ENDING SCEENE

3.6K 406 31
                                    


*Happy Reading*

***

**

*

Felix tak dapat sedikitpun mengalihkan tatapan mata layunya dari sosok tampan bercoat karamel yang berdiri beberapa langkah dari mejanya. Sosok yang melarikan matanya pada tiga hal. Pada Felix, pada gelas lemon squash diseberang jus strawbery kesuakaan Felix, juga pada benda berkilau yang tergeletak disamping gelas lemon squash. Hela nafas halus menguar dari bibir lelaki itu.

"Aku sudah tau kau akan ada disini" ucap lelaki yang kini duduk di bangku seberang Felix.

Felix tetap tak mau sedikitpun mengalihkan tatapan matanya dari lelaki didepannya. Lelaki yang seharusnya memakai cincin yang ia letakkan dimeja. Lelaki yang sama, yang membuatnya seperti mayat hidup.

"Apa kabar?" Ucap lelaki itu. Ringan. Seperti tak memiliki beban seperti yang Felix rasakan.

Beban yang membuat Felix menghakimi dirinya sendiri karena membuat lelaki itu melepaskan cincin kembar mereka begitu saja. Lelaki yang mati-matian Felix tangisi siang dan malam hampir setahun ini. Lelaki yang baru sekali ini hadir setelah Felix cari kemanapun Felix bisa.

"Sudah sangat lama tak bertemu. Aku berharap selama ini hidup mu baik-baik saja" lelaki itu mengatupkan bibirnya begitu matanya menangkap tetesan bening yang melompat begitu saja dari sudut mata Felix.

Felix menggigit bibir dalamnya sekuat yang ia bisa. Ia tak mau suaranya keluar saat telinganya hanya ingin mendengar suara yang sangat Felix rindukan ini. Suara yang membuat dada Felix hangat dan perih secara bersamaan.

"Ada yang tak berhenti menelfon ku sejak pagi" jeda lelaki itu. Matanya tak lagi mampu menatap wajah Felix yang telah basah oleh air mata.

"Karena terlalu mengganggu, akhirnya aku mengangkat telfon dari nomor tak ku kenal itu ditengah rapat pentingku dengan dewan perusahaan pusat" lelaki itu menyudahi lagi ucapannya diikuti senyuman kecutnya yang ia sembunyikan lewat tundukan kepalanya.

Ia ingat, ia harus mendapat tatapan kesal dari para dewan dan juga atasannya karena sikap tak profesionalnya tadi. Tapi, dengan membiarkan handphoenya terus berdering membuat kepalanya tak bisa berkonsentrasi dengan jalannya rapat. Pilihan yang sulit memang.

"Dia... pasti sangat mengkhawatirkan mu hingga sampai menghubungi ku" lelaki itu mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Felix.

Tapi, kali ini giliran Felix yang menundukan kepalanya. Air matanya tak dapat ia bendung lagi setelah mendengar ucapan lelaki didepannya. Dadanya begitu terasa ngilu luar biasa.

Lelaki itu menelan ludahnya susah payah. Matanya memerah menahan luapan emosi yang ia tahan sejak mendengar nama Felix dari sambungan telefon dengan sosok tak ia kenal tadi siang. Terlebih, saat akhirnya netranya akhirnya bertemu dengan sosok bertubuh kurus yang hampir setahun ini tak ia temui.

Ia masih ingat, bagaimana cantiknya sosok Felix dulu. Felix yang tak pernah bisa berhenti tersenyum, Felix yang tak pernah terlihat sedih, Felix yang terlihat kuat dengan senyum cerahnya. Bukan seperti sekarang. Felix yang terlihat rapuh dengan tubuh kurus dan wajah pucatnya.

"Jangan seperti ini lagi, Felix. Jangan hidup menderita karena ku lagi. Hiduplah dengan baik. Makanlah dengan teratur, tidurlah dengan nyenyak, pergilah ke tempat-tempat yang bagus. Kamu berhak lebih bahagia, Felix" ucap tulus lelaki itu. Ucapan yang ia sendiri pernah ucapkan pada Felix dulu sebelum ia melangkah pergi dari hidup lelaki cantik itu.

"Jangan! Ucapkan kata-kata itu lagi!" cicit Felix namun masih sangat jelas didengar lelaki itu.

"Kamu tahu? Kata-kata itu lebih menyakitkan dari pada ucapan selamat tinggal mu" ucap Felix yang tak bisa membendung perasaannya lagi.

BUCINERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang