Part 101

41 1 0
                                    

"Allura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Allura ... aku akan membayar semuanya. Terlebih membayar nyawa kakak kamu 4 tahun lalu. Aku harap ini sudah setimpal seperti yang kamu harapkan."

Allura terpejam penuh sesal di hadapan cermin mengingat ucapan terakhir Aaron. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepalanya dan membuatnya merinding. Terlebih bayangan mengerikan Aaron yang menembakkan diri dan terjun dari atas gedung yang sudah pasti tidak akan bisa dia lupakan. Belum lagi sebuah memory card yang Aaron berikan padanya untuk memberikannya petunjuk atas semua kekacauan yang terjadi. "Aaron," lirihnya pilu.

Allura perlahan-lahan membuka mata menatap sosoknya di hadapan cermin. Tampak wajahnya dipenuhi beberapa luka. Terlebih pada bibir. Ujung bibirnya tampak robek akibat tamparan Joice. Kemudian pinggiran bibirnya mengingatkannya pada kebrutalan Aaron saat mencumbunya.

"Dan aku bersumpah ... jika benihku ini akan membuat kamu menjadi milikku, Allura."

"Ah," pekik Allura memegangi kepalanya mengingat ucapan Aaron saat menyentuh tubuhnya. Berkali-kali dia menggeleng, berharap benih itu tidak akan tumbuh di dalam tubuhnya. Dia tidak bisa membayangkan jika sampai mengandung anak dari seorang pembunuh kakaknya. "Jangan ... aku mohon jangan," lirihnya menangis.

Allura kemudian memutar keran air dan membasuh wajahnya. Terlebih pada bibir dan lehernya yang masih menyisakan bekas-bekas merah yang diberikan Aaron. Membuat isi kepalanya tidak berhenti memutar pergulatan panas yang begitu menyiksa tubuhnya beberapa waktu lalu.

"Allura ... you remember this well. That you are mine forever. I love you, Honey ... I love you."

"Aaron, stop!" jerit Allura memukul-mukul kepalanya yang kembali mengingat kata-kata terakhir itu. Rasanya begitu teramat menyiksanya saat ini, mulai dari perasaannya dan isi kepalanya.

"Aku akan menghapus semua bekas-bekas memuakkan yang kamu berikan ini. Dan benih kamu nggak akan pernah tumbuh dalam diriku. Jadi jangan pernah bemimpi untuk bisa memiliku." Allura terus menggosok-gosok lehernya dengan air penuh kekesalan.

Allura kemudian tampak kesulitan melepaskan kaus hitamnya akibat satu tangannya yang sulit untuk digerakkan. Sebab masih banyak bercak-bercak merah yang masih membekas pada sekujur tubuhnya. "Ah," pekiknya menangis kesakitan merasakan sakit pada lengannya yang terluka.

Sebuah tangan kemudian terlihat membantu Allura melepaskan kausnya. Membuat Allura terkejut bukan main melihat sosok Noe Erlangga yang berdiri di belakang tubuhnya.

"Apa yang kamu lakukan, Noe?" tanya Allura yang berhasil menanggalkan kausnya dan menyisakan bra hitam.

"Membantu kamu melepaskan pakaian. Aku yakin kamu akan kesulitan melepaskan pakaian saat tangan kamu lagi terluka," jelas Noe menatap Allura pada cermin.

"Apa kamu pikir aku nggak bisa melakukannya sendiri?" tanya Allura sinis.

"Memang nggak bisa. Buktinya kamu kesakitan tadi saat melakukannya sendiri," jelas Noe.

Pengantin SanderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang