada neneknya saja. Tidak ada yang lain. Bahkan orangtuanya pun tak ada.
Dia sungguh tidak tahu siapa orangtuanya. Dia hanya anak yang keluar dari batu lalu ditemukan seorang nenek yang menjadikannya cucu dan merawatnya dengan penuh cinta dalam semua keterbatasannya.
Iya. Nenek itu bukan nenek kandungnya. Nona hanya anak yang dibuang orangtuanya sejak masih bayi merah. Hanya cinta dan kasih sayang Nenek yang dia kenal yang membuatnya tetap hidup dan menjadi gadis tangguh yang berani menghadapi dunia.
Mengingat itu, airmatanya meluruh lagi. Dia sudah tidak ingat kapan terakhir kali dia menangis. Mungkin saat masih balita. Yang dia ingat, sesakit apa pun tubuhnya dipukul, sesakit apa pun hatinya dihina, dia tidak pernah menangis. Tapi kali ini dia menangis. Tangis kehilangan dan rindu.
***
Di sisi kota yang lain, Tristan makin merasa di surga. Beban hidupnya terlepas saat dia bisa melayang melupakan semuanya. Asap itu membawa awan kebahagiaan. Dia menjadi anak kesayangan Gun. Berapa pun yang Gun minta, dia berikan. Yang penting barang yang dia butuhkan selalu ada. Gun menjadi sahabatnya. Tempat dia mengeluarkan kepenuhan hatinya dan kesesakan pikirannya. Benda itu dan telinga Gun adalah segalanya yang dia butuhkan selama ini.
Seperti saat ini. Dia begitu tenang melihat adiknya bermain. Batita itu begitu manis. Dia bermain sendirian di atas ranjang dengan Tristan yang sudah melayang hanya melihatnya dalam kabut kenikmatan. Suara-suara teriakan sebenarnya masih sangat kencang di luar. Tapi di telinga Tristan suara itu hanya sebagai desau angin yang tidak bisa mengganggu ketenangannya. Tadi memang suara itu mengganggunya sangat. Membuat kepalanya seperti akan meledak. Lengking adiknya membuat dia makin kacau. Dalam kondisi lelah jiwa seperti itu, dia terseok mengambil adiknya.
Hanya dia seorang yang bisa melakukan itu. Semua pengurus rumah tidak akan berani mendekat jika orangtuanya berperang lagi. Pun untuk mengambil bocah kecil yang menjerit ketakutan pun tidak ada yang berani. Mereka masih sayang pekerjaannya. Orangtuanya memang sangat royal urusan penghargaan materi.
Setelah mengambil adiknya, dia kembali terseok ke kamar. Adik kecilnya sungguh adik yang manis. Begitu dia melihat abangnya, tangisnya mereda dan cukup ditimang dan dipeluk, adiknya akan berhenti menangis, tenang bersama abangnya. Trisha adalah hiburannya.
Dia biarkan adiknya bermain di ranjang sementara dia menyiapkan alat hisap. Setelah semua siap, dia akan ke kamar mandi. Bukan, bukan dia tidak mau Trisha melihat kelakuannya. Dia hanya menjaga agar adiknya tidak ikut menikmati uap dari alat hisap. Setelah selesai, dia akan kembali ke ranjang. Merebahkan diri di sana. Melayang ditemani adiknya.
"Bang..."
Suara pintu terbuka diikuti suara panggilan tidak membuatnya menoleh. Melihat Tristan seperti itu, Bu Darmi hanya menarik napas saja. Perlahan dia berjalan ke tengah kamar, membiarkan Trisha asyik bermain untuk mengurus anaknya yang besar.
"Bang...." Dia mengelus kepala Tristan. Yang dipanggil menoleh dan tersenyum samar. Matanya sudah dipenuhi kabut. Membuat si pengasuh beristigfar panjang diiringi desah dan airmata. Dia terus membelai kepala anak asuhnya.
"Bang... kapan Abang berhenti pakai ginian? Ibu kangen Abang yang lama."
"Ibu pakai juga aja. Enak banget tau, Bu."
"Abang nggak kasihan sama Trisha? Dia main sendirian tuh."
"Temenin dulu, Bu," ujarnya sambil memerosotkan tubuh. "Trist mau tidur." Dia mengatur tubuhnya membelakangi Bu Darmi.
Mendesah, Bu Darmi mengambil Trisha. Anak itu awalnya menolak. Tapi sedikit rayuan akhirnya dia mau ikut Bu Darmi. Sebenarnya tugas Tristan hanya menyelamatkan Trisha saat terjadi perang. Setelahnya, Bu Darmi akan mengambil alih Trisha dan Tristan bisa bebas di dunianya. Itu yang terjadi sejak Tristan rusak. Dulu, Tristan sendiri yang akan mengurus Trisha. Bu Darmi memang selalu ada, tapi dia hanya mendampingi saja. Sekarang, Bu Darmi berusaha agar Trisha tidak berada dekat abangnya yang sedang mabuk. Dan Tristan tidak peduli lagi selama yang mengambil Trisha adalah Bu Darmi.
Menunggu Tristan kembali, Bu Darmi akan mengurus semua kebutuhan Trisha. Itu memang tugasnya, tapi dadanya terasa sesak jika mengingat Tristan sudah bukan anaknya yang dulu. Dia rindu saat-saat bermain bertiga di kamar Tristan yang luas. Rindu sekali.
Ke mana Tristan yang dulu?
Dia membenci siapa pun yang merusak anaknya seperti ini. Seandainya dia punya kuasa, dia akan mencari orang itu dan menghancurkannya. Tapi siapa dia? Dia hanya pengasuh yang dibayar orangtua Tristan untuk mengurus anak-anaknya.
Hebatnya lagi, kedua orangtuanya masih tidak sadar anaknya sudah berubah. Ke arah yang lebih buruk.
***
Bersambung
Author's note:
Gimana? Ngebosenin nggak? Cerita belum bergerak nih.
Bulan ini berarti publish tiap taggal ganjil ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...