Drabble Angsty: 3

82 8 0
                                    

Riou menatap nanar pada pemandangan yang tersaji dihadapan pria bersurai jingga itu. Hela napas berat ia keluarkan ketika ia mulai mengeluarkan kamera perekam dan merekam pemandangan menyakitkan itu.

Saburo, dengan sahabatnya sendiri, sedang berkencan di sebuah kafe di Yokohama.

Padahal sehari sebelumnya, ia sudah terlebih dahulu mengajak Saburo untuk pergi dengannya namun pria mungil itu menolak.

'Apa yang kurang dari Aku, Saburo?'batinnya teriris. Menguatkan hati, Riou terus merekam momen itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang sebenar-benarnya terjadi.

Malam pun tiba, sesuai dugaan Riou, Saburo diantarkan Samatoki hingga ke apartemen tempat tinggal mereka berdua. Dengan tenang, Riou tetap mengikuti keduanya, ia ingin memastikan sendiri selentingan yang belakangan ini sering ia dengar dari teman-temannya.

Dimana rumor itu berkata kalau Saburo memang bermain api dengan Samatoki dibelakangnya.

Menusuk dirinya dari belakang, dengan lembut menghancurkannya.

"Well...,"Riou berjalan masuk dengan sebuah earphone menyumpal telinganya, alunan lagu Photograph yang dinyanyikan Ed Sheeran seolah  menjadi pengiringnya.

"Tadaima,"
"Okaeri, Io-san."

Saburo menyahutinya dengan nada ceria, namun tidak dengan Riou. Pria itu berjalan masuk, tidak memeluk maupun mencium Saburo, dan hanya meletakkan sebuah kamera sebelum berlalu ke kamar.

Saburo mengerinyit bingung, tak biasanya Riou mengabaikannya seperti ini. Padahal Riou takkan pernah abai padanya sejelek apapun suasana hatinya.

"Io-san?"panggilan itu tidak dijawab Riou, pria itu berfokus mengganti pakaiannya di kamar sebelum akhirnya keluar dari kamar sembari tersenyum dingin pada Saburo.

"Ada apa, Io-san?"

Riou tidak menjawab, ia hanya duduk di sofa, kemudian meraih kameranya.

"Shounen, tolong tidak usah berlagak lagi."

Saburo semakin bingung, ia tahu Riou benar-benar marah padanya, namun ia tidak tahu apa penyebabnya.

Kamera di tangan Riou disambungkan ke sebuah laptop. Laptop itu dinyalakan dan video yang direkam Riou tadi siang diputar begitu saja.

"Samatoki-san!"
"Bocahku..., ada apa?"
"Daisuki desu!"
"Hahaha!! Memang seharusnya begitu!"

Suara dirinya dan Samatoki membuat Saburo terkejut setengah mati. Ia sangat tidak menyangka permainan yang ia mainkan selama ini justru akan menjebaknya sendiri.

Namun Samatoki sudah memperhitungkan segalanya, termasuk kemungkinan Riou mengetahui segalanya. Pria bersurai putih itu sengaja, walau entah apa maksud dibalik permainan itu.

"Apa yang kurang dariku, shounen?"tanya Riou perlahan, ia tersenyum lembut ketika menatap Saburo yang membeku dihadapannya.

"Apa aku kurang tampan, kurang hebat, dan kurang perhatian untukmu? Apa aku terlalu jahat untukmu?"secara perlahan dan dengan lembut, Riou meraih tubuh mungil Saburo yang masih membeku diam ditempatnya semula.

Senyum lembut itu justru semakin memperdalam rasa bersalah Saburo terhadap pasangannya, ia semakin tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya.

"Shounen...,"Riou mendudukkan Saburo diatas pangkuannya,"Aku sudah berusaha sangat keras untuk memenuhi segala ekspetasimu... tapi..,"

"Tapi aku sangat tidak menyangka kamu justru akan menusukku dari belakang seperti ini...,"Riou memeluk erat pinggang ramping sang bocah,"Aku... tidak menyangka sekali...,"

"Io-san...,"Saburo mulai bersuara, pelan sekali bahkan hanya terdengar sebagai bisikan lirih.

"Bukan kemauanku untuk bermain seperti ini...,"

"Lalu apa, shounen? Lalu apa?"

Nada bicara Riou yang tetap lembut dan tidak meninggi sama sekali seolah menambah rasa bersalah Saburo. Riou tetap menerimanya, ditengah sakit hati yang dirasakan pria itu.

"Io-san..., semua ini ada alasannya...,"

"Katakan saja, shounen,"pinta Riou terlampau lembut. Saburo menunduk, poninya yang memanjang seolah menutupi mata dwi warnanya,"Io-san... lupakah engkau? Apa yang terjadi sebenarnya setelah itu?"

"Shounen... apa maksudmu?"

"Io-san, lupakah kau kalau aku hanyalah imaji milikmu setelah semua itu terjadi?"

"Saburo... aku tidak mengerti...,"Riou berbisik perlahan, sembari menikmati aroma cokelat yang menguar dari seorang Saburo Yamada.

"Io-san... sadarlah... mereka semua menunggumu... Jyuto, Samatoki, kedua kakakku... semuanya menunggumu..."

"A-apa?!"

"Io-san, saat ini kau sedang terbaring koma di rumah sakit milik Jakurai. Sadarlah... semuanya menunggumu."

Riou menatap Saburo tanpa berkedip, ia kemudian melihat Saburo tersenyum tulus, sebuah senyuman paling langka dari seorang Saburo Yamada.

"Lalu kamu?"

Saburo mengangkat tangan mungilnya, kemudian menepuk lembut kepala Riou. Ia mengusap pipi pria itu dan mengecupnya perlahan,"Sayangnya aku gagal bertahan. Aku mati saat aku di perjalanan menuju rumah sakit... maaf, dan tolong kembalilah...,"

Riou menunduk, berusaha mengingat apa yang terjadi.

Saat ia mendongak, tubuh Saburo mulai menipis, memudar perlahan diikuti ruangan yang secara perlahan berubah menggelap, meninggalkan lorong panjang berwarna hitam pekat penih kegelapan sejati.

"Sayang sekali... waktuku habis. Selamat tinggal, terima kasih untuk segala-"sebelum Saburo dapat menyelesaikan kalimatnya, ia mengilang diantara kilauan cahaya, meninggalkan Riou seorang diri di ruangan super gelap.

--New Star vs What's My Name?--

Riou terbangun diranjang rumah sakit sesuai perkataan Saburo, ia menatap sekelilingnya dan mendapati kedua sahabatnya disisinya, juga kedua istri masing-masing sahabatnya.

"Mana Saburo?"

Seketika ruangan itu diam membisu, tak ada yang berani buka suara.

"Riou...,"Samatoki mengusap pelan sisa bekas luka bakar di wajahnya,"Kau lupa ya? Sesaat setelah kau memergoki aku dengan Saburo, terjadi sebuah ledakan besar. Aku dan Ichiro memang selamat karena Ichiro berada di toilet dan aku berada di bar. Namun tidak dengan Saburo...,"

Samatoki menjelaskan semua yang terjadi pada Riou, bahkan termasuk soal rumor perselingkuhan Saburo dengan dirinya yang tentunya tidak ada yang benar dari rumor itu.

Malam pun tiba, tak seorangpun disisi Riou saat ini.

Riou menatap sebuah pisau lipat yang entah mengapa ada diatas nakasnya. Rasa rindunya terhadap Saburo dengan cepat mengalahkan akal sehatnya. Ia benar-benar merindukan bocah mungil pewarna hidupnya, yang juga tewas karena dirinya tak mampu menjaga Saburo.

Goresan pertama ia goreskan sedalam mungkin tepat diatas urat nadinya, segera, goresan kedua dan yang berikutnya menyusul kemudian.

Hingga setelah sepuluh goresan dalam, Riou memutuskan untuk memejamkan matanya yang mengantuk berat sembari tersenyum seolah tidak memerdulikan sprei brangkarnya yang sudah berubah warna menjadi merah tua seperti darah pada umumnya.

"Oyasumi..."


"Tadaima, Saburo,"
"...okaeri... Io-san..."

Oneshoot Riou x SaburoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang