Noe mengernyit tatkala mencoba membuka mata. Tampak sebuah kaca besar menampilkan pemandangan malam gedung-gedung ibu kota yang penuh kelap-kelip. Entah sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri sejak insiden tembakan peluru tadi pagi. Tampak sebuah ruangan besar yang merupakan kamarnya tersuguh di hadapannya.
Mengingat insiden tembakan peluru, Noe seketika terperanjat mengingat Allura. Entah bagaimana keadaan perempuan sanderanya itu atas insiden itu. "Apa dia baik-baik saja?"
Noe bergegas turun dari ranjang dan membuka lemari gantung untuk meraih oversized t-shirt hitam. Setelahnya keluar meninggalkan kamarnya seraya memakainya. Tampak beberapa bodyguard masih berjaga di lantai bawah. Namun, dia tidak menemukan sosok Allura.
Usai menuruni tangga, Noe dikejutkan oleh perempuan yang terikat di kursi begitu menyedihkan. Perempuan tidak berdaya itu tampak tertidur dengan kepala tertunduk. Membuatnya sangat iba.
"Bagaimana keadaan lo?" tanya salah seorang bodyguard menghampiri Noe.
"Sudah membaik. Tenang saja." Noe menepuk pundak laki-laki berseragam hitam di sampingnya.
"Untunglah nggak ada peluru yang mengenai tubuh lo tadi. Tindakan lo tadi sangat-sangat berbahaya, Noe."
"Lalu bagaimana dengannya?" Noe menatap Allura.
"Karena dia terus memberontak, Pak Benji menyuruh kami untuk mengikatnya dan mengawasinya."
"Apa dia terluka?" tanya Noe.
"Beruntungnya lagi dia juga nggak terluka."
Noe bisa mengembuskan napas lega sekarang. "Kalian semua kembalilah. Gue yang akan mengurusnya."
"Tapi Pak Benji meminta kami semua berjaga di sini. Perempuan itu sangat berbahaya jika dilepaskan. Ada kemungkinan dia akan melakukan hal nekat lainnya."
"Gue bisa mengatasinya. Kondisi gue sudah membaik sekarang. Gue yang akan bilang ke Pak Benji nanti. Jadi kalian istirahatlah. Terima kasih sudah berjaga sementara di sini." Noe kemudian melangkah menghampiri perempuan terikat itu.
Samar-samar kebisingan membuat Allura membuka mata. Tampak 2 buah sepatu vans hitam putih berada di hadapannya. Membuatnya meringis kesakitan saat pelan-pelan menggerakan lehernya untuk mendongak. Sosok Noe Erlangga tampak berdiri menjulang di hadapannya tengah menatapnya.
"Aku akan melepaskan ikatan kamu. Tapi janji jangan memberontak lagi," kata Noe usai melepaskan lakban hitam di mulut Allura.
Allura celingukan ke sekitar. Tampak beberapa bodyguard yang tadi berjaga mengawasinya dengan tatapan bengis menghilang dari ruangan.
"Aku sudah menyuruh mereka pergi. Jadi aku minta kamu juga jangan memberontak lagi. Karena di ruangan ini hanya ada kita berdua sekarang," kata Noe.
Melihat wajah teduh Noe, Allura mengangguk. Lagi pula laki-laki di hadapannya tidak pernah memperlakukannya dengan buruk. Terlebih mengingat Noe yang sudah menyelamatkannya dari hujanan peluru, meski dia sendiri berusaha untuk menghabisi Noe. Membuatnya kini berakhir dengan rasa bersalah atas tindakan bodohnya itu.
Noe mulai membuka ikatan pada tangan Allura. Melihat semburat merah bekas ikatan di pergelangan, dia menghela napas. "Apa aku bilang, semakin kamu keras kepala, maka kamu yang akan terluka."
Mendengar hal itu Allura terdiam. Memang dia menyesali tindakan bodohnya itu. Dia terlalu emosi hingga tidak bisa berpikir dengan benar. Padahal semua bukti yang dia tahu sudah jelas mengarah pada sebuah kebenaran. Terlebih tentang tato di punggung Rayi yang sama dengan tato di punggung Noe. Itu adalah satu bukti, jika Rayi memang terlibat dalam organisasi mafia. Kemudian pesan tersirat Rayi yang memintanya tak menjalin hubungan dengan Aaron sejak awal.
Noe kemudian berjongkok di hadapan Allura melepas ikatan tali di kaki mungil itu.
"Kenapa kamu menyelamatkan aku tadi?" tanya Allura menatap Noe.
"Tentu saja karena aku nggak mau kamu mati, Allura," jawab Noe mendongak sesaat.
"Kamu nggak mau membiarkan aku mati karena ada sesuatu hal yang ingin kamu dapatkan dari aku kan? Membuka mulut tentang mutan itu."
Usai melepas ikatan, Noe menatap dalam Allura. "Itu memang tujuan awalku. Tapi juga karena kamu adalah adiknya Rayi. Aku pernah berhutang nyawa sama Rayi. Jadi aku berusaha membalasnya dengan menyelamatkan kamu, Allura."
Allura tertegun mendengar hal itu.
"Dan tentang mutan itu ...." Noe beranjak berdiri, "Dengan kamu mengetahui tentang kematian kakak kamu yang sebenarnya, apa kamu masih memilih untuk tetap bungkam?"
Sikap Allura saat ini memang tampak melunak. Sejak ikatan tali itu terlepas dari tubuhnya, dia sama sekali tidak memberontak. Sebab isi kepalanya saat ini memang tengah berkelana untuk membuat keputusan-tetap bungkam atau membuka mulut. Mengingat kematian kakaknya yang sangat tragis.
"Di mata aku saat ini ... kamu adalah adiknya Rayi. Meski nggak bisa dipungikiri jika kamu juga berhubungan dengan mutan itu," lirih Noe.
"Kalau begitu ... apa kamu akan tetap meyanderaku di sini?" tanya Allura menatap Noe.
"Ya," jawab Noe terus terang. "Aku akan melepaskan kamu sesuai janjiku, kalau kamu mau membuka mulut," lirihnya menatap penuh harap.
Mendapat tatapan teduh itu, Allura sedikit berdebar.
"Sekarang giliran aku yang tanya sama kamu. Setelah kamu mengetahui tentang kakak kamu, kenapa kamu tadi menarik pelatuknya? Apa kamu tadi benar-benar berniat buat membunuh aku? Apa kamu benar-benar menyalahkan organisasi atas kematian kakak kamu?"
Allura menelan ludah. Dia memang tidak bisa membayangkan jika peluru itu benar-benar tepat sasaran menembus dada Noe karena keras kepalanya. Mungkin dia akan berakhir penuh penyesalan sekarang. Atau mungkin akan semakin menambah nasib buruknya karena sudah berani membunuh salah satu anak organisasi mafia itu. Mengingat para bodyguard yang mengawasinya tadi penuh dengan tatapan membunuh.
"Kalau saja aku tadi benar-benar terbunuh, maka aku akan menjadi orang ketiga setelah Rayi yang gugur dalam misi membongkar tentang mutan itu."
Allura terpejam penuh sesal. "Fine. Kalau begitu tolong beri aku waktu untuk memutuskan. Tapi ... kamu juga harus membebaskan aku seperti janji kamu, jika aku memutuskan membuka mulut tentang mutan itu."
Noe cukup terkejut mendengarnya. Sosok Allura di hadapannya saat ini tampak berbeda. Bahkan jauh dari kata angkuh dan keras kepala. Ini adalah pertama kalinya dia melihat sisi Allura yang lain, yang cukup membuatnya tertegun. "Baik. Aku akan menepati janjiku, jika kamu juga bersedia untuk kooperatif."
Allura kemudian tampak berusaha berdiri. Namun, tubuhnya hilang keseimbangan karena kedua kakinya terasa begitu lemas. Ditambah kepalanya yang seketika pening dan membuat pandangannya berkunang-kunang. Beruntung Noe dengan gerakan cepat merangkul tubuh tidak bertenaga itu.
"Are you okey?" tanya Noe cukup khawatir menatap wajah kelelahan itu.
Allura berusaha memfokuskan pandangan. Tampak wajah rupawan itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Membuatnya semakin berdebar. Entah berdebar karena tubuhnya yang memang lemas, atau justru karena hatinya yang terpikat.
"Apa para penjaga itu belum ngasih kamu makan?" tanya Noe.
Allura menggeleng pelan bersama kelopak matanya yang sayu.
Noe menghela napas dan langsung membopong tubuh Allura dan meletakkannya di atas sofa. "Kamu tunggu di sini. Aku ambilkan kamu minum dan makanan. Ini sudah lebih dari 48 jam kamu belum makan apa pun."
Dengan spontan Allura mencekal tangan Noe yang beranjak pergi. Membuat Noe membeku di tempat merasakan jemari lembut itu menggenggam tangannya.
"Maafkan aku ... karena aku sudah menarik pelatuknya tadi," lirih Allura.
Bersambung..........
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Sandera
RomanceTepat di hari bahagia yang akan menjadikan Allura Milena pengantin perempuan yang cantik di pesta pernikahan, Allura justru berakhir di sebuah tempat asing bersama Noe Erlangga yang menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya untuk membongkar kejaha...