Part 28

98 8 0
                                    

Noe meringis perih tatkala membersihkan sisa-sisa darah pada luka sayatan di lengannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Noe meringis perih tatkala membersihkan sisa-sisa darah pada luka sayatan di lengannya. Dia masih tidak habis pikir dengan kelicikan Allura di balik menawarkan tubuh yang bertujuan untuk menikamnya. "Benar-benar perempuan medusa."

Usai membersihkan darah, Noe meraih kasa steril untuk menutup lukanya yang cukup dalam itu. "Jangan harap kamu bisa melancarkan rencana licik kamu lagi, Allura. Karena aku nggak akan terkecoh lagi. Kamu nggak akan bisa keluar dari penthouse ini."

Noe kemudian meraih perban dan menggunakan mulut dan satu tangannya untuk melilitkan perban tersebut pada luka yang tertutup kasa. Setelahnya mengikatnya penuh perjuangan.

Berhasil membalut luka, Noe akhirnya bisa bernapas lega. Beruntung hanya luka kecil yang dia terima. Dia tidak bisa membayangkan, jika Allura benar-benar menghabisinya di ranjang usai pergulatan panas yang sudah melumpuhkan akal dan hatinya.

Ya, hati. Diam-diam Noe menyelipkan perasaan saat menyentuh tubuh indah Allura. Dia berpikir, jika Allura menawarkan diri kepadanya atas dasar rasa suka. Reaksi tubuh Allura saat menerima sentuhan dan cumbuannya begitu syarat akan kerelaan. Namun, siapa yang mengira, jika hal tersebut hanyalah sebuah umpan.

"Kenapa aku bisa sebodoh itu terpancing perasaan sama Allura?" Noe menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dengan isi kepala berkelana membayangkan adegan demi adegan beradrenalin yang terjadi beberapa saat lalu bersama Allura. "Ini pasti karena aku sudah lama nggak berhubungan sama perempuan. Mana mungkin aku menaruh perasaan bodoh sama perempuan yang aku sandera?" lirihnya berkali-kali mengembuskan napas.

Deringan ponsel di atas meja membuat Noe beranjak. Tampak capo organisasinya tengah menghubunginya. Membuatnya segera menerima panggilan itu. "Iya, Pak?"

"Noe, ada hal yang ingin saya tanyakan tentang Rayi," ucap suara di balik ponsel.

Noe mengernyit terkejut. "Rayi?"

"Saya tahu kamu cukup dekat dengan Rayi dulu. Mungkin kamu mengetahui beberapa hal yang mungkin bisa membantu saya sekarang."

"Apa yang ingin Pak Benji ketahui?"

"Apa ... Rayi pernah memberi tahu kamu tentang latar belakang keluarganya?"

Noe mengernyit. "Kenapa Pak Benji tiba-tiba menanyakan ini? Bukankah Rayi memang sengaja merahasiakan latar belakang keluarganya dari organisasi kita? Kenapa Pak Benji ingin tahu latar belakangnya sekarang? Rayi kan sudah meninggal."

"Saya tahu, Noe. Tapi ada sebuah kebetulan yang sangat mengejutkan, jika salah satu data pribadinya adalah asli. Baru-baru ini saya menemukan data pribadi Rayi yang berbeda. Salah satunya ada di universitas swasta dan perusahaan pemograman. Saya hanya ingin memastikan salah satunya adalah data pribadi aslinya."

Noe beranjak menegakkan punggung. "Kebetulan yang sangat mengejutkan seperti apa, Pak?"

"Saya juga sedang mencoba menyelidikinya sekarang. Maka dari itu saya butuh jawaban dari kamu, jika memang kamu mengetahui."

Noe mengembuskan napas berat. "Rayi pernah mengatakan jika mempunyai seorang ibu dan adik."

"Adiknya Rayi laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan," jawab Noe.

"Apa kamu tahu siapa namanya?"

"Saya nggak tahu sedetail itu, Pak."

Benji mengembuskan napas berat di balik ponsel. "Baik. Saya akan hubungi kamu lagi setelah berhasil memastikannya."

Usai panggilan berakhir, Noe termenung memikirkan latar belakang teman karibnya yang tiba-tiba dipertanyaan capo organisasinya. Entah apa yang sedang diselidiki oleh Benji Danso tentang mendiang teman karibnya itu.

"Aaa!!!"

Sebuah jeritan frustrasi terdengar dari dalam kamar Allura. Noe hanya terpejam dan mengembuskan napas dengan keadaan Allura yang bisa dipastikan tengah dipenuhi kekesalan saat ini. Terlebih telah gagal menggunakan pisau untuk menikamnya yang kedua kali.

"Aku yakin kamu sekarang penuh dengan penyesalan setelah melakukan hal bodoh itu, Allura," lirih Noe geleng-geleng.

*****

Allura meringkuk di bawah air shower seraya meremas rambutnya penuh frustrasi. "Noe berengsek!" jeritnya.

Berkali-kali Allura membasuh tubuh polosnya dengan air mengalir, mengingat reaksi tubuhnya yang di luar kendali saat dikuasi Noe. Dia merasa sangat benci dengan dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh terbuai oleh sentuhan-sentuhan itu.

"Dasar bodoh! Bodoh! Bodoh!" Berkali-kali Allura memukul-mukul kepalanya penuh kesal.

Ya, tidak pernah terbayangkan oleh Allura, jika rencana licik yang sudah dirancang begitu sempurna itu justru kembali gagal. Pisau dapur itu seharusnya bisa berakhir sempurna menikam Noe, jika tubuhnya bisa dia kendalikan. Naasnya, dia justru terjerambap oleh umpan yang dia buat sendiri.

Allura berkali-kali menggeleng membayangkan tubuh kekar yang begitu liat itu melumpuhkan tubuhnya. Bahkan setiap sentuhan dan cumbuan itu meruntuhkan akal sehatnya. Entah ada apa dengan dirinya. Benarkah ada sebuah perasaan yang tiba-tiba tertarik ke permukaan?

"Nggak ... aku nggak sebodoh itu. Aku nggak sebodoh itu melakukan itu dengan perasaan." Allura berusaha menyadarkan dirinya sendiri. "Dia hanya mafia berengsek yang sudah menghancurkan hidupku. Aku nggak mungkin sampai sebodoh itu," lirihnya.

Namun, tetap saja Allura tidak bisa memungkiri pesona dalam diri Noe yang kerap membuatnya terpenjara. Mulai tatapan menawan dan perlakuan yang kerap membuatnya bertanya-tanya.

Ya, sampai hari ini Allura bahkan tidak menerima perlakuan buruk dari Noe selayaknya seorang sandera. Laki-laki yang tampak dingin dari luar itu nyatanya tak sekejam penjahat-penjahat yang dia tahu pada umumnya. Justru Noe menolongnya ketika dia sudah begitu bodoh menenggelamkan diri ke dalam bak mandi karena sakit hati kepada Aaron.

"Nggak. Aku nggak boleh terkecoh. Noe tetaplah seorang penjahat. Dia menyanderaku karena menginginkan sesuatu dariku. Jika sesuatu itu sudah dia dapatkan, dia pasti akan membunuhku." Allura menggeleng-geleng berusaha menepis isi kepalanya yang mulai terkecoh. "Di dunia ini nggak ada penjahat yang memakai hati nurani. Apalagi Noe adalah seorang mafia," sambungnya.

Ya, bukan tidak mungkin jika Allura akan dibunuh usai mengungkapkan yang dia ketahui tentang mutan itu kepada Noe. Karena dia saat ini adalah saksi sekaligus sebuah jejak. Jadi, satu-satunya hal yang bisa menolongnya saat ini adalah tetap tutup mulut agar tetap dibiarkan hidup sampai berhasil menemukan cara untuk keluar dari penthouse.

Allura mengangguk-angguk. "Benar. Dengan aku terus tutup mulut, maka Noe nggak akan berani menyentuhku. Karena aku adalah satu-satunya yang memegang kunci rahasia Aaron tentang mutan itu."

Usai menguras isi kepala, Allura pada akhirnya menyakini, jika vitamin yang pernah dia lihat di dalam dasbor Aaron adalah sebuah mutan. Hanya saja saat itu dia begitu bodoh memercayai ucapan Aaron. Bodohnya lagi dia baru menyadari hal itu saat Aaron mencampakkannya begitu saja di hadapan media. Bahkan Joice, yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama ikut menikamnya.

"Perselingkuhan kalian sangat masuk akal sebagai penyebab kalian menikamku," lirih Allura dengan wajah bengis mengingat sakit hatinya. "Aaron, Joice ... kalian telah membuat kesalahan. Kalian tunggu pembalasanku setelah aku berhasil keluar dari penthouse ini," desisnya tajam.

Ya, bukan Allura Milena jika diam saja jika sudah dilukai. Perempuan seperti mata pisau itu tidak segan-segan menggunakan segala cara untuk mengalahkan seorang musuh.
*
*
*
*
*
Bersambung.......

Pengantin SanderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang