Part 31

97 11 0
                                    

Allura mendongak memberikan dengan sukarela leher jenjangnya dalam cumbuan Noe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Allura mendongak memberikan dengan sukarela leher jenjangnya dalam cumbuan Noe. Hingga dia tidak sadar, jika jemari liat itu mulai membuka kancing atas kemejanya karena menginginkan sesuatu yang lebih atas tubuhnya.

Noe yang merasa tak mendapat penolakan terus melancarkan aksinya semakin turun mencumbu pada dua buah gundukan kenyal yang menyembul di balik kemeja yang satu per satu kancingnya berhasil dia buka.

Namun, deringan telepon yang kedua kalinya seketika mengembalikan kesadaran Allura yang hampir saja merelakan dua buah gundukan kenyal miliknya dalam kendali Noe. Membuatnya langsung mendorong tubuh kekar itu menjauh darinya. “Berhenti menyentuhku, Berengsek!”

Noe yang terdorong ke belakang terkejut mendapatkan reaksi itu. Perempuan yang beberapa saat lalu hanyut dalam kendalinya itu tiba-tiba menatapnya dengan tatapan membunuh. Membuatnya mengernyit heran. “Berhenti kamu bilang?”

Allura langsung beranjak menjauh dari tubuh Noe. “Jangan pernah menyentuh tubuhku lagi, Noe!” hardiknya mengacungkan telunjuk memperingatkan.

Noe tergelak pelan. “Kenapa kamu tiba-tiba bereaksi seperti ini? Bukankah tubuh kamu tadi meresponsku, Allura?”

“Tutup mulut kamu, Noe!” Allura melotot tajam dengan napas memburu.

Noe semakin tergelak. “Kenapa? Kamu malu untuk mengakui respons tubuh kamu dalam kendaliku?”

Plak!!!

Allura langsung menampar wajah pongah yang sudah membuatnya teramat kesal.

Ya, kesal. Menyadari tubuhnya yang ternyata merespons dan mendapatkan wajah kemenangan Noe, Allura benar-benar sangat kesal.

Noe mengusap pipi bekas tamparan itu dengan menyeringai. Perempuan yang memperlihatkan dua buah gundukan kenyal yang menyembul di balik bra hitam itu tampak kesal bukan main terhadapnya. “Boleh aku tahu atas dasar apa kamu menamparku?”

“Karena kamu sudah sangat-sangat kurang ajar,” geram Allura.

“Kurang ajar karena sudah membuat tubuh kamu merespons sentuhanku?” Noe manaikkan satu alisnya pongah.

Tidak terima mendapatkan ucapan itu, Allura kembali mengangkat tangannya untuk berusaha kembali menampar. Namun, langsung ditangkis oleh Noe.

“Berhenti menamparku, Allura. Dengan respons tubuh kamu tadi, aku rasa nggak seharusnya kamu menamparku,” desis Noe menatap tajam. “Akui saja jika tubuh kamu juga menginginkannya, Allura,” sambungnya.

Allura mengeraskan rahang dan menarik tangannya dari cengkeraman Noe. “Denger ya laki-laki berengsek. Jangan kamu pikir, kamu sudah menang atas tubuh aku. Aku adalah Allura Milena yang punya segudang cara,” desisnya tajam.

Noe tersenyum. “Dan aku juga punya cara untuk melumpuhkan kamu, kalau kamu masih terus berulah, Allura. Apa lagi aku tahu titik kelemahan kamu jika sudah berada dalam kungkunganku.”

Plak!!

Tamparan kemudian berhasil Allura layangkan kembali pada pipi Noe. “Dasar bajingan berengsek,” geramnya.

Noe kembali mengusap pipinya yang kembali mendapatkan tamparan. “Aku anggap kekesalan dan tamparan kamu ini sebagai bentuk pengakuan, kalau kamu memang meresponsku, Allura.”

Sekali lagi tangan Allura melayang berusaha untuk kembali menampar melampiaskan kekesalannya. Namun, kembali ditangis oleh Noe yang kali ini benar-benar kesal.

“Sekali lagi kamu menamparku, aku akan melumpuhkan tubuh indah kamu di sini, Allura,” gertak Noe.

Mendapat ancaman itu, Allura benar-benar harus berusaha menahan diri sekarang. Sebab dia tahu, jika dia pasti akan kalah jika sudah berada dalam kungkungan laki-laki yang sudah menatapnya beringas itu. “Fine. Aku anggap kali ini kamu yang menang. Sekarang lepaskan tanganku.”

Noe menyeringai dan melepaskan tangan yang sudah membuat perih kedua pipinya.

Allura yang sudah menyerah langsung melangkah pergi dari hadapan laki-laki yang banyak menguras tenaga dan otak untuk beradu itu. Hatinya teramat kesal mengingat kebodohannya sendiri yang berujung membuatnya malu bukan main di hadapan Noe.

Sepeninggal Allura, Noe menggeram kesal merasakan sesuatu yang masih terasa sesak di balik celananya. Jika saja bukan karena deringan ponsel, mungkin Allura berhasil dia buat tidak berdaya di atas sofa di bawah kendalinya sekarang.

Brakkk!!!

Noe tersenyum lucu pada pintu kamar yang sengaja dibanting itu. Dia tahu betul, jika Allura berusaha mengelak dari kebenaran dengan cara bersikap kesal. Perempuan angkuh penuh akal itu nyatanya harga dirinya juga berperisai.

Noe kemudian melangkah ke dapur untuk mengambil air mineral dingin. Dia butuh sesuatu yang bisa mengembalikan pikiran warasnya dan mengendalikan bagian tubuhnya yang sesak untuk kembali seperti semula. Sebab harus dia akui, jika beradu dengan Allura sangat menguras akal sehatnya dan kendali tubuhnya.

*****

Tepat membanting pintu, Allura menggeram penuh kekesalan seraya menjambak rambutnya. Dia merutuki dirinya sendiri atas kebodohan dan kecerobohan yang dia buat sendiri.

“Bodoh! Bodoh! Benar-benar bodoh!” jerit Allura seraya memukul-mukul bantal dan guling di atas kasur. “Kamu memang bajingan berengsek, Noe! Sangat-sangat berengsek!” teriaknya yang kemudian melempar bantal dan guling tersebut sembarangan.

Beranjak dari kasur, Allura menyisir rambut tergerainya dengan jari dan mondar-mandir dengan napas tak beraturan memendam kekesalan. “Kalau saja aku nggak seceroboh itu melupakan pelurunya, Noe mungkin berhasil aku lumpuhkan dengan pistol itu.”

Ya, Allura masih sangat gemas mengingat kecerobohannya. Padahal itu adalah timing yang pas untuk melancarkan aksinya melumpuhkan Noe dengan pistol. Sayangnya berujung mempermalukan dirinya sendiri dan memojokkan dirinya sendiri di hadapan Noe karena kebodohannya.

Hal yang sangat-sangat bodoh lagi adalah … Allura kembali terjerumus ke dalam pesona Noe. Entah kenapa, dia tidak bisa mengendalikan diri setiap kali berada dalam kungkungan Noe. Hormon psikisnya begitu saja terpancing seperti magnet setiap kali beradu dengan Noe.

Allura menggeleng-geleng seraya terus mondar-mandir. “Ini nggak bisa dibiarkan. Ada apa dengan tubuhku? Ini seperti bukan diriku. Aku nggak semudah itu bisa takluk di tangan laki-laki sembarangan. Apa lagi oleh seorang mafia berengsek itu.”

Ya, Allura masih tidak habis pikir. Sebab hal ini sudah terjadi beberapa kali. Mulai dari drama pergulatan di ranjang hingga di sofa tadi.

“Apa yang membuatku terbius oleh Noe?” Allura berusaha berpikir keras.

Selama seminggu menjadi sandera di penthouse, Allura memang tidak menerima perlakuan buruk dari Noe. Laki-laki flamboyan itu justru memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Mulai dari menembaknya dengan peluru kosong di hari pertama diculik, menawarkan makan malam dan memberinya kamar tidur. Bahkan menyelamatkannya saat hampir diperkosa dan tenggelam di bak mandi.

Allura kemudian menggeleng-geleng. “Nggak. Noe memperlakukanku seperti itu bisa saja untuk mencari simpati agar aku membuka mulut tentang mutan itu. Noe bisa saja melenyapkanku kemudian setelah aku mengatakan tentang mutan itu,” ucapnya berusaha menepis isi kepalanya.

Namun, langkah Allura terhenti tatkala mengingat seringai khas Noe Erlangga yang cukup mematikan. Wajah dingin yang rupawan itu memang memberikan kesan sejak pertama kali. Bariton rendah mendebarkan yang justru membuatnya tertawan. Belum lagi tatapan menawan yang begitu dalam yang selalu membuatnya terpenjara.

“Apa aku … menyukai Noe?” tanya Allura menganga, sebelum kemudian tertawa menertawakan dirinya sendiri. “Aku pasti sudah sangat gila karena terlalu lama terkurung di sini. Itu sebabnya aku banyak melakukan hal bodoh karena terlalu frustrasi berada di sini,” ucapnya berusaha menyakinkan diri sendiri untuk tidak goyah.





Bersambung..........

Pengantin SanderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang