Chapter 145 - Ladang tak bertuan

6.6K 226 165
                                    

“Ini!!!”

“Panggil Anton kemari!” teriak laki-laki paruh baya berbadan tegap itu. Di tangannya selembar kertas berisikan informasi intelijen baru saja diperolehnya.

Di kepalanya, terngiang-ngiang kalimat bernada ejekan dari si Badut yang sekarang menjadi pemimpin tertinggi Utopia.

“Titis, tahukah kamu, tiba-tiba saja aku ingin menyenangkan istrimu. Kapan kau bisa mengantarnya ke sini?”

Krusaaakkkk.

Titis meremas kertas di tangannya dengan kuat. Titis seharusnya adalah salah satu Apostle Utopia menggantikan posisi Shakur. Tapi sejak telepon Clown aka Geppeto waktu itu, Titis tak pernah sekalipun melakukan kontak dengan Utopia.

Tapi itu bukan berarti Titis sudah keluar dari Utopia. Seluruh jaringan Utopia yang ada di Indonesia masih berada dalam kendali Titis. Dia tentu saja tak bisa melewatkan asset yang sedemikian luar biasa itu terlepas dari tangannya.

Hanya dalam waktu singkat, dengan sokongan dana dan serum dari Utopia, ada ratusan bahkan ribuan orang yang tergabung menjadi anggota Utopia secara terselubung. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Dengan titel Apostle yang dimiliki Titis, tentu saja dia dapat menggunakan semua asset itu dengan mudah.

Tak lama kemudian, seorang perwira polisi yang masih berusia muda, masuk ke dalam ruangan. Jarak pangkat antara Titis dan Anton memang terpaut sangat jauh. Tapi ada kedekatan lain antara mereka berdua. Anton adalah anggota Utopia.

“Informasi ini valid?” tanya Titis sambil menunjuk kertas yang sudah diremas tak beraturan di atas meja.

“Valid, Jenderal,” jawab Anton.

“Jadi, maksudmu, Kongzi dan Takeda mulai masuk ke negara ini dalam jumlah besar?” tanya Titis dengan nada mulai meninggi.

“Benar, Jenderal,” jawab Anton.

“Bedebah!! Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai medan perang ha?” teriak Titis.

Anton hanya terdiam.

“Militer? Apa sikap mereka? Biro? Kemana Biro?” kejar Titis.

“Penganut kita di Militer mengatakan, pimpinan mereka menyerahkan sepenuhnya masalah ini ke kepolisian karena ini bukan ancaman untuk kedaulatan negara tapi lebih ke arah bentuk gangguan keamanan seperti terorisme,” jawab Anton.

“Bedebah!!!” maki Titis.

“Biro sama sekali tak mengeluarkan pernyataan apa pun. Sejak Demon menghilang, Biro lebih banyak menutup diri dan bersikap pasif,” lanjut Anton.

“Mereka tak bisa seagresif dulu karena ujung tombak mereka sudah tidak ada lagi,” potong Titis.

“Tapi Kongzi dan Takeda, mau apa mereka? Apa mereka ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk dan menguasai Indonesia?” geram Titis, “Aku tak terima. Aku melakukan semuanya dan sampai saat ini belum bisa menguasai negeriku sendiri. Sekarang datang orang-orang asing yang ingin merebut kue dari tanganku?”

Titis terlihat berpikir keras. Dia tahu, tanpa Munding, Kongzi atau Takeda akan menelan mentah-mentah semua yang ada di negeri ini. Tak akan ada yang bisa menghentikan sepak terjang kedua organisasi serigala petarung itu.

Tak berapa lama kemudian, Titis membuang napas panjang. Sedari awal, memang terlintas satu solusi yang bisa membantunya menghadapi Kongzi ataupun Takeda. Tapi Titis tak ingin melakukannya. Karena kata-kata penghinaan itu masih tetap terngiang-ngiang di kepala Titis.

Tak ada jalan lain lagi, Titis harus menghubungi organisasinya sendiri. Titis memberikan isyarat kepada Anton untuk meninggalkan ruangan ini. Setelah itu, dia meraih handphone miliknya dan menekan sebuah nomor disana.

“Hahahahahahahaha.”

Sebuah tawa khas yang sangat dibenci oleh Titis terdengar di seberang sana setelah panggilan tersambung.

“Titis, aku sudah menunggu lama sekali untuk panggilan telepon ini. Kupikir aku harus menunggu lebih lama lagi karena mempertimbangkan tingginya harga dirimu,” kata Geppeto.

“Cut the bullshit!!” maki Titis.

“Hahahahahaha,” Geppeto kembali tertawa di seberang sana.

“Kau pasti tahu situasinya kan?” tanya Titis datar.

“Tahu?” Geppeto balik bertanya dengan nada mencemooh, “Aku tak hanya tahu. Aku yang menyebabkan semua ini!!” lanjutnya dengan nada bangga.

“Sekarang… Semua orang bergerak sesuai kendaliku. Mereka semua… Kalian semua… Hanya bonekaku!! Aku adalah Tuhan!!!” teriak Geppeto.

Titis hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagi Titis, baik Tommy ataupun sekarang, Geppeto, mereka sama sekali tak mengenal konsep Ketuhanan seperti masyarakat di negeri ini. Apakah Tuhan sesuatu yang sesederhana itu? Tapi Titis malas untuk membahasnya. Dia hanya membiarkan Geppeto meracau seperti orang gila.

“Sedari awal, aku sadar jika aku ini hanyalah umpan. Tapi… Demonlah yang menjadi ikan targetnya. Pemancingnya adalah si Botak dari Kongzi.”

“Si Botak membuat rencana untuk menyerbu Utopia dan dia mengajak Demon. Jika aku tidak bergabung dengan Utopia dan tak berada di Pulau Utopia, Demon tak akan mau menyerang. Titis, kau dan aku kenal seperti apa karakter Demon. Dia bukan seorang pahlawan. Dia tak akan mau melakukan sesuatu demi kemanusiaan atau apalah itu.”

“Padahal sesungguhnya, si Botak tak ingin tersaingi oleh keberadaan Demon. Dia ingin menghabisi Demon saat menyerbu Utopia dan seolah-olah membuat semua itu menjadi sebuah kecelakaan.”

“Tapi si Botak tak pernah menduga, umpan yang dia gunakan justru menjadi predator yang memaksa semuanya.”

“Hahaahahahahaha.”

“Bahkan sampai detik ini, aku yakin Kongzi pasti beranggapan bahwa pemimpin Utopia yang baru adalah Demon. Karena itu dia ingin menyandera keluarganya dan menggunakan mereka sebagai payung pelindung saat Demon menuntut balas.”

Titis menarik napas dalam-dalam. Dia sudah tahu kalau Munding berada di tangan Utopia saat Geppeto meneleponnya terakhir kali. Tapi dia sama sekali tak menduga situasi yang sebenarnya.

“Takeda?” tanya Titis dengan suara pelan.

“Demon’s allies,” jawab Geppeto.

“Utopia?” tanya Titis.

“Hahahahahahahahaha…” Geppeto tertawa terbahak-bahak setelah mendengar pertanyaan terakhir dari Titis.

“Utopia hanya akan melihat dari tepian. Aku akan membiarkan Kongzi dan Takeda saling membantai hingga mereka berdua kehabisan tenaga. Saat itu terjadi, aku akan datang dan mengalahkan semuanya!!” kata Geppeto dengan penuh percaya diri.

“Tapi… Indonesia yang akan menjadi medang perang mereka!!! Negeri ini akan hancur!!” potong Titis.

Tak terdengar suara sahutan apa pun dari seberang telepon selama beberapa saat.

Beberapa detik kemudian, suara Geppeto terdengar, “Kau pikir aku peduli?”

Panggilan telepon itu pun terputus dan meninggalkan Titis terpana di tempatnya. Satu-satunya kekuatan yang bisa mengimbangi Kongzi ataupun Takeda sekaligus organisasi tempatnya bergabung, menarik diri dengan mudahnya.

Itu artinya, Indonesia akan menjadi medan perang antara Kongzi dengan Takeda, meskipun nanti di depan layar, yang muncul ke permukaan adalah persaingan di dunia kejahatan antara Triad dan Yakuza. Kedua kelompok kejahatan terorganisir itu akan terlihat saling berebut pengaruh di dunia gelap tiap-tiap kota.

Titis, dan mungkin juga Geppeto, paham sepenuhnya. Sekalipun Takeda bergerak sebagai Demon’s Ally, tapi mereka pasti memiliki kepentingan di sini. Semua orang paham bahwa tak ada kawan atau musuh yang sesungguhnya, yang ada hanyalah kesamaan atau perbedaan kepentingan saja.

Negeri ini sekarang, ibarat ladang tak bertuan yang siap untuk diperebutkan. Dan badai pun akan segera datang.

=====

Author note:

Met ultah untuk ulatbuluuwu
Ucapannya biar diwakilkan ke tembmind, soal'e kebelet ini, buru-buru ke toilet. Wkwkwkwk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang