*Happy Reading*
***
**
*Minho maupun Felix hanya bisa terdiam sejak satu jam yang lalu. Mereka sibuk atau lebih tepatnya mencoba menyibukkan pikiran mereka masing-masing. Bahkan mereka duduk saling berjauhan. Terlalu sulit untuk mereka duduk berdekatan satu sama lain. Mereka takut hati mereka tak akan sanggup.
Hanya denting jam dan suara televisi yang mengisi kebisuan mereka. Lidah mereka kelu. Tak ada yang berani membuka pembicaraan. Mereka sama-sama takut, ucapan yang keluar dari bibir mereka adalah hal yang akan mereka sesali nantinya.
"Jadi seperti ini?" Ucap lirih Felix.
Dada Felix berdenyut nyeri. Tapi ia menolak saat matanya mulai memanas, akan mengeluarkan lahar bening dari sudut matanya. Belum saatnya!
"Ya. Seperti ini" Minho mengiyakan. Ia tak tahu lagi harus membalas apa. Otaknya terasa membeku.
"Setelah empat tahun?" Felix mengatupkan bibirnya saat suaranya mulai bergetar. Lidahnya terasa pahit.
"Kita sama-sama sudah sepakat!" Balas Minho.
Minho memalingkan wajahnya ke kanan saat air mata mulai mendesak ingin keluar. Ia tak mau air mata mengahalangi pandangannya dari wajah manis Felix yang nantinya entah akan dirindukannya atau tidak.
Hati mereka berdenyut nyeri. Mereka mengawali hubungan indah mereka sejak Felix menjadi siswa baru di sekolah Minho. Saat itu, wajah cantik Felix begitu menarik seluruh pusat gravitasi Minho. Setelah berkencan, hubungam mereka sangat manis dan selalu membuat orang lain iri. Dimana ada Felix maka selalu ada Minho. Begitu sebaliknya.
Hingga memasuki tahun ke tiga, saat Minho mulai sibuk dengan dunia kuliahnya dan Felix sibuk mengejar beasiswa ke Oxford, mereka menjauh secara alami. Tak pernah sekalipun bertukar kabar seperti yang dulu selalu mereka lakukkan setiap saat. Tak ada yang saling mencari atau menanyakan. Hubungan manis mereka yang selalu membuat iri siapa saja kini menghilang. Tak ada bekas sedikitpun.
Hingga tepat kemarin, Felix meminta Minho datang ke apartemennya. Felix baru sadar, jika hubungan mereka tak lagi indah seperti dua tahun awal mereka. Setidaknya, mereka harus mengucapkan salam perpisahan yang layak sebelum mereka benar-benar pergi dari satu sama lain. Itu yang terbaik. Setidaknya itu yang sama-sama mereka pikirkan.
Tapi kini saat duduk bersebelahan seperti ini, entah mengapa hati mereka meronta. Apa lagi saat kenangan manis mereka terus berputar di kepala mereka masing-masing.
"Menginaplah disini semalam ini saja! Setidaknya kita harus membuat perpisahan kita lebih layak" ucap Felix dengan nekat. Saat berpacaran, tak sekalipun ia berani mengajak kekasihnya menginap di rumahnya.
"Ya. Baiklah" balas Minho tak kalah cepat. Benar apa yang Felix katakan.
Setidaknya satu malam ini, mereka harus membuat salam perpisahan yang layak untuk dikenang dikemudian hari.
Setidaknya ia tak akan menyesali perpisahan mereka nantinya.
***
**
*Felix tau, Minho masih belum terlelap seperto dirinya. Beberapa kali Felix merasa kasur sebelahnya bergerak. Pasti hati Minho tak jauh berbeda dengan suasana hatinya yang jauh dari kata baik-baik saja.
"Bisa kau peluk aku?" Ucap Felix yang berbaring membelakangi Minho yang juga tidur membelakanginya.
Minho tak menjawab, tapi Felix bisa merasakan kasurnya bergerak sebelum sebuah tangan hangat mengalung di pinggangnya. Ia memejamkan matanya erat. Ia tak mau menangis. Setidaknya sampai malam ini berlalu.
"Apa kita harus benar-benar berakhir?" Ucap Felix. Ia merasa bodoh sendiri setelah mengucapkannya. Kali ini Felix mengakui jika ia benar-benar frustasi.
Minho semakin mengeratkan pelukannya pada perut rata Felix. Ia juga berfikir seperti itu. Tapi jiwa pengecutnya lebih mendominasi. Ia takut jika mengucapkannya juga, ia tak akan sanggup meninggalkan Felix yang masih berstatus sebagai kekasihnya ini.
Felix merasakkan pundaknya di tarik ke belakang. Setelahnya, ia bisa melihat manik hitam Minho yang berkilat sendu seperti miliknya.
Cup.
Minho menempelkan bibirnya pada bibir cery Felix. Dulu ia tak pernah berani mencium Felix. Jadi, ini adalah ciuman pertama mereka sebagi pasangan kekasih. Menyedihkan.
Minho menggerakkan bibirnya menyesap bibir manis Felix. Felix juga tak mau hanya diam. Ia membalas setiap pagutan Minho di bibir atas dan bawahnya. Mata mereka berdua terpejam, menikmati sentuhan lembut di bibir mereka masing-masing. Minho berhenti saat mengecap asin darah di bibir Felix yang ia gigit tadi.
Mereka saling menatap setelah ciuman panjang mereka berakhir. Saling tersenyum satu sama lain setelahnya meski dada mereka masih terus berdebyut nyeri.
Cup.
Minho menghadiahi kecupan di kening Felix. Seperti yang dulu selalu ia berikan setiap hari saat mengantar koala itu pulang ke apartemennya.
***
**
*Felix terbangun saat tak menemukan Minho yang harusnya tidur di sampingnya. Kasur sebelahnya sudah kosong. Meninggalkan jejak tidur Minho saja di sebelahnya.
Felix menajamkan telinganya. Siapa tahu Minho masih ada di apartemennya. Tapi tidak. Yang ia dengar hanya keheningan.
Air mata berhasil menetes dari sudut mata Felix. Ia tak lagi mau menahan air matanya sendiri. Sudah waktunya ia menangis. Apa lagi Minho sudah pergi. Tak ada alasan lagi untuk Felix menahan air matanya.
Felix meraung dalam tangisnya. Ia tak rela. Ia tak mau. Tapi ia tak sanggup meminta Minho untuk terus bersamanya. Mereka tak lagi memperlakukan satu sama lain selayaknya sepasang kekasih pada umumnya. Setidaknya perpisahan adalah jalan paling tepat bagi mereka.
"Minho.. hiks.. jangan pergi! Bisakah kita tidak berpisah? Hiks.." isak Felix.
Tangannya memukul-mukul dadanya sendiri yang terus berdenyut semakin nyeri. Ia tak pernah terfikir berpisah dari Minho akan semenyakitkan ini. Tak pernah sekalipun. Bahkan saat mereka tak saling mengabari satu sama lain.
Ternyata sesakit ini rasanya.
***
**
*
*END*Ehehe.. kemarin kan ada yang req angst, udah cukup belum sih ini angst nya? 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
BUCINERS
FanfictionFelix's...slave . . . . . . Warn! Fujo area! BXB! Some mature content!