Malam harinya Allura kesulitan terpejam karena dilanda kegelisahan usai kebodohannya mencium Noe. Dia bahkan sampai tidak berani menampakkan hidung di hadapan Noe, karena entah bagaimana dia harus bersikap. Membuatnya ingin sekali melarikan diri dari penthouse. Namun, tentu saja pilihan itu bukan solusi yang baik, mengingat dia sudah memutuskan bergabung dengan organisasi untuk membalas Aaron.
"Aku harus bagaimana sekarang? Aku bisa gila kalau terus-terusan memikirkan ciuman itu. Aku harus mencari alasan untuk bisa menyelamatkan harga diriku," lirih Allura yang terus mondar-mandir dan menyibak rambut tergerainya.
"Aaa!" Kali ini Allura meremas rambutnya frustrasi. "Tapi alasan apa? Aku nggak mungkin mengatakan karena lagi mabuk. Noe pasti tahu kalau keandaanku kemarin benar-benar waras," geramnya.
Setengah jam lamanya tak kunjung mendapatkan alasan yang masuk akal, Allura memutuskan menegakkan punggung menatap pintu kamarnya. "Emang ini salahku? Nggak 'kan? Salah dia sendiri bersikap penuh perhatian. Kalau sampai aku tergoda, ya itu bukan salahku. Salah dia saja yang sok-sokan perhatian."
Dengan langkah berani Allura membuka pintu kamar untuk melangkah keluar. Bagaimanapun juga dia butuh udara segar setelah 12 jam lamanya mengurung diri. Lagi pula sosok Noe tak terlihat saat ini.
"Memangnya kenapa kalau dia muncul? Dia pikir aku takut?" Allura menyeringai pongah.
Langkah Allura kemudian menuju dapur. Sejak siang tadi dia menginginkan sebotol wine untuk bisa menyegarkan tenggorokannya dan menghibur diri. Namun, karena sedang mode menghindari Noe, dia harus menahan diri selama 12 jam lamanya.
Berhasil mendapatkan sebotol wine favoritnya, perempuan memakai crop sweater berpadu celana hitam itu tersenyum semringah dan langsung membuka penutupnya. Setelahnya langsung meneguknya dari botol.
"Ah," desah Allura penuh kelegaan. "Akhirnya aku bisa menikmati minuman ini," ucapnya yang kemudian kembali meneguk minuman berwarna merah itu.
Langkah Noe tampak tergopoh-gopoh melihat pemandangan yang lagi-lagi menguji kesabarannya di dapur. Dia langsung merebut botol minuman itu dari Allura. "Stop, Allura."
Allura membulatkan mata terkejut dan hampir tersedak dengan kemunculan tiba-tiba laki-laki berkemeja hitam lengan pendek berpadu celana bahan hitam itu. "Kamu gila? Kamu hampir membuat aku tersedak, Noe."
"Hentikan, Allura. Kamu hanya akan membuat kekacauan dengan minum wine." Noe menatap tajam.
Allura tergelak kecut. "Apa peduli kamu?"
"Karena aku nggak mau kamu membuat kekacauan yang akan kamu sesali nanti." Noe menatap penuh peringatan. "Jangan lupakan drama panas yang sudah terjadi kepada kita gara-gara sebotol wine, Allura," lirihnya.
Allura mengeraskan rahang karena kembali diingatkan pada drama ranjang itu. Membuatnya semakin gigih untuk merebut kembali botol minuman itu. "Kembalikan."
"Hentikan dan mari kita bicara." Noe menjauhkan minuman tersebut dari jangkuan tangan Allura.
"Aku bilang kembalikan!" hardik Allura.
"Kalau ini soal ciuman kita tadi siang, mari kita bicara," tegas Noe menatap tajam mata amber yang berjarak 10 senti itu.
Allura membeku dan menghentikan aksinya.
"Mari kita bicara dalam keadaan sadar," lanjut Noe.
Allura menarik napas panjang dan menyibak rambutnya frustrasi. "Kenapa? Kamu mau menyalahkan aku karena sudah mencium kamu begitu?" tanyanya menatap tajam Noe. "Jangan naif, Noe. Semua itu juga karena sikap kamu," desisnya.
Noe meletakkan botol minuman itu di atas pantry. "Sikapku yang bagaimana, Allura?"
Allura menyeringai dingin. "Sikap kamu yang selalu memperlakukan aku dengan cara yang berbeda sejak awal. Cara kamu memandangku dan menyentuhku yang sering membuat aku gila untuk memahaminya."
Noe tersenyum berusaha mengelak. "Jangan salah mengartikan Allura. Aku melakukan itu karena kamu seorang perempuan. Sementara aku nggak bisa memperlakukan seorang perempuan dengan cara kasar. Apa lagi fakta yang aku tahu adalah kalau kamu itu adiknya Rayi. Tentu saja hal itu sangat mempengaruhi caraku dalam memperlakukan kamu sekarang."
Allura tergelak kecut. "Oh ya? Yakin karena aku adalah adiknya Rayi?"
"Tentu saja. Kamu saja yang salah mengartikannya." Noe menaikkan satu alisnya pongah, berusaha untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Allura melangkah mendekat tepat di hadapan Noe. "Salah mengartikan kamu bilang? Jelas-jelas sikap kamu itu menggambarkan sebuah perasaan lebih sama aku, Noe."
Noe menelan ludah dan membeku.
"Kamu menyukai aku 'kan?" Allura semakin memotong jarak tatapan. "Tatap aku dan jawab pertanyaanku, Noe. Kamu bilang mata nggak bisa berbohong dalam jarak 5 senti," lirihnya.
Dalam hitungan detik, Noe berusaha menguatkan diri menatap mata amber penuh sorot pengharapan itu. Sekuat mungkin dia menahan perasaannya untuk tidak tenggelam. Sebab, perasaannya kepada Allura bukanlah hal yang penting. Hal itu justru bisa membahayakan keselamatan Allura, mengingat profesinya yang bergelut dalam dunia mafia.
"Kamu salah mengartikan, Allura. Nggak ada yang lebih dari perasaan aku buat kamu," ucap Noe menatap sungguh-sungguh mata indah itu.
Allura mengeraskan rahang dan menarik napas panjang melihat sorot mata tanpa goyah itu. Membuat hatinya terempas begitu saja usai berusaha mengartikan semua sikap Noe padanya. "Fine. Kalau memang aku yang salah mengartikan, sekarang perlukah aku meminta maaf dan mengatakan menyesal soal ciuman tadi siang?"
Noe terdiam. Dia tahu ciuman itu atas dasar sebuah perasaan, mengingat Allura menciumnya dalam keadaan sadar. Namun, haruskah dia berharap lebih? Sementara dia adalah laki-laki yang bisa membahayakan Allura kapan pun.
"Dengan sikap kamu yang hampir menggoyahkan perasaanku dan membuat aku bernyali mencium kamu ... haruskah aku meminta maaf soal ciuman itu sekarang?" tanya Allura sekali lagi.
Noe tertegun. Perempuan di hadapannya terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Namun, yang bisa dia lakukan hanyalah mengelak saat ini. Karena dia tidak ingin membawa Allura semakin tenggelam dalam kehidupannya. "Nggak perlu. Aku akan melupakan ciuman itu," jawabnya begitu dingin.
"Kalau begitu aku katakan ... kalau aku amat sangat menyesal telah mencium kamu, Noe. Dan aku juga amat sangat menyesal telah goyah karena sikap kamu yang ternyata nggak mempunyai arti apa-apa," ucap Allura tajam.
Noe mengeraskan rahang. Perkataan itu seketika menguliti perasaannya sendiri.
"Dan mulai sekarang ... tolong jaga sikap kamu, Noe. Kalau kamu nggak bisa bertanggung jawab atas perasaan orang lain, jangan memberikan sikap yang berlebihan," tukas Allura mendorong tubuh kekar itu dari hadapannya penuh benci.
Ya, Allura melangkah pergi membawa rasa kecewanya karena telah menjadi orang bodoh yang sudah salah mengartikan sikap Noe Erlangga padanya selama ini. Membuatnya sadar, jika perasaannya kepada Noe adalah sebuah kesalahan dan kebodohannya sendiri.
Noe terpejam penuh sesal dengan jemari mencengkeram erat pinggiran pantry merasakan sesuatu yang sesak tengah mengoyak-ngoyak perasaannya. Mengelak atas perasaan sebenarnya rupanya jauh lebih sesak untuknya saat ini. Namun, baginya itu adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Sebab dia tidak mau membawa Allura terlalu dalam ke dalam kehidupannya yang berbahaya.
"Maafkan aku, Allura," lirih Noe mengembuskan napas sesal.
Suara pintu terbanting keras kemudian menggema ke seluruh ruangan. Bisa dipastikan Allura tengah kesal bukan main saat ini. Namun, yang bisa dilakukan oleh Noe adalah membiarkannya.
Bersambung.............
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Sandera
RomanceTepat di hari bahagia yang akan menjadikan Allura Milena pengantin perempuan yang cantik di pesta pernikahan, Allura justru berakhir di sebuah tempat asing bersama Noe Erlangga yang menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya untuk membongkar kejaha...