Part 24

81 11 2
                                    

Mendapati tanda merah di leher, Allura membanting peralatan mandi di atas wastafel dengan menggeram kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mendapati tanda merah di leher, Allura membanting peralatan mandi di atas wastafel dengan menggeram kesal. Seketika wajah berantakkannya di hadapan cermin menghadirkan potongan demi potongan ingatan yang sangat membuatnya kesal.

"Berengsek. Apa yang sudah dia lakukan semalam?" geram Allura kesal mengingat Noe yang menyerangnya lebih dulu dengan mencium bibirnya.

Setelahnya Allura membeku mengingat potongan kejadian, di mana dia mencumbu jakun naik turun yang begitu menggoda itu. Membuatnya tergelak kecut dan menggeleng tidak percaya. "Nggak mungkin. Aku nggak mungkin melakukannya 'kan?"

Potongan ingatan berikutnya adalah saat tubuhnya terlentang di atas meja begitu pasrah menerima perlakuan Noe yang gila. Membuat Allura menjerit kesal. "Aa!!"

Ya, Allura tidak bisa menerima kejadian, di mana dia tenggelam dalam cumbuan itu.

"Noe berengsek!" teriak Allura dengan kedua tangan meremas rambutnya begitu frustrasi.

Allura kemudian menggeleng-geleng di hadapan sosoknya yang terperangkap cermin. "Ini gara-gara wine sialan itu. Bagaimana bisa aku berjalan menghampiri Noe di ruang kerjanya semalam saat mabuk?"

Allura bahkan memukul-mukul kepalanya yang sudah begitu bodoh semalam. "Dasar otak sialan."

Tak ingin berlarut-larut menyalahkan diri, Allura segera mengguyur tubuhnya dengan air shower agar bisa menyegarkan kepalanya dan menyusun rencana berikutnya.

Selesai mandi, Allura terus mondar-mandir memutar otak. Namun, isi kepalanya masih terus dipenuhi kejadian demi kejadian panas semalam yang membuatnya berkali-kali mengerang frsutrasi. "Ah, sialan!"

Merasakan cancing perut yang mulai bertempur, perempuan mengenakan hoody navy blue itu menoleh ke laci yang tampak kosong tidak ada apa pun, tidak seperti biasanya. Dia kemudian menatap jam dinding yang menunjuk pukul 11 siang. "Apa-apan ini? Ini aku sengaja dibiarkan kelaparan?"

Dengan kesal Allura membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan melangkah keluar. Pandangannya langsung tertuju pada laki-laki di dalam ruang kerja yang melirik ke arahnya. Namun, pandangan itu seketika membuatnya membeku dan menelan ludah, mengingat kejadian semalam.

Noe tampak mengedikkan kepala menunjuk meja makan yang sudah terhidang makanan untuk Allura. Seolah mengerti, jika Allura keluar kamar karena kelaparan.

Tak ingin membuang waktu dan memperlihatkan salah tingkahnya, Allura melangkah ke meja makan yang mejanya tampak berbeda dari sebelumnya. Membuatnya langsung menoleh ke arah Noe. "Dia nggak mungkin mengganti mejanya karena aku trauma 'kan?"

Ya, meja makan persegi panjang sebelumnya memang masih menyisakan trauma bagi Allura yang hampir diperkosa oleh 2 anak buah Noe yang liar itu. Menyadari hal itu, Noe memang sengaja menggantinya dengan meja makan bundar.

Hidangan hot brown soup dan segelas mango cooler membuat Allura menarik kursi untuk segera menyantapnya. "Bodoh amat sama mafia berengsek itu. Aku harus makan agar tetap hidup di sini."

*****

Di balik meja kerja Noe tak berhenti mengembuskan napas panjang. Entah bagaimana dia harus bersikap di hadapan Allura mengingat kejadian semalam. Akan sangat beruntung baginya, jika Allura tidak mengingat kejadian mabuknya itu.

Noe tak berhenti mencuri pandang mengamati kegiatan makan Allura. Karena sikap canggungnya, dia bahkan tidak berani masuk ke kamar Allura untuk mengantar makanan. Jadi dia sengaja menghidangkan di meja makan. Dia khawatir sikapnya akan canggung karena kejadian panas semalam.

Namun, tiba-tiba saja tenggorokan Noe kering. Gelas minum di sampingnya tampak kosong. Entah karena rasa haus atau canggung, dia tidak tahu. Membuatnya mau tidak mau beranjak menuju dapur dengan berusaha mengendalikan sikap.

Melihat Noe keluar dari ruang kerja, Allura langsung membeku. Dia berusaha bersikap biasa, karena tak ingin mempermalukan dirinya sendiri jika membahas kejadian semalam. Akan lebih baik baginya, jika berpura-pura tak mengingatnya. Namun, di luar dugaan laki-laki memakai kaus abu-abu berpadu celana hitam itu hanya melewatinya tanpa ekspresi dan tanpa mengeluarkan kata. Sangat kentara menunjukkan sikap tak biasa.

Membuka lemari pendingin, Noe melirik Allura, mencoba menyelisik wajah yang tertutup rambut panjang tergerai itu. Untuk memastikan reaksi Allura tentang kejadian semalam. Meski sebenarnya dia tidak bisa menutupi rasa canggungnya.

Melihat sikap tak biasa Noe, Allura tersenyum licik. Seketika sebuah ide muncul di kepalanya. Terlebih mengingat, bagaimana rakusnya Noe atas tubuhnya yang mabuk semalam.

Ya, jika kemarin tak mampu mengalahkan Noe dengan todongan pisau untuk menemukan id card, maka Allura akan menggunakan cara lain yang bisa membuat Noe lumpuh tak berkutik sebelum melakukan penyerangan. Toh salah satu kelemahan laki-laki terletak pada sentuhan dan tubuh perempuan.

Allura menyilangkan kaki yang menyuguhkan paha mulusnya. Lalu bersedekap menatap Noe yang tengah meneguk minuman. Tampak jakun naik turun yang membuatnya tergoda semalam kembali tersuguh di hadapannya. "Semalam ...."

Noe seketika tersedak oleh minumannya mendengar satu kata yang langsung membawa kepalanya pada kejadian semalam.

Melihat itu Allura melipat bibir mengumpat tawa. Sangat jelas, bagaimana Noe tampak salah tingkah. Membuatnya semakin ingin mempermainkan. "Maaf, semalam aku mencuri 2 botol pinot noir di dapur," ucapnya pura-pura tertunduk menyesali. "Karena aku kesulitan tidur, jadi aku menghabiskan 2 botol pinot noir untuk membuat tidurku nyenyak" sambungnya.

Mendengar itu Noe mengernyit heran. Sikap Allura tampak biasa saja, tak menunjukkan kecanggungan. Entah apakah perempuan itu benar-benar tak ingat atau hanya berpura-pura. "Terus ... apa kamu benar-benar bisa tidur nyenyak setelah itu?" tanyanya menyelisik.

Allura mengangguk mantap. "Sangat nyenyak sampai aku bangun kesiangan," kilahnya.

Noe tergelak kecut. "Kamu yakin kamu nggak mabuk semalam?"

Allura menggeleng seraya menunjukkan wajah tak berdosanya. "Aku selalu tertidur kalau mabuk."

Noe memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana menatap Allura yang tampak benar-benar tak mengingat kejadian semalam. "Apa dengan menghabiskan 2 botol pinot noir bisa menghilangkan rasa sakit hati kamu setelah melihat foto perselingkuhan Aaron?"

Allura mengeraskan rahang. Lagi-lagi dia diingatkan pada foto-foto perselingkuhan itu. "Kenapa? Kelihatannya kamu seneng banget neglihat aku hancur karena dikhianati Aaron," ucapnya dingin.

Noe tersenyum. "Tentu saja. Siapa yang tahu, jika rasa sakit hati kamu sama Aaron bisa membuat kamu membuka mulut tentang mutan itu."

"Berengsek," desis Allura tajam. "Jadi kamu mencoba memanfaatkan aku dengan kehancuranku saat ini?" tanyanya sinis.

Noe tergelak pelan. "Kurang lebih begitu. Aku memang sedikit memanfaatkan fakta yang sedang terjadi antara kamu dan Aaron."

Allura memukul meja keras. "Bajingan berengsek."

Noe menyeringai. "Jangan terlalu membenciku, Allura. Pada akhirnya kamu akan berada di kubu yang sama denganku. Apalagi kamu adalah orang yang paling dekat dengan Aaron. Nggak menutup kemungkinan, jika kamu akan menjadi pisau tajam setelah dikhianati."

"Jangan terlalu percaya diri kamu, Noe. Karena aku nggak akan pernah memihak mafia berengsek kayak kamu." Allura menatap tajam.

Kembali mendapati wajah angkuh dan pongah itu, Noe tersenyum. "Kita lihat saja nanti. Aku yang berhasil melunakkan keras kepala kamu, atau kamu yang berhasil lepas dari tawananku di sini."

Allura menyeringai dengan kelicikan yang sudah bersarang di kepalanya. "Fine. Kita lihat saja nanti," ucapnya yang kemudian memilih meninggalkan meja makan, enggan melanjutkan makan karena muak melihat Noe.
*
*
*
*
*
Bersambung.............
*
*
*
*
*
Dilarang plagiat!

Pengantin SanderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang