Drabble 16

110 12 0
                                    

Dia berkata dia ingin mati, aku hanya bisa diam disini. Aku tidak bisa memeluknya, tetapi aku mendengar segala keluh kesahnya, bagaimana hidupnya, semuanya. Aku berada disisinya selama 24 jam, setiap hari.

Dia belum boleh mati, aku tahu itu. Tentu saja aku tahu itu, sangat malah.

"Aku ingin mati, Riou. Aku lelah,"katanya ketika kami duduk berhadapan. Aku menatapnya, tatapan datar aku berikan padanya, dia tidak menyadari itu.

"Saburo."Aku mulai berkata,"Belum waktunya."dia terkekeh, kekehan pahit. Tampaknya anak itu sudah tidak peduli akan hidupnya lagi.

"Tapi aku ini tidak berguna, penyakitan, bodoh, jelek..., hanya beban bagi kedua orangtuaku."ia berkata, namanya terdengar penuh kesenduan. Aku mengusap bahunya, walau mungkin dia tidak akan merasakannya.

"Aku capek sekali...,"gumamnya, membuatku menghela napas lelah, tapi ini bagian dari tugasku. Menunggu seseorang yang tepat untuknya, sembari mencegahnya bunuh diri atau mati, juga menemaninya. Itulah tugasku.

Sebilah silet yang masih baru ia raih, ditariknya lengan bajunya ke atas, memperlihatkan banyaknya bekas luka yang ada. Bekas luka yang sudah ada bahkan sebelum aku mengenal Saburo.

"Sigh...,"aku menghela napas lagi, lalu meminta maaf dalam hati. Aku tanamkan rasa takut luar biasa di hatinya, karena aku tahu, tidak ada gunanya aku menyembunyikan obat maupun silet, Saburo selalu bisa membelinya lagi nanti.

Aku mendongak, menatap lurus manik dwi warna Saburo yang mulai menampakkan binar ketakutan luar biasa. Sepertinya berhasil seperti biasa. Perlahan, Saburo menjatuhkan silet di tangannya dan menatapku,"Apa-apaan kau?!"dia membentakku, tapi itu tidak masalah, ini bukan yang pertama kalinya.

"Apa?"Aku bertanya dengan wajah polos, seolah aku tidak tahu tentang apa yang baru aku lakukan demi menyelamatkan nyawanya lagi. Yang kesekian kalinya.

Dia mengalihkan pandang, tampak kesal. Sejurus kemudian, kepalanya mulai tertunduk, aku rasa dia akan mengatakan sesuatu lagi.

"Tolonglah."dugaanku benar, dia mengatakan sesuatu lagi,"Biarkan aku pergi, aku lelah,"katanya,"Lagipula bukannya kau seharusnya senang?"Saburo menatap mataku dengan tatapan lurus,"Aku menjadi sepertimu?"

Aku menggeleng, tidak.

-000-

Aku rasa, Saburo tahu kalau aku sengaja menanamkan rasa takut di hatinya jika ia ingin melakukan percobaan bunuh diri. Tapi aku tidak terlalu peduli, nyawanya lebih penting.

Bukan, terlepas dari tugasku, aku diam-diam menyukainya. Kau tahu? Seperti sepasang kekasih. Begitulah.

Kali ini dia akan menyebrang jalan, kedua telinganya tersumpal earphone yang memutar musik dengan volume penuh. Aku melihat dirinya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket besarnya, lalu menundukkan kepalanya.

Perlahan, kaki kecilnya melangkah, menunggu sesuatu menghantam tubuhnya, ia nekat kali ini. Sepertinya aku gagal menanamkan rasa takut itu.

Tapi tidak, dia belum boleh mati sekarang. Aku tutupi tubuhnya dengan jaketku hingga ke tepi jalan. Kemudian aku membentaknya, "Kau gila ya?!"

Dia mendongak, tertawa sinis.

"Ya."

Aku hanya bisa terdiam, kemudian membuang pandang, dan kembali berjalan.

Namun kata-kata singkat itu terus terputar di kepalaku.

'Ya.'

-000-

Sial, sial, sial. Dia lepas dari pengawasanku! Ahh sial!! Aku meremas rambutku sendiri, baru kali ini aku dapat merasakan rasa takut yang selama ini aku tanamkan pada Saburo.

Mengerikan sekali.

Aku menatap sekitar dengan panik, setiap bagian kecil aku tilik, mencari keberadaannya. Sulit sekali, aromanya sedikit pudar, aku rasa dia mengganti parfumnya saat dia berjalan dariku.

Aku mendongak ketika merasakan sesuatu yang aneh, kutatap atap apartemen yang kelihatannya baru saja dibuka. Dia ada diatas atap itu, diluar pagar pembatas. Sial.

Aku segera berpindah ke tempatnya saat itu, kutatap dia, kutanamkan lagi rasa takut. Namun gagal.

"Sa-Saburo, jangan."Aku menurunkan harga diriku hanya untuk memohon pada manusia. Dia bahkan tidak menoleh untuk menatapku, tapi dia tersenyum penuh kepahitan.

"Selamat tinggal."

-000-

Dia terkekeh, kini dia sama sepertiku.

"Hehe~ maaf, Riou."

Jadi, disini ceritanya Riou itu hantu, atau sejenisnya. Dia dapet tugas buat jaga Saburo yg udah pengen mati. Disini cuma Buro yg bisa lihat Riou, lihat doang gabisa disentuh soalnya tembus. Jadi yagitu, tiap Buro mau nyoba bundir, Riou menanamkan rasa takut luar biasa biar Buro ketakutan dan ga jadi bundir.

Oneshoot Riou x SaburoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang