Dengan tergesa, Saburo menghampiri Riou yang duduk dibawa pohon diatas bukit itu, ia kemudian duduk di sebelah pria tinggi itu lalu menatap Riou,"Riou-san... hah... hah... maaf aku terlambat. Ada kecelakaan di jalan tadi."
Riou bergeming, tidak menjawab.
Saburo ikut menatap arah tatapan Riou, sesaat kemudian ia tersenyum,"Riou-san! Tahu engga? Hari ini aku menang olimpiade! Juga aku dapat beasiswa ke Jerman."
Riou tetap bergeming, tidak menjawab.
Saburo menghela napasnya perlahan, ia menatap kaki Riou,"Riou-san, ingatkah kamu dulu? Kita berjanji kalau kita akan bersahabat selamanya, apapun yang terjadi."
"Pada akhirnya kita malah menjalin cinta, ha-ha-ha,"sambung Saburo, terlihat matanya mulai berkaca-kaca, ia segera mengucek matanya sebelum air matanya jatuh membasahi pakaian atau tanahnya.
"Jangan abaikan aku!"pinta Saburo sembari menggoncangkan lengan Riou, namun Riou tetap bergeming.
Mengabaikannya.
"Ne, dulu kita berjanji untuk saling membantu satu sama lain, namun sekarang... sepertinya aku yang terlalu sering merepotkanmu."
"Ne, ingatkah kamu? Dulu kita selalu main PS bersama. Aku bahkan masih ingat warna stik yang selalu kamu gunakan."
"Ne, ingatkah kamu? Saat kita memanjat pohon dan aku tidak bisa turun, kamu memintaku meloncat saja, sementara kamu akan menangkapku. Ketika aku meloncat, aku hanya memejamkan mataku, menunggu rasa sakit yang ada jika kamu tidak menangkapku. Namun... kamu memangkapku, membiarkan aku menimpa tubuhmu hingga akhirnya aku ketahui kalau sikumu menjadi lecet parah karenaku."
"Bahkan hingga meninggalkan bekas."
"Ne, ingatkah kamu dulu? Saat aku lupa membawa buku tugasku dan aku akan dihukum, kamu segera meletakkan bukumu diatas mejaku agar hukumanku beralih kepadamu?"
"Ne... ingat ga, saat kelulusan, kamu mengajakku ke sini dan melamarku, tanpa seorangpun melihatnya."
"Ne, ingatkah kamu? Saat aku kelelahan akibat lembur, kamu justru mengomeliku dengan sangat khawatir? Lalu memaksaku tidur dan menggantikan semua tugasku?"
"Ne, Riou-san, aku bersyukur dengan kau yang selalu berada disisiku."
Riou tetap bergeming, tidak menoleh, hanya diam layaknya patung.
"Ne... apa aku hanya menyusahkanmu?"
"Apa aku hanya membebanimu?"
"Jangan abaikan aku..., aku mohon."
"Ne... kamu masih marah ya? Maaf, saat itu aku sibuk hingga aku lupa mengucapkan hari ulang tahunmu."
Saburo mendongak, menatap Riou dengan mata berkaca, hingga setetes air mata jatuh, mengaliri pipinya hingga membasahi sebuah batu disana,"Maafkan aku...,"bisik Saburo lirih.
"Maaf dulu aku sering membuatmu dimarahi orang tua kita."
"Maaf aku dulu suka iseng memasukkan banyak bubuk cabai ke makananmu."
"Maaf aku dulu hobi menukar buku catatanmu dengan milikku, dan akhirnya membuatmu dihukum guru."
"Maaf aku dulu sering mengalahkanmu didalam permainan di PS."
"Maaf karena membuatmu terluka karena menangkapku dari bawah pohon."
"Maaf karena membuatmu dihukum padahal itu adalah kesalahanku yang lupa membawa buku."
"Maaf karena sering membuatmu tidak tidur hanya demi membantuku menyelesaikan tugas."
"Maaf... karena aku lupa mengucapkan ulang tahunmu."
"Maaf karena aku membuatmu menunggu terlalu lama...,"
"Maaf atas segalanya, Riou-san."
Secara perlahan, delusi Saburo akan Riou menghilang, sebuah nisan yang dipeluk Saburo membuktikan segalanya.
Riou telah mati.
Saburo menumpahkan tangisannya, ia tidak sanggup menahan semuanya. Saat ini ia bertahan hanya untuk dua orang, putra dan putri mereka.
Ryoichi Busujima dan Haruki Busujima.
"Riou-san...,"isakan menyakitkan keluar dari bilah bibir Saburo, ia menangis tersedu, membiarkan nisan Riou basah akan air matanya. Ia menyesali banyak hal, betapa ia terlalu sibuk hingga terkadang mengabaikan Riou, betapa seharusnya ia lebih sering bermanja dan memeluk Riou.
Semuanya kini tinggal angan, Riou telah mati, karena pria itu terkena ledakan tabung gas.
"Seharusnya saat itu aku datang lebih cepat, jadi... setidaknya kau bisa selamat."
"Aku..., membunuhmu."
'Sst...,'
Saburo mendongak, ia melihat bayangan tipis transparan, berdiri dihadapannya. Ia tahu itu adalah Riou, sang suami, sang sahabat, teman, penjaga, segalanya.
'Jangan salahkan dirimu.'Riou berlutut dihadapan Saburo, tangan transparannya ia pakai untuk mengelus lembut surai jelaga Saburo, membuat isakan Saburo tertahan,'Aku memang sudah waktunya mati. Bahkan kalaupun aku akhirnya selamat, suatu hari kemudian aku akan mati. Dan hari itu adalah setahun lalu.'
'Kau... tidak bisa melupakanku ya?'
Saburo menggeleng lemah, Riou terlalu hebat untuk bisa ia lupakan. Pria yang selalu berhasil membuat pipinya memerah, pria yang selalu berhasil membuatkan kenangan manis dengannya.
Pria yang mampu membolak-balikkan perasaan Saburo.
'Setidaknya kau sudah bertahan demi aku dan anak-anak kita, terima kasih banyak.'
'Saburo, waktuku habis. Aku juga sudah tenang melihatmu menjalani hidup dengan baik. Selamat tinggal.'
"Tidak... Riou-san!! Jangan pergi!!"
"Tidak...,"
"Ti...,"
Saburo menangis tersedu, sembari memanggil nama Riou hingga ia rasakan dua tangan mungil memeluknya dan kepala kecil memberatkan punggungnya.
"Mama... papa sudah tenang disana, ayo kita pulang,"ajak Ryoichi yang berumur tujuh tahun,"Haruki kangen mamanya."
Saburo menyeka air matanya, kemudian memeluk Ryoichi yang terlihat sangat mirip dengan Riou, selain mata dwi warnanya.
"Iya Ryo, ayo kita pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot Riou x Saburo
FanfictionHanya pelarian jika Ikiteiru mengalami writer block:'v