12, Pertemuan Pertama [2]

186 53 54
                                    

SETELAH jungkir balik meyakinkan calon istri yang juga mahasiswanya, akhirnya Fabian berhasil memaksa Rey menikahinya. Menyadari perbedaan usia dua belas tahun dan perbedaan status, Fabian yang langsung berinisiatif masuk ke lingkungan Rey. Dia mendekat dan berusaha masuk ke lingkaran persahabatan Rey.

Fabian, pebisnis dan dosen, dia sangat lentur dengan sahabat istrinya sekaligus mahaswiswa bimbingannya. Cukup satu kali bermain basket bersama, the boys bisa menerimanya masuk.

***

"Ni jadwal nggak enak banget sih," gerutu Dinda si pemalas menanggapi jadwal hari itu. Dua kelas kosong diapit dua kelas di pagi dan sore. "Mau ke kos, malas harus balik ke kampus lagi. Nyuruh bolos jadwal kayak gini mah."

Kelas pertama bubar, mereka sedang merapikan catatan dan alat tulis.

"Ah, dasar lu aja yang mau bolos. B*hl*l!" Nadya menoyor sadis dahi temannya.

"Eh, kita ke rumah Pelangi yuk," ajak Rey tiba-tiba.

"Hah? Rumah apa?"

"Rumah Pelangi. Rumahnya si Pelangi, Angi. Anaknya Ian."

"HAH? Anaaakkk?"

"Eh, adek deng. Tapi bayi gitu sih. Cocokan jadi anak daripada adek."

"Coba diper-clear sedikit itu info," pinta Dinda.

"Bang, bawa mobil kan?" tanya Rey mengabaikan pertanyaan Dinda.

"Bawa. Jauh nggak?"

"Ayo ah." Dia langsung menarik tangan Tristan. "Kalau yang lain nggak mau ikut, biarin aja. Kita aja yang ke sana."

Melihat dua orang itu berjalan akhirnya yang empat pun tidak ada pilihan lain selain mengikuti keduanya.

"Pasrah gue deh. Daripada balik ke kos," Dewa berjalan loyo.

"Ke mal aja yuk," ajak Nadya. "Si Rey nggak jelas gitu."

"Ayo, Bang. Terserah mereka mau naik apa nggak." Rey sudah duduk di sisi baris tengah. Membuat yang lain ikut masuk.

Rey mengarahkan Tristan ke arah gunung lalu di depan sebuah pagar kayu dia menghentikan mobil dan keluar membuka pagar.

Lima orang di dalam mobil menatap takjub pemandangan di balik pagar. Setelah Tristan memarkir mobil di samping rumah panggung, kelimanya keluar mobil sambil tetap menatap sekitar.

"Ini surga, Rey," ucap Dinda tanpa merasa perlu melihat ke arah Rey yang hanya mengangguk mengiyakan.

Siang itu langit jernih. Gunung terlihat dekat dan jelas. Seakan mereka bisa melihat pohon-pohon yang mengisi tiap jengkal tanahnya. Suara gemericik air terdengar sangat dekat. Udara sejuk khas udara gunung berpadu nyaman dengan matahari yang panasnya terasa lebih bersahabat di sini.

"Ini rumah siapa?" tanya Nadya.

"Rumah adek angkatnya Ian."

"Hah?" Dinda bertanya sambil berkerut kening. "Terus ngapain kita ke rumah adek angkatnya Pak Ian?"

"Nggak apa-apa. Ini rumah Ian kok. Cuma adek angkatnya semua tinggal di sini."

"Semua? Memang ada berapa orang?"

"Tiga belas. Mantan anak jalanan semua."

"Hah?"

Rey sudah mengabaikan keheranan Dinda ketika penghuni rumah sudah menyambutnya ramah. Dinda dan Nadya memilih mengikuti gerakan Rey berjalan ke bawah rumah lalu duduk di balai-balai sambil mendengarkan percakapan Rey dan tuan rumah. Dari percakapan itu mereka bisa mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang rumah ini.

Jendela Hari [End, Full]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang