Chapter 116 - Berenang

3K 187 26
                                    

“Apa yang harus kulakukan?”

“Aku sudah mencoba untuk memanggil.”

“Aku sudah mencoba untuk pasrah.”

“Aku sudah mencoba untuk berteriak.”

“Aku sudah mencoba untuk menangis.”

“Aku melakukan semuanya. Tapi kenapa kamu tak juga menoleh ke arahku?” gumam Nurul sambil terisak-isak.

Ini mimpi yang kesekian kalinya yang Nurul alami. Mimpi terburuk sepanjang hidupnya yang membuatnya menyadari apa yang paling penting bagi dirinya melebihi dirinya sendiri.

Nurul turun dari kursi rodanya dan menggunakan tangan dan tubuhnya untuk beringsut mendekati ke arah Munding. Sama seperti sebelum-sebelumnya, Munding sama sekali tak menyadari kalau sang istri sedang bersusah payah untuk mendekatinya dengan susah payah.

Nurul terus bergerak maju perlahan-lahan dengan air mata melinang di wajahnya. Matanya tak beralih dari sosok suaminya yang kini mulai melangkah menjauh.

“Mas …” panggil Nurul lirih di sela isak tangisnya.

Dia tetap tak berhenti untuk berusaha. Dia tetap saja berusaha memanggil tanpa henti. Tak pernah lelah untuk mencoba. Tak pernah lelah untuk berharap. Hingga nanti pujaan hatinya akan menoleh kepada dirinya.

Nurul terus beringsut mendekati tembok tak kasat mata yang memisahkan dia dari sang suami. Dia menempelkan kedua tangannya ke tembok itu dan memukulnya pelan sambil terisak-isak.

Perlahan-lahan, tubuh Nurul turun ke bawah dan dia pun bersandar ke dinding itu sambil menangis.

Sekalipun ini sudah terjadi berkali-kali hingga dia lupa untuk menghitungnya lagi. Semakin hari, rasa sakit yang Nurul rasakan semakin kuat dan menjadi.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, Nurul hanya bisa menangis sendirian di tempat aneh ini. Tempat yang membuatnya mengalami rasa sakit yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

=====

“Aku ingin pulang dan beristirahat,” sungut Angga sambil memakan sebuah donat di tangannya.

“Sama,” jawab April sambil menganggukkan kepalanya dengan bersemangat.

Dian hanya melirik ke arah mereka berdua dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalian tahu tidak kenapa kita harus melakukan misi melelahkan ini?” tanya Dian tak lama kemudian.

“Kenapa?” tanya April dan Angga serentak.

“Karena Pakdhe dan Ketua bertemu dengan salah satu pembelot Utopia yang memiliki posisi sangat tinggi. Dari dia lah Biro mendapatkan informasi yang akurat mengenai petunjuk yang membuat kita berhasil mengantongi identitas orang-orang yang kita buru ini,” jawab Dian.

“Eh?” Angga dan April terperanjat.

“Jadi, pada dasarnya gara-gara Pakdhe juga kita musti kerja keras mengejar para alay yang bergabung dengan agama baru itu,” lanjut Dian.

Mereka hanya bisa menarik napas dalam-dalam ketika mendengar kalimat terakhir Dian. Semua yang berhubungan dengan Pakdhe, itu artinya adalah jalan buntu. Tak ada yang bisa mereka lakukan soal itu. Karena bagi mereka bertiga, Munding adalah langit di atas langit sekaligus atap yang selama ini menaungi mereka dari hujan dan panas. Munding juga menjadi sosok panutan yang mereka ikuti.

“Jadi?” tanya April setelah mereka terdiam selama beberapa saat.

“Jadi ya kita hanya bisa mengatupkan rahang dan menikmati semuanya. Jangan mengeluh,” jawab Dian sambil tersenyum pahit.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang