SEJAK pulang dari rumah panggung itu dia tak bisa berhenti membayangkan landscape dan terutama penghuninya. Apalagi setelah dia ikut bekerja membuat tempe. Itu sudah berlalu beberapa minggu lalu. Jika Trisha tidak selalu merengek minta ditemani, sudah bisa dipastikan dia akan makin sering ke sana. Selama ini dia hanya mencuri-curi waktu ke sana di sela jam kosong kuliah. Kadang sendiri saja, kadang juga bersama Seto dan Dewa. Sementara Dinda dan Nadya dia tugaskan mendampingi Rey yang masih sering limbung dengan statusnya sebagai istri Fabian.
Malam itu, di balkon kamarnya, dia melamun ditemani kopi dan rokok.
"Bang..."
Suara pelan Bu Darmi menyentaknya. Dia langsung menoleh, menurunkan kaki, merapikan duduk, menghargai ibunya.
"Abang ngapain? Belum makan kan?" Bu Darmi duduk di samping Tristan. "Makan dulu ya."
"Malas, Bu."
"Abang mau makan apa? Ibu masakin ya."
"Nggak usah. Tadi sudah makan."
"Tadi kapan?"
"Tadi siang,' jawab Tristan sambil terkekeh. Jawaban yang membuat Bu Darmi memukul bahu Tristan. Ini hampir tengah malam. Berarti sudah sekitar dua belas jam Tristan belum makan.
"Ayo, makan dulu."
Akhirnya Tristan berdiri dan mengikuti langkah Bu Darmi. Dia memilih makan di dapur tentu ditemani Bu Darmi.
"Bu."
"Ya?"
"Tadi Abang ke rumah yang enak banget deh."
"Rumah siapa?"
"Rumahnya dosen Abang. Tapi yang tinggal di sana adek-adek angkatnya."
"Lalu?"
"Abang kan juga sudah jadi adek angkatnya."
"Lalu?"
"Abang mau tinggal di sana. Sama Trisha."
"Ibu ikut ya, Bang."
"Ibu jadi adek angkatnya Bang Ian?" Tristan terkekeh.
"Ya jadi ibu angkatnya aja sih." Bu Darmi ikut terkekeh.
"Di sana adek-adeknya kerja semua, Bu. Ngurus rumah, ngurus kebun, ngurus ternak."
"Ah, itu mah kerjaan Ibu tiap hari. Nanti tugas Abang dan Adek Ibu semua yang kerjain juga nggak apa-apa."
"Nggak begitu di sana mah, Bu. Semua harus kerja. Abang nggak apa-apa kok kerja."
"Memang Abang bisa? Abang nggak pernah kerja. Apalagi Adek."
"Nanti pasti bisa, Bu."
"Terus kapan Abang mau ke sana?"
"Nanti aja, kenaikan kelas Trisha. Biar enak pindah sekolahnya."
"Masih lama dong." Bu Darmi mencebik sambil mengisi lagi piring anaknya. "Kirain besok."
Tristan terkekek.
"Tabungan kita sudah banyak belum, Bu?"
"Alhamdulillah, Bang. Abang sudah sembuh, nggak beli racun setan lagi. Tabungan Abang lebih cepat nambahnya. Kenapa nanya-nanya itu?"
"Ya buat persiapan kita pergi, Bu."
"Ooh..."
"Orang dua itu ke mana, Bu?"
"Bapak belum pulang, Ibu tadi pagi bilang mau ke Hongkong."
"Ck." Tristan berdecak sambil pergi menyudahi makannya yang memang sudah habis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jendela Hari [End, Full]
RomanceNONA binti Fulanah merasa neraka hidupnya berubah menjadi surga ketika Fabian Samudra menjadikannya adik angkat dan membiayai sekolahnya. Dia tinggal bersama dua belas saudara angkatnya di rumah kayu berbentuk panggung di lereng gunung, replika ruma...