Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Besar dan kecil harusnya jadi lawan kata, tapi bagi Jimin sama saja. Satuan nilainya, tetap sama dimata Ayahnya. 80 adalah angka yang setara dengan 70 atau bahkan 50. Pada intinya Ayah tidak puas meski Jimin sudah mencapai batas.
Diangka tujuh ia memulai hitungan pertamanya pada rumus-rumus rumit, hingga bergeser jarum pendek pada angka sepuluh tidak pula usai.
Ini tentang sebuah harapan, Jimin tahu kata itu terus digaungkan Ayah selama tiga jam. Ayah ingin Jimin begitu, Ayah ingin Jimin begini, atau harus seperti ini, wajib lakukan itu. Jimin sedang berusaha untuk tidak bertindak gila dengan berteriak didepan Ayahnya meski rasanya ia mau meledak.
Tiga jam lalu, Jimin menelan pil pahit yang sudah sering ia gunakan selama dua bulan belakangan. Tangannya gemetar, detak jantungnya terasa kacau, kelenjar keringatnya seperti jebol, terus mengeluarkan bulir-bulir membasahi telapak tangannya.
Tetapi Ayah memilih buta, memaksa Jimin yang mulai lemah gerak tangannya untuk kembali menelan satu butir lagi. Rasanya seperti mesin yang terus didorong untuk bekerja, padahal komponen yang bergerak mulai amblas terserang panas.
"Tidur hanya untuk orang yang sudah pandai, Jim. Orang bodoh tidak boleh santai-santai." Susunan tutur Ayah tidak pernah terdengar menyenangkan. Jimin merasa kesulitan menarik napasnya. Pensil yang diapit jemarinya, ia tekan pada permukaan kertas. Tulisannya menebal seiring dengan pandangan yang memburam.
'Tahan bodoh.' Atau ia akan melihat kembali kekejaman Ayah beberapa tahun silam. Saat bertengkar hebat dengan Bunda. Mereka hampir terlibat tindakan kekerasan. Saat itu Jimin tahu, Ayah sangat kasar. Tapi matanya melihat, Ayah begitu mencintai keluarganya sekarang. Pantas Taehyung tumbuh jadi pribadi yang bersinar. Dia punya cahaya yang cukup untuk jadi pribadi berkembang.
"Guru Choi bilang, dalam materi kalkulus kau masih banyak kurangnya." Berlembar-lembar halaman buku dibuka sampai Ayah menemukan bab yang dimaksudkan, "Kalkulus itu isinya Limit, turunan, integral dan baris tak terhingga. Tapi limit bagian yang penting, kau harus mempelajari lebih dulu, "
Panjang kali lebar Ayah menjelaskan, selayaknya seorang guru yang tengah berdiri dihadapan seluruh murid dikelas.
Dari awal sampai akhir, Jimin dengar. Ia tidak melewatkan satu kata pun yang dikeluarkan Ayahnya. Saat itu juga ketidakpahaman kembali menyerangnya. Ia ingin bertanya, tapi seperti biasa ketakutan lebih dulu menyergap, menciutkan keberaniannya. Terlebih saat Ayah memberikan satu soal setelah contoh untuk Jimin kerjakan. Kegagapan pada gerak tangan Jimin sangat terbaca. Membuat decihan Ayah terdengar luar biasa menyakitkan.