Part 74

54 2 0
                                    

Langkah Allura mundur oleh tubuh Noe yang mendorongnya hingga mengimpit tembok di belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Langkah Allura mundur oleh tubuh Noe yang mendorongnya hingga mengimpit tembok di belakang. Bibir kenyal itu langsung membekukan sekujur tubuhnya. Dalam beberapa saat otaknya bahkan tidak bisa mencerna apa pun. Sampai kemudian suara cecapan menyadarkannya dan mendorong Noe melepas ciumannya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Allura menatap tajam wajah berjarak 5 senti darinya itu dengan napas tersengal.

"Mencium kamu," jawab Noe menatap dalam mata amber yang tampak terbuka lebar itu.

"Kenapa kamu mencium aku?" tanya Allura tak mengerti.

"Karena aku memang ingin mencium kamu," jawab Noe berterus terang.

Ya, tidak ada alasan lain bagi Noe Erlangga saat bertekad mencium Allura saat ini. Dia sudah memutuskan untuk tidak lagi membatasi perasaannya kepada Allura. Terlebih Allura juga mempunyai perasaan yang sama dengannya. Seminggu menahan diri sudah cukup untuk membuat perasaannya tersiksa. Apa lagi sampai membuat Allura membencinya.

Allura mendorong keras kedua pundak Noe. "Kamu mencoba mempermainkanku?" tanyanya menatap sengit.

Noe mencengkeram kedua tangan Allura yang mendorong pundaknya. "Sama sekali aku nggak bermaksud buat mempermainkan kamu, Allura."

"Lalu apa maksud kamu melakukan ini?!" teriak Allura penuh amarah.

Noe langsung menyentuh kedua pipi Allura berusaha menenangkan. "Dengarkan aku, Allura. Aku punya alasan mengatakan perasaan kita ini adalah perasaan bodoh," lirihnya menatap teduh dua bolah mata amber yang tampak mengambang itu.

Allura terdiam dengan napas memburu oleh amarah dan sesuatu yang beradrenalin.

Noe kemudian mengusap lembut pipi Allura berusaha menenangkan. "Aku ... adalah laki-laki yang penuh dengan bahaya, Allura. Kamu mungkin bisa dalam bahaya kalau masuk dalam kehidupanku. Sementara aku ... aku nggak mau membuat kamu dalam bahaya. Karena itu aku membuat alasan perasaan bodoh agar kamu bisa membatasi perasaan kamu."

"Lalu kenapa sekarang kamu menciumku? Bukankah ini akan semakin mengacaukan perasaanku?" tanya Allura.

Noe terpejam dan mengembuskan napas. "Aku tahu. Karena aku sekarang juga nggak bisa menahan perasaanku lagi sama kamu."

"Terus bagaimana sekarang? Apa kamu akan tetap memintaku buat membatasi perasaanku sama kamu? Kamu kira aku bisa melakukan itu sementara kamu masih memperlakukanku dengan begitu peduli?" cecar Allura menangis. "Yang ada kamu ngebuat aku gila, Noe! Gila!" teriaknya.

"Aku nggak akan meminta kamu membatasi perasaan kamu lagi. Karena aku juga nggak akan melakukan itu lagi." Noe mengusap air mata itu.

Allura membeku. Entah apa maksud dari ucapan tersebut.

"Tapi apa kamu bener-bener nggak keberatan dengan semua ini?" Noe menatap semakin dalam. "Kamu tahu seperti apa aku dan bagaimana pekerjaan yang sedang aku lakukan sekarang ini, Allura. Apa kamu bener-bener nggak keberatan?" ulangnya.

"Memangnya kenapa kalau aku nggak keberatan? Lagi pula ini salah kamu. Kamu sendiri yang ngebuat aku suka sama kamu dengan semua sikap kamu, Noe." Allura memukul dada bidang di hadapannya begitu kesal.

"Fine, aku yang salah. Aku minta maaf sudah menyiksa perasaan kamu selama ini. Aku minta maaf." Noe kembali mengusap lembut pipi Allura dan memutus jarak hingga ujung hidungnya menyentuh hidung mungil di hadapannya, berusaha untuk menenangkan.

"What do you want now, Noe?" tanya Allura.

"You ... I want you," lirih Noe terpejam.

Allura yang mengerti maksud ucapan itu kemudian mengalungkan kedua tangannya pada pundak Noe dan berjinjit maraih bibir kenyal yang hanya berjarak 2 senti itu dengan bibirnya. Lagi pula dia sudah tidak mempunyai alasan lagi untuk menahan diri.

Noe kemudian merengkuh tubuh Allura dalam dekapannya seraya memberikan cecapan demi cecapan mengikuti gerakan bibir Allura, menumpahkan seluruh perasaannya.

"Aku mungkin nggak akan bisa berhenti kali ini, Allura," lirih Noe di sela-sela ciumannya.

"Aku juga nggak akan meminta kamu buat berhenti," balas Allura menyentuh rahang tegas itu.

"Would you like to see my room?" tanya Noe.

Allura tersenyum.

*****

Tepat pintu kamar tertutup, Noe meraih Allura dalam rengkuhannya dan kembali menghujani ciuman demi ciuman. Pelan-pelan langkahnya menggiring langkah Allura menuju sebuah ranjang besar berseprai putih untuk menjatuhkan diri usai melepaskan jaket hitamnya.

Allura yang sudah berada di bawah tubuh Noe bergerak gelisah menerima hujanan ciuman di sepanjang wajah hingga lehernya. Sampai kemudian dia melenguh merasakan sebuah tangan liat yang hangat menyusup di balik kausnya dan membelai sepanjang punggungnya.

"I really can't stop this time, Allura," lirih Noe mencoba memastikan sekali lagi keputusan Allura.

"I want's stop you," lirih Allura tetap pada keputusannya.

Noe pelan-pelan menaikkan kaus hitam Allura sampai lepas dan mengekespos dua buah gundukan kenyal memabukkan yang masih berbalut bra hitam di baliknya. Setelahnya menenggelamkan diri di sepanjang pundak indah seraya melepaskan pengait bra untuk membebaskan dua buah gundukan kenyal itu tersuguh di hadapannya.

Allura melenguh terpejam dengan jemari meremas rambut hitam Noe yang mulai menenggelamkan diri menghujani ciuman demi ciuman di sepanjang dua buah gundukan kenyal miliknya hingga turun pada pusar. Sampai kemudian tangan kekar yang liat itu pelan-pelan melepaskan pengait celananya dan menurunkannya.

Noe kemudian menanggalkan kausnya seraya menatap penuh damba tubuh indah yang sudah tersuguh di atas ranjangnya. Ini adalah pertama kalinya dia melihat Allura juga menatapnya penuh damba dan tampak sukarela untuk menyambutnya.

Hal yang sama juga terjadi pada Allura. Perempuan yang sudah memutuskan menenggelamkan perasaanya itu tampak tak berhenti menelan ludah dengan mata berkabut melihat pergerakan Noe yang tengah membuka ritsleting celana dengan tubuh berotot dambaan kaum hawa-perut six pack, bahu lebar, lengan kekar, punggung meruncing dan jemari besar yang liat dalam membelai.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Noe tatkala kembali tenggelam di atas tubuh indah Allura usai menanggalkan semua pakaiannya.

"Tentu saja pemandangan indah seorang Noe Erlangga." Allura tersenyum menggoda.

"Kamu menyukainya?" Noe balas menggoda dengan mengecup sepanjang jemari lentik Allura.

"Tentu saja." Allura tersenyum seraya membelai sepanjang rahang tegas dan dad bidang di atas tubuhnya. Sampai kemudian sebuah bekas luka di lengan kekar itu menarik perhatian jemarinya. "Apa luka ini sudah sembuh?" tanyanya.

"Sudah." Noe tersenyum. "Kamu nggak akan menikam aku dengan pisau lagi kan kali ini?" godanya.

Allura tergelak dan menggeleng. "Nggak akan lagi."

"Kamu juga cepat sembuh lukanya." Noe mengecup luka di lengan Allura, sebelum kemudian kembali tenggelam menghujani ciuman-ciuman di sepanjang pundak indah dan dua buah gundukan kenyal memabukkan itu.

Allura menggeliat dan melenguh merasakan sesuatu yang keras mulai menerobos masuk pada kepemilikannya. Jika sebelumnya 2 jemarinya selalu dalam penjara cengkeraman Noe, kali ini jemarinya bebas menyentuh apa pun atas tubuh kekar laki-laki tersebut.

Keduanya kemudian saling melenguh dan saling menghunjam dengan posisi menyamping saling berhadapan. Jemari mereka saling bergerak membelai sepanjang tubuh polos sebagai bentuk euforia bersama bibir yang saling bertaut. Sudah tidak lagi pembatas atas perasaan keduanya saat ini. Mereka telah memutuskan untuk luruh runtuh dalam penyatuan.

"I love you, Noe," lirih Allura.

"I love you too."










Bersambung............

Pengantin SanderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang