“Huft,” Amel menarik napas panjang.
Dia melihat ke depan dan membulatkan tekadnya. Dengan agak gugup dan tubuh gemetaran, Amel berjalan perlahan-lahan dengan sedikit berjingkat. Di tangannya terdapat sebuah ember kecil yang berisi sesuatu yang baru saja dia buat tadi.
Amel lalu kembali menarik napas panjang dan memejamkan matanya. Setelah beberapa detik, Amel kembali melangkahkan kakinya ke depan, mendekat ke arah kandang ayam yang kini hanya beberapa meter di depannya itu.
Sudah beberapa hari terakhir ini Amel belajar untuk hidup ala Munding dan Nurul. Amel tahu kalau pernikahan adalah sebuah kompromi. Ketika dua orang yang berbeda kepribadian dan latar belakang sepakat untuk menjalin rumah tangga bersama-sama, itu artinya mereka harus siap untuk berkompromi dan meninggalkan apa yang selama ini mereka nikmati.
Amel bukan lagi seorang gadis lajang yang bisa sesukanya bertindak dan bertingkah laku. Dia sudah menjadi istri sah seseorang yang sangat dia sayangi. Karena itu, mungkin orang lain akan menganggap apa yang Amel lakukan saat ini adalah suatu hal yang bodoh, tapi dia tak peduli.
Setiap orang berhak untuk hidup bahagia dengan caranya masing-masing.
“Ahhhhhhh,” teriak Amel ketika seekor ayam dengan lahapnya mematuk sisa makanan ayam yang masih ada di telapak tangannya.
Munding yang masih membuat olahan pakan ayam sambil duduk berjongkok tak jauh dari tempat itu hanya tersenyum kecil saat melihat tingkah Amel.
“Kan udah kubilang sih Mel, biar aku aja yang kasih makan ayamnya,” kata Munding pelan ke arah istrinya.
“Apaan sih Mas, Amel kan juga mau belajar,” protes Amel dengan bibir cemberut sambil mendekat ke arah suaminya dan memberikan ember kecil yang sudah kosong itu.
Munding hanya tersenyum kecut.
Siapa yang menyangka kalau wanita cantik dan anggun yang terlihat masih ketakutan dengan muka memerah di depannya ini adalah seorang tuan puteri yang selama hidupnya selalu dilayani oleh orang lain.
“Beneran mau coba kasih makan lagi?” tanya Munding sambil memindah olahan pakan yang dia buat ke ember yang ada di tangan Amel.
“Hu um,” jawab Amel sambil menganggukkan kepalanya.
Munding hanya tersenyum melihat istrinya, dia lalu pergi ke arah kran air di dekat situ dan mencuci tangannya. Setelah mengeringkan tangan dengan menggunakan bajunya, Munding berjalan pelan ke arah Amel.
Munding mendekat lalu mengusap keringat yang terlihat membasahi kening Amel perlahan-lahan. Amel sedikit kaget untuk sesaat lalu dia tersenyum bahagia. Amel lalu memejamkan matanya dan menikmati sentuhan tangan yang sedikit terasa kasar itu di wajahnya.
Munding tersenyum ketika melihat Amel memejamkan mata. Untuk sesaat, semua kenangan yang dulu pernah dia lalui bersama Amel saat remaja kembali datang memenuhi kepala Munding.
Hubungan mereka memang penuh lika liku dan aral melintang. Munding yang mencintai istrinya dan Amel yang tak pernah putus asa.
Munding dulu sempat berpikir bahwa perasaan Amel hanyalah cinta monyet semata yang akan hilang ditelan masa. Tapi seiring berjalannya waktu, Munding tahu kalau Amel benar-benar punya rasa untuk dirinya. Sebuah kesadaran yang terkadang membuat Munding terasa sesak dan penuh rasa iba saat memikirkan nasib gadis kota yang sejak dulu menyayanginya itu.
Tapi kini, semuanya berakhir tak seperti bayangan Munding, atau bahkan mungkin impian Amel sendiri.
Mereka berdua kini berdiri saling berhadapan di tengah siraman Matahari sore sebelum senja. Munding membelai pelan wajah cantik Amel dengan mesra. Amel memejamkan matanya menikmati sentuhan tangan suaminya yang membuatnya bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
munding:utopia
Action(Action) Utopia merupakan sebuah negeri khayalan yang diciptakan oleh Sir Thomas Moore dalam bukunya yang berjudul Utopia. Negeri ini berupa sebuah pulau di tengah-tengah Samudera Atlantik yang memiliki tatanan kehidupan yang ideal, dari semua segi...