Saburo menatap datar kepada kue ulang tahun dihadapannya. Suara kedua orang tuanya yang sedang menyanyikan lagu ulang tahun kepada kakaknya sepenuhnya ia abaikan.
"Happy birthday Ichi, happy birthday Ichi!!"
"Tiup lilinnya, Ichi." Riou berkata dengan lembut kepada kakaknya. Berbanding terbalik ketika pria yang berstatus sebagai ayahnya itu berbicara padanya. Ichiro meniup lilinnya, namun ketika Jiro akan memotong kue, Riou menahannya. "Tunggu dulu, ayo cabut tiga lilin ini dan..."
Kedua orang tuanya mencabut tiga lilin, kemudian menyalakannya ulang. "Happy birthday, Sabu, happy birthday Sabu!"
Saburo menunduk, sedikitpun ia tidak senang ketika orang tuanya menyanyikan lagu itu. Emosinya membuncah, anak itu tak bisa menahannya lagi. "SIALAN!!!" bentaknya, sukses membuat kedua orang tuanya terkesiap.
"Ada apa Sa-"
Jiro memutar bola matanya. Ia tampaknya tahu bagaimana ini akan berjalan. Begitu pula Ichiro, pria itu menatap datar pada adik terkecilnya.
"Aku sudah bilang aku ingin merayakannya terpisah! Tidakkah aku pernah bilang?!" tanya Saburo dengan suara meninggi. Jyuto melepas kacamatanya, memijat pangkal hidungnya. "Sudahlah Saburo, tahun depan akan mama rayakan terpisah. Lagipula ulang tahunmu kan tidak terlalu jauh dari ulang tahun Ichiro, hanya berjara-"
"TAHUN DEPAN, TAHUN DEPAN, DARI TAHUN LALU JUGA BEGITU, DUA TAHUN LALU JUGA." anak itu menghela napas. "Apa sebenarnya aku hanya anak yang tak diharapkan? Yang bisa diperlakukan dengan seenaknya?" Riou menatap putra bungsunya. "Papa janji, janji tentara sama dengan harga mat-"
"MATI SAJA SANA!!" bentak Saburo debgan suara yang bergetar. "TAHUN LALU JUGA PAPA BILANG BEGITU!!"
Riou menghela napas, tidak tahu lagi bagaimana caranya menenangkan putra bungsunya yang marah. Jyuto kemudian menatap datar Saburo, sang ibu hanya diam, menatap anaknya.
"Aku juga suka telur goreng! Tapi mengapa hanya Ichiro dan Jiro yang mendapatkannya sementara aku hanya mendapat kacang?" setetes air mata mengalir di pipi Saburo. Anak itu sangat kecewa. "Aku juga suka yoghurt, tapi kenapa cuma mereka yang dapat?!" Saburo menatap kecewa pada keluarga kecilnya. "Ketika kalian membeli ayam, kenapa hanya aku yang dapat sayap? Aku juga ingin merasakan rasa paha!!"
Tetesan air mata itu semakin deras.
"Ketika aku bilang aku butuh ponsel baru, KENAPA HANYA ICHIRO YANG DIBELIKAN?! KENAPA AKU MEMAKAI BEKAS ICHIRO SEMENTARA YANG LAIN DAPAT YANG BARU?!"
"Kenapa hanya aku yang dipanggil Sabu? KENAPA JIRO DIPANGGIL JIRO DAN ICHIRO DIPANGGIL ICHI?! GAK SEKALIAN PANGGIL AKU SAN?!"
"San-san~ BEGITU?!" tanya Saburo sembari menggebrak mejanya. Jyuto langsung menampar keras pipi putra bungsunya. "Diam!" perintah wanita itu. Riou dan kedua anaknya terdiam, Jyuto marah.
"BAHKAN MOM SELALU MELAMPIASKAN EMOSI KEPADAKU!! AKU BENCI KALIAN SEMUA!!" tangisan Saburo semakin deras. "Tidak bisa kah aku meminta ulang tahunku yang ke delapan belas, SAAT INI, DIPISAHKAN DENGAN ULANG TAHUN ICHIRO?!"
"Oh.., tentu saja tidak. Tahun depan." Saburo menjawab pertanyaannya sendiri dengan nada mencela. Ia mengusap pipinya yang terasa perih akibat tamparan Jyuto.
Dengan kasar, anak itu mengusap pipinya yang memerah perih.
"Aku benci kalian semua..."
Saburo mundur sejenak, kemudian membuka pintu dan berlari keluar dengan mata yang tertutup air mata.
Segera, Riou bangkit dan mengejar putranya, membujuk anaknya yang satu itu agar segera pulang.
Saburo berlari dengan mata yang buram. Bukan ide bagus untuk melakukannya, apalagi ketika ia tinggal di tengah kota.
Suara klakson yang menggaung sukses mengalihkan atensi Saburo. Anak itu menoleh, namun terlambat.
BRAKKKK!!!!!
Riou menatap putra bungsunya yang sudah hancur karena digilas mobil. Tatapannya berubah menjadi pias.
Janjinya dibayar dengan nyawa anaknya.
"Saburo..." baru sekali inilah Riou memanggil anaknya dengan panggilan Saburo. Selama ini, ia hanya memanggil anaknya dengan panggilan Sabu.
Perlahan, langkah kakinya berjalan mengarah ke tubuh Saburo yang sudah tergeletak tak berdaya. Pria itu berlutut dan mengelus kepala anaknya yang berada diatas pahanya. Tubuh Saburo sudah hancur.
"Saburo..." tatapan Riou membuat Saburo tersenyum lemah. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya terasa lemah. "Akhirnya..., aku dipanggil Sabu-" senyumnya meluruh, napasnya secara perlahan menghilang diselingi isakan lirih dari sang ayah.
-000-
"...happy birthday Saburo..., happy birthday Saburo..." suasana rumah terkesan sangat suram setelah kepergian Saburo. Riou menatap bangku yang kosong, bangku yang berada disebelah Jiro, kini kosong.
Kue ulang tahun terbaik diletakkan didepan kursi dimana seharusnya Saburo duduk disana. Riou menatap kosong kursi itu, tidak, tepatnya pria itu menatap kosong pada vas berisi abu yang ada diatas kursi itu. "Tiup lilinnya..., tiup lilinnya.." gumam Jyuto, jelas sekali berusaha menahan air mata yang tampaknya akan keluar.
"Panjang umurnya..., panjang umurnya.." gumam Ichiro dan Jiro, menatap vas yang berisi abu adiknya dengan air mata yang menetes. "Panjang umurnya serta mulia.."
Helaan napas keluarkan Riou, pria itu langsung bangkit, meninggalkan meja makan yang dipenuhi makanan kesukaan Saburo yang semasa hidupnya tak pernah ia cicipi. Ayahnya pergi menjauh, menatap foto keluarganya. "Kalau aja Saburo masih hidup ya.."
"Sigh..," Jyuto mengusap pipinya, menghilangkan jejak air mata yang sempat mengalir. Ia menatap foto putranya. "Maaf..."
Tiba-tiba, sebuah angin kecil meniup lilin itu. Seolah-olah Saburo hadir disana untuk merayakan ulang tahunnya. Tak ada yang tersenyum, semuanya suram.
"Maaf...," gumam Riou lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshoot Riou x Saburo
FanfictionHanya pelarian jika Ikiteiru mengalami writer block:'v