Gio selama ini mengira dia orang yang kuat. Namun melihat setengah karyawan Ranggatama London terluka akibat sesuatu yang sama sekali bukan salah mereka membuat hatinya hancur. Tiga karyawan mereka meninggal. 2 chef dan satu sous-chef atau asisten chef. Beberapa luka bakar berat, sebagian luka bakar ringan.
Papi dan Gio menjenguk semua satu per satu. Yang sudah meninggal jenazahnya sudah dibawa pergi oleh keluarga masing-masing, karena sejak insiden itu berlangsung sudah lewat 6 jam. Gio dan Papinya terlambat sampai karena terjebak badai salju di Euro Rail, kereta Paris-London tadi.
Isak tangis keluarga korban luka bakar berat terdengar saat mereka datang menjenguk. Papi dan Gio mendoakan agar mereka semua cepat sembuh, dan berjanji untuk memberi biaya untuk mengcover semua kebutuhan keluarga setelah keluar dari RS, karena semua karyawan mempunyai asuransi kesehatan negara. Selama di RS biaya berobat mereka ditanggung negara. Tapi pasti perlu waktu berbulan-bulan untuk sembuh dari luka bakar. Mereka pasti tak bisa bekerja dulu. Ini yang biayanya akan ditanggung oleh Ranggatama Company.
Mata Gio juga sudah terasa panas saat mengunjungi semua karyawannya yang terluka. Terakhir adalah Cathleen, Head Chef yang terkena luka bakar parah, dan juga pernah jadi flingnya sebentar summer tahun lalu.
Ternyata, Cathleen kondisinya mengenaskan. Dia divonis dokter sedang berada dalam keadaan kritis. Setengah badannya terkena luka bakar, dari paha hingga ke leher, menyisakan wajahnya yang cantik.
"Guess.....it's my time to go......." Cathleen berbicara serak ketika Gio mendekati ranjangnya.
"No, you're going to recover," kata Gio yang pura-pura kuat.
Cathleen tersenyum. "Don't.....lie......you've never......been.....a liar......."
Gio duduk di sebelah Cathleen. Keluarga Cathleen ada di Norwegia. Mungkin mereka masih sedang berusaha untuk datang ke situ, dan terhalang juga oleh badai salju.
"You're tough. Please be tough again," mohon Gio.
Cathleen baru umur 27 tahun. Lima tahun lebih tua dari Gio. Rasanya tak adil sekali kalau Cathleen harus berakhir di sini, dengan semua potensi yang dia miliki.
"Can you.......hold my hand?"
Apakah memegang tangan perempuan yang sedang sekarat itu mengkhianati istrimu sendiri, pikir Gio.
Namun Gio tak tega, lalu menggenggam tangan Cathleen yang tidak terkena luka bakar.
"I love......you......." bisik Cathleen.
Gio diam saja. Tak menjawab, tapi juga tak mendebat Cathleen. Secara naluriah dia tahu, ini saat terakhir gadis itu.
"I was so......angry......at you......" kata Cathleen dengan suara serak, mengerahkan seluruh sisa tenaganya hanya untuk bicara.
"You left me......when I was already.......in love with you......."
Gio masih diam, dalam hati berdoa semoga Tuhan memberi Cathleen kesembuhan, agar dia bisa bertemu laki-laki yang baik, yang bisa membahagiakannya.
"And you married.......young........leaving me.......with no hope......."
Monolog itu terus berlanjut.
"But I can see you......again......and I regret nothing.......I regret nothing......."
Gio mengira Cathleen akan lanjut berbicara, tapi tiba-tiba pegangan tangannya di tangan Gio melonggar.
Dan mesin monitor jantung di sebelahnya berbunyi bip.......panjang.
Dokter dan suster datang, buru-buru berusaha menyadarkan kembali Cathleen. Namun Cathleen sudah pergi, menggenggam tangan orang yang dicintainya untuk terakhir kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Say Never
RomantikRebecca adalah mahasiswi paling cerdas di kampus. Pemenang berbagai penghargaan, ketua angkatan, dan dijuluki kampus queen. Populer, cantik dan smart. Pacarnya ganteng, sahabatnya juga keren. Tapi dunianya runtuh ketika dia tahu pacarnya selingkuh...