"Kami kehilangan jejak akibat truk besar yang tiba-tiba menghadang di tengah jalan, Pak," ucap seorang laki-laki berseragam hitam pada laki-laki yang duduk di sofa.Aaron menyunggingkan senyum dengan ekspresi dingin memainkan segelas wine di tangan kanan. "Aku yakin truk itu nggak datang dengan tiba-tiba."
"Kami sudah mengamankan pemilik truk tersebut. Saat ini kami sedang mengintrogasinya di markas."
"Nggak perlu. Lepaskan saja. Aku yakin dia hanya dibayar untuk mengacaukan lalu lintas. Jangan menambah pekerjaan yang nggak perlu," suruh Aaron usai menyeruput minuman merah di tangannya. "Aku sudah menduga kalau Allura nggak datang sendirian kemarin malam," sambungnya.
Ya, masih jelas di benak Aaron peristiwa malam itu, jika ada seseorang yang memukul tengkuknya hingga pingsan saat tengah berebut pisau dengan Allura. Bisa dipastikan seseorang tersebut juga yang menyelundup ke ruangan rahasianya. Entah dengan siapa Allura bekerja sama malam itu.
"Pergilah. Kalian kembali pada urusan laboratorium saja sementara ini. Pastikan nggak ada yang bocor dari dalam laboratorium," perintah Aaron.
"Baik, Pak." Laki-laki tersebut kemudian melangkah pergi meninggalkan bos besarnya.
Aaron meletakkan gelas minumannya dan tertunduk memegangi kepalanya. Dia masih tidak habis pikir dengan kejadian kemarin malam. Bagaimana bisa Allura muncul di hadapannya setelah Noe mengatakan akan menghabisi Allura? Apa benar jika Allura berhasil melarikan diri? Tapi bagaimana bisa? Anak buah Noe pasti tidak semudah itu bisa dikalahkan dengan tenaga perempuan.
"Apa mereka saling berhubungan?" tanya Aaron pada dirinya sendiri.
Ya, bukan hal yang salah jika Aaron mencurigai Allura dan Noe. Mengingat Allura mengetahui tentang mutan itu. Padahal sebelumnya Allura hanya mengetahui obat itu sebagai penambah stamina. Sudah pasti Noe yang memberi tahu kekasihnya itu. Terlebih Allura juga mengetahui perselingkuhannya dengan Joice yang sudah berusaha dia sembunyikan rapat-rapat.
"Mereka siapa yang saling berhubungan, Aaron?" tanya sebuah suara.
Aaron berjingkat terkejut dan langsung menoleh ke asal suara. Tampak perempuan memakai blackless dress dengan sheer outerwear dan black high heels bersedekap di ambang pintu ruangan kerjanya menatapnya curiga.
"Kamu masih memikirkan pengantin kamu yang hilang itu?" sindir Joice dengan seringai dingin.
Aaron mengembuskan napas berat. Lagi-lagi sebuah pengusik menganggu ketenangannya. "Jangan mulai lagi, deh. Aku lagi mikirin banyak pekerjaan ini."
Joice tersenyum dingin. "Yakin mikirin pekerjaan?"
"Mau kamu itu apa, sih?" Aaron berdiri menatap kesal Joice.
"Aku maunya kamu nggak usah lagi mikirin Allura. Kamu itu milik aku sekarang. Ingat, yang aku kandung ini bayi kamu." Joice melotot tajam.
Aaron melangkah mendekati Joice. "Joice, aku menuruti keinginan kamu pindah apartemen. Aku bahkan memutus hubungan dengan Allura demi kamu. Apa sampai di sini masih belum cukup bukti kalau aku sudah jadi milik kamu?"
Joice terdiam.
"Kamu mau aku melakukan apa lagi? Bahkan untuk memikirkan pekerjaan saja, kamu sudah menuduh aku yang bukan-bukan. Kamu pengen aku mengacaukan pekerjaan aku demi kamu nggak curiga sama aku? Iya? Itu yang kamu mau?" Aaron mulai taktik mengambil simpati.
"Aku cuma khawatir saja kalau kamu masih memikirkan Allura." Joice mulai melunak menunjukkan sikap bersalah.
"Jangan konyol. Kamu nggak lihat bagaimana aku lebih memilih kamu daripada Allura malam itu?"
Joice menelan ludah. Sebab ya, dia memang patut mengapresiasi keberanian Aaron yang lebih memilihnya di hadapan Allura. Membuatnya yang masih menyimpan keraguan, kini mulai bisa mempercayai Aaron.
"Kamu kan lagi hamil. Daripada kamu selalu memikirkan Allura, lebih baik kamu memikirkan hal lain yang bisa menyenangkan diri kamu, Joice." Aaron mengusap lembut pipi merona di hadapannya.
Joice tersenyum penuh manja. "Oke. Kalau begitu aku akan belanja buat nyenengin diri aku."
Aaron mengangguk dan berusaha tersenyum. "Itu pilihan bagus. Sembari kamu berbelanja, aku akan menyelesaikan pekerjaanku. Jadi nanti malam kita bisa makan malam," bujuknya.
Joice menjatuhkan kepala begitu manja kepada laki-laki berkemeja putih berpadu jas soft pink, celana putih dan oxford shoes yang selalu menawan dalam berpenampilan itu. "Maafin aku yang sudah mencurigai kamu ya, Sayang."
Aaron mengeraskan rahang menahan amarah menghadapai perempuan ular dalam pelukannya itu. Karena berpura-pura adalah satu-satunya cara untuk bisa membuatnya aman dari ancaman. Meski begitu dia akan berusaha mencari cara untuk bisa melenyapkan perempuan parasit yang akan merusak hidupnya itu.
Joice melepaskan pelukan dan menunjukkan wajah yang dibuat seimut mungkin untuk merayu. "Aku boleh pakai kartu kamu 'kan buat belanja?"
Aaron tersenyum menatap wajah yang dipenuhi seringai khas perempuan bermata uang tersebut. "Tentu saja. Kamu bisa memakainya sepuas kamu, selama itu bisa menyenangkan kamu," ucapnya yang kemudian menyerahkan kartu debit hitamnya.
Joice meraih kartu tersebut dengan wajah bahagia bukan main. "Kalau begitu aku pergi belanja dulu. Kamu semangat menyelesikan pekerjaan."
Sebuah kecupan lembut kemudian diberikan Joice di pipi Aaron sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan. Sementara Aaron tentu saja harus memasang wajah bahagia menerima perlakuan tersebut.
Tepat sepeninggal Joice, Aaron langsung mengumpat sejadi-jadinya melampiaskan kekesalannya usai menghadapi perempuan ular tersebut.
"Akan harus mencari cara untuk bisa melenyapkan perempuan pengusik itu. Bagaimanpun juga dia bukan perempuan yang pantas bersanding denganku. Karena yang pantas denganku hanyalah Allura Milena," ucap Aaron mengeraskan rahang.
Ya, Allura Milena masih menjadi perempuan yang menghuni dalam hidup Aaron. Karena sampai kapan pun Allura akan tetap menjadi pengantinnya. Hanya menunggu waktu saja untuk memulihkan keadaan rumit yang terjadi saat ini. Setelahnya dia akan membawa Allura ke dalam pelukannya lagi.
"Kamu nggak sebanding dengan Allura, Joice. Jadi jangan harap kamu bisa menggantikan posisi Allura dalam hidup aku," desis Aaron tajam menatap kepergian Joice dari jendela kaca besar. "Yang ada justru sebuah malapetaka yang akan menimpa hidup kamu, karena kamu sudah berani mengusik dan bermain-main dengan hidup Aaron Bryan," sambungnya.
Aaron kemudian merogoh ponsel di saku celana dan mulai menghubungi seseorang. "Kamu pantau terus pergerakan Joice. Kalau perlu kamu cari kebusukan perempuan ular itu," perintahnya.
"Baik, Pak. Kami akan ikuti setiap pergerakan kekasih Bapak."
"Jangan menyebutnya kekasihku. Dia sama sekali bukan kekasihku," desis Aaron tajam sebelum kemudian mematikan panggilan.
Kini, sepeninggal Joice, Aaron bisa mulai merasakan ketenangan. Terlebih bisa leluasa mendatangi unit apartemen lamanya yang masih menyisakan kenangannya bersama Allura.
Ya, meski harus terpaksa pindah karena permintaan Joice, nyatanya Aaron masih sering menyinggahi apartemen lamanya yang hanya berjarak beberapa lantai. Bahkan dia lebih banyak menghabiskan waktu di sana, lantaran ada ruangan rahasia yang tersembunyi di balik lemari besar di ruang kerjanya, yang menjadi hidup dan matinya.
Naasnya, seseorang telah berani mengusik ruangan rahasia itu. Ada beberapa data penting yang dipastikan berhasil jatuh ke tangan orang tersebut. Membuat Aaron tidak bisa tinggal diam kali ini.
"Benarkah kamu bekerja sama dengan Noe, Allura?" tanya Aaron menatap sebuah foto kebersamaannya dengan Allura yang masih tersuguh di atas meja kerjanya. "Jika sampai itu terjadi, haruskah kamu juga menjadi musuhku? Sementara aku benar-benar mencintai kamu di sini," lirihnya pilu.
Bersambung..........
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Sandera
RomanceTepat di hari bahagia yang akan menjadikan Allura Milena pengantin perempuan yang cantik di pesta pernikahan, Allura justru berakhir di sebuah tempat asing bersama Noe Erlangga yang menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya untuk membongkar kejaha...