Noe menarik tangan Allura dan membawanya kembali ke kamar. Lalu mendudukkan perempuan keras kepala itu di pinggiran ranjang. "Diam, kalau kamu nggak mau tangan kamu semakin parah."Allura hanya membeku. Sebab untuk saat ini dia tidak bisa melawan, mengingat tangannya terluka dan tak memegang senjata. Meski menggunakan semua tenaganya untuk melawan, dia akan tetap kalah dan terluka oleh tenaga Noe. Jadi lebih baik menyerah untuk saat ini sembari mencari akal.
Noe meraih kotak obat yang memang tersedia di atas nakas sepanjang Allura mendapatkan perawatan. "Aku sudah pernah memperingatkan 'kan? Kalau kamu terus memberontak, maka aku akan mengikat kamu."
Allura menatap dingin laki-laki yang berjongkok di hadapannya.
Noe meraih tangan Allura yang terluka. Namun, dengan begitu dingin ditepis Allura. Membuatnya tergelak pelan menatap perempuan angkuh di hadapannya. "Kalau kamu menolak diobati, paling nggak kamu tahu akibat dari keras kepala dan kecerobohan kamu ini. Tangan kamu akan infeksi dan nggak bisa digerakan jika pembulu darahnya membengkak. Mau mencoba?"
Allura terdiam.
Noe kembali meraih tangan Allura, yang kali ini tak menepis. Membuatnya bergegas menutup luka yang terus mengucurkan darah tersebut. "Kalau kamu tahu, gimana aku berusaha menyelamatkan kamu saat tenggelam di bak mandi, seharusnya kamu berterima kasih, bukan malah menodongkan pisau."
"Buat apa aku berterima kasih kalau aku masih menjadi sandera sampai hari ini?" Allura menatap benci Noe.
"Asal kamu tahu, beberapa sandera yang keras kepala seperti kamu selalu berujung kematian karena kebodohannya sendiri. Jika kamu masih terus bertingkah, nggak menutup kemungkinan kamu juga akan seperti mereka." Noe menempelkan plester.
"Oh ya? Lalu kenapa kamu nggak ngebunuh aku saja tadi?" Allura tampak tak kenal takut.
Noe mendongak menatap wajah angkuh itu. "Karena ini adalah pertama kalinya aku menyandera seorang perempuan. Jadi aku punya sedikit hati untuk saat ini."
Allura tersenyum kambing. "Hati? Dengan kamu menyendara orang yang nggak ada hubungannya sama mutan, kamu bilang punya hati?"
Noe beranjak mendekatkan diri. Lagi-lagi dia melakukan hal yang tidak bisa dia kendalikan-menatap lekat wajah ayu yang selalu menaikkan dagu itu. "Kalau memang kamu nggak ada hubungannya sama mutan itu, tatap aku dengan berani."
Mendapati jarak yang semakin dekat, Allura berusaha menghindar. Namun, sebuah tangan yang hangat menahan punggungnya dan membuatnya membeku.
"Tatap aku dalam jarak 5 senti, Allura. Mata kamu yang akan menjawab, apakah kamu berhubungan atau nggak dengan mutan itu." Noe menarik punggung Allura untuk memotong jarak 10 senti menjadi 5 senti.
Allura membulatkan mata mendapat perlakuan itu. Dia bahkan berkali-kali menelan ludah karena gugup. "Ma-mau apa kamu?"
"Mau melihat mata kamu itu jujur atau berbohong."
Kedua tangan Allura refleks menahan pundak Noe.
"Kalau kamu menghindar, brarti itu bukti kalau kamu memang berbohong," lirih Noe.
Mendengar itu Allura semakin terpojok. Napasnya perlahan memburu karena gelisah.
"Aku tanya sekali lagi sama kamu, Allura. Apa kamu ... benar-benar nggak pernah melihat mutan itu?" Noe menatap dalam mata indah berbulu lentik itu.
Allura mencengkeram baju Noe dengan napas semakin memburu. Tatapan menawan penuh selidik itu cukup mendebarkan jantungnya. Belum lagi wajah rupawan yang tidak bisa dia pungkiri pesonanya. Namun, alih-alih membeku, dia juga dilema untuk menjawab.
Hal yang sama juga terjadi pada Noe. Melakukan jarak dekat dengan Allura adalah hal yang sangat menyiksanya. Mulai dari perasaannya, isi kepalanya, hingga sesuatu yang mengeras di tubuhnya. Dia tidak bisa mengelak untuk tidak tertarik pada visual Allura yang sempurna. Meski begitu, dia masih tetap pada tujuannya untuk membuat Allura bersuara.
"Aku ...." Allura menelan ludah, menahan pandangannya tak beralih dari kedua mata Noe, untuk membuktikan keberaniannya yang bisa beradu pandang dalam jarak dekat.
"Aku apa?" tanya Noe menyelisik penuh sorot mata Allura.
Meski sudah berusaha tak mengalihkan tatapan, tetapi Allura tak bisa menahan matanya untuk berkedip, menyesuaikan perasaannya yang gugup, gelisah dan berusaha bersembunyi. "Aku ... nggak pernah melihatnya."
Noe menyeringai. "Jawab dengan jujur, Allura. Aku akan melepaskan kamu, kalau kamu memberitahu yang sebenarnya."
Sudut bibir Allura tampak bergerak menahan sesuatu. Dia masih bingung harus memercayai siapa. Ingin memercayai Aaron, tetapi kekasihnya itu justru mencampakkannya begitu saja. Ingin memercayai penjahat di hadapannya juga belum tentu menjadi pilihan yang tepat, mengingat Noe adalah penjahat yang menyanderanya dan mengahancurkan pernikahannya. Bisa jadi setelah dia mengatakan kejujurannya, hidupnya juga akan berakhir.
Menangkap keraguan di mata Allura, Noe menyeringai. "Kamu tahu, tapi kamu nggak mau ngasih tahu? Apa yang ngebuat kamu ragu, Allura?"
"Aku ragu sama kamu," lirih Allura.
Noe mengernyit meminta penjelasan.
"Bagaimana bisa aku percaya sama penjahat yang udah nyulik aku dan menghancurkan hidup aku? Justru itu adalah hal yang paling bodoh, jika aku melakukannya," desis Allura tajam.
Noe tergelak kecut. "Kamu yakin aku yang menghancurkan hidup kamu? Bukankah pernyataan Aaron yang nggak sesuai seperti yang kamu harapkan yang mengancurkan hidup kamu?"
Allura mengeraskan rahang dan menyeringai licik. "Kalaupun aku membuka mulut, hidupku juga pasti akan berakhir di tangan kamu. Jadi lebih baik aku diam, agar tetap dibiarkan hidup."
Noe tertawa pelan. "Kamu lupa, kalau kamu sendiri yang berusaha mengakhiri hidup kamu dengan menggelamkan diri di bak mandi gara-gara dicampakkan Aaron? Sementara aku ... yang justru berusaha menolong kamu untuk tetap hidup. Lalu siapa di sini yang berusaha untuk mengakhiri hidup?"
Allura membeku mendengarnya, terlebih mengingat pikiran bodohnya di bak mandi. Namun, pikiran itu kini telah berubah-ingin mencari tahu penyebab Aaron dan Joice menikamnya dari belakang.
Noe beranjak berdiri usai mendapatkan jawaban dari sorot mata Allura. "Sejak awal aku udah tahu kalau kamu menyimpan rahasia besar di dalam karir Aaron. Sayangnya kamu masih belum bisa menggunakan otak kamu dengan baik buat mencerna semuanya."
"Apa? Otak?" Allura menatap benci.
"Iya, otak. Dalam kata lain adalah bo ...doh," olok Noe.
Allura beranjak berdiri dan mendongak berhadapan dengan Noe. "Justru aku nggak sebodoh seperti yang kamu pikirkan, Noe. Kamu ... masih belum tahu banyak tentang aku. Soal tenaga aku memang kalah dari kamu, tapi soal akal ... kamu nggak bisa merehkan aku," lirihnya penuh tersirat.
Noe tersenyum pongah. "Dan jangan kamu kira aku nggak bisa ngebuat kamu membuka mulut, Allura. Mengingat kamu yang begitu tergila-gila sama Aaron, aku yakin ada hal lain yang belum kamu tahu tentang Aaron. Dan jika hal ini terungkap, mungkin bukan tenggelam di bak mandi yang akan kamu lakukan, melainkan melonjat dari gedung ini."
Napas Allura memburuh penuh amarah mendengar ucapan yang amat sangat merendahkannya. Tangannya kemudian terulur menunjuk pintu. "Keluar kamu sekarang."
Noe tertawa. "Fine. Aku yakin kamu juga udah kehabisan kata-kata buat beradu mulut sama kamu. Tenaga kamu juga pasti terkuras habis setelah gagal menyerangku dengan pisau."
"Kaluar!" teriak Allura penuh amarah.
"Kalau begitu selamat malam." Noe menyeringai dan melangkah keluar.
Bersambung.....
Dilarang plagiat!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Sandera
DragosteTepat di hari bahagia yang akan menjadikan Allura Milena pengantin perempuan yang cantik di pesta pernikahan, Allura justru berakhir di sebuah tempat asing bersama Noe Erlangga yang menodongkan pistol ke kepalanya, memaksanya untuk membongkar kejaha...