Chapter 66 - Tinggal di Desa

3.3K 216 40
                                    

Sebuah mobil SUV menengah dan tidak terlihat terlalu mencolok memasuki batas desa Sumber Rejo. Si pengemudi adalah seorang gadis cantik dengan darah oriental dengan rambut panjang yang berwarna hitam. Sedangkan di sebelahnya seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan mengenakan kain yang hanya di selempangkan menutupi kepalanya.

“Cynthia… Menurutmu… Apakah kehidupan sederhana keluarga petani di tempat terpencil seperti ini tidak akan membosankan?” gumam Aisah ke arah muridnya yang terlihat fokus mengemudi.

Cynthia terdiam. Setelah sekian lama, tentu saja dia tahu tentang cerita masa lalu ketiga bersaudara Hambali, Sulaiman dan Aisah. Cynthia juga tahu tentang perasaan gurunya yang bertepuk sebelah tangan terhadap orang yang sekarang akan mereka kunjungi ini.

Cuma, Cynthia tak habis pikir. Dengan segala yang dimiliki oleh gurunya, pastilah bukan satu atau dua laki-laki yang memiliki rasa untuknya. Kenapa dia masih tetap saja teguh memegang rasa tak berbalas itu sejak dulu? Sekuno itukah prinsip para manula zaman prasejarah ini? Seperti itulah kira-kira isi hati Cynthia saat ini.

“Kamu diajak ngobrol kok diem saja?” tegur Aisah pelan.

Cynthia tersenyum kecil sambil memalingkan wajahnya. Sebenarnya, kalau boleh jujur, Cynthia sangat suka saat-saat seperti ini. Lebih tepatnya, saat-saat dimana Gurunya sedang bersama Paman Gurunya, Ahmad Hambali. Karena hanya saat seperti inilah, sosok feminim dan lembut gurunya akan keluar. Persis seperti barusan.

Di lain waktu dan kesempatan, Cynthia pasti sudah kena pukulan tongkat atau teriakan yang memekakkan telinga.

“Itu… Masalahnya… Cynthia kan tak tahu kehidupan kek gini Guru… Jadi Cynthia tak bisa jawab,” elak Cynthia.

“Huft,” dengus Aisah kesal lalu diapun kembali melihat sawah-sawah yang membentang di kiri kanan jalan, ingatannya kembali melayang ke sosok yang dulu datang di kala dirinya sudah benar-benar pasrah akan nasibnya.

Aisah bukan tak pernah didekati laki-laki lain. Tapi bayangan itu selalu ada dalam dirinya dan tak pernah bisa dihapusnya. Bayangan laki-laki yang merubah hidupnya untuk selamanya. Aisah tak bisa menerima laki-laki lain, saat dia belum bisa menghapus bayang-bayang sosok itu, karena bukan kah itu sama saja dia justru akan menyakiti laki-laki itu?

=====

“Ni oleh-oleh… Kami barusan dari Bandung,” kata Cynthia ceria sambil memberikan bingkisan yang dia bawa ke tangan Bu Nyai.

Cynthia lalu seperti seekor kucing yang lama dipelihara dalam kandang kemudian dilepaskan. Dia langsung kesana kemari dan bercengkerama dengan Amel dan Nurul. Dia juga berusaha menggendong Alit yang sedang asyik bermain sendiri di teras rumah.

Munding, Leman, Pak Yai, mereka bertiga terlihat berbicara dengan nada serius dengan Aisah di halaman rumah sambil sesekali melihat ke arah Nurul yang duduk di kursi rodanya sambil tersenyum-senyum ketika melihat ulah Alit yang digoda oleh Cynthia dan Amel. Ibu membawa bingkisan yang dibawah oleh Cynthia ke dalam lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan minuman untuk kedua tamunya yang baru datang. Tapi tentu saja, Amel segera menyusul Ibu untuk membantunya.

“Makanya aku heran tadi Mas saat pertama datang kesini,” gumam Aisah, “Kok ada petarung awakening di sekitar sini. Apalagi saat aku tahu itu ternyata Nurul, kaget aku Mas,” lanjutnya pelan.

“Kita masih mencoba mencari tahu. Munding juga memonitor terus perkembangan Nurul. Dia tak pernah latihan secara formal, aku juga yakin kalau dia mungkin tahu konsep naluri predator baru beberapa hari belakangan ini, setelah dia mengalami awakening. Tapi untungnya, sampai saat ini tak terjadi apa-apa,” jawab Pak Yai.

“Jadi maunya Mas gimana?” tanya Aisah tanpa menolehkan kepala ke arah Pak Yai dan justru melihat ke arah Nurul.

“Mmm. Aku mau minta tolong, bantu aku ajari anakku. Aku tak butuh dia menjadi seorang petarung. Aku hanya ingin dia bisa menguasai naluri predatornya, itu saja,” jawab Pak Yai tegas.

“Tapi kondisi Nurul kan seperti itu Mas,” jawab Aisah cepat.

“Maksudmu… Kakinya?” tanya Pak Yai.

“Bukan… Bukan kakinya,” potong Aisah cepat, “Maksudku, dia kan punya Alit, dia juga ndak bisa kemana-mana kan?” lanjutnya.

“Bukannya kamu bisa tinggal disini?” Pak Yai bukan menjawab pertanyaan Aisah tapi justru balik bertanya.

“Eh?” Aisah tercekat.

Ini bukan seperti dulu saat mereka semua menunggui Munding dan Nurul di rumah sakit. Saat itu kondisi adalah emergency dan mereka tak mempunyai waktu untuk berpikir. Mereka semua juga fokus untuk menyelamatkan orang lain jadi sama sekali tidak ada pikiran macam-macam.

Tapi kali ini lain.

Muka Aisah terlihat sedikit memerah. Sekalipun usianya 43 tahun, tapi entah kenapa, Aisah selalu bertingkah seperti gadis kecil di depan Pak Yai.

“Nanti kamu sama Cynthia bisa tinggal disini. Aku rasa tak butuh waktu lama untuk mengajari Nurul untuk mengendalikan naluri predatornya kan?” tanya Pak Yai.

“Aku belum tahu Mas, musti dilihat dulu,” jawab Aisah.

“Oiya satu lagi, aku memintamu untuk mengajarinya sesuatu yang sederhana. Tak perlu kan mengangkat dia menjadi murid secara resmi. Jadi secara status, penerusmu tetap Cynthia,” kata Pak Yai.

“Mmm. Kenapa? Kan dia bisa jadi murid keduaku?” gumam Aisah.

“Terserah. Kalau Nurul mau,” jawab Pak Yai.

Setelah diskusi itu berakhir, mereka semua bercanda dan melepas rindu dengan menceritakan perjalanan mereka masing-masing selama berpisah selama beberapa waktu ini.

=====

“Hahahahahahaha.”

Sebuah suara tawa terdengar dari sebuah ruangan yang berada di pusat kota Jakarta. Ruangan ini merupakan sebuah apartemen super mewah milik salah seorang artis yang sedang naik daun dan viral di berbagai media.

“Bagaimana kado ucapan selamat dariku?” terdengar suara lembut dan genit dari seberang sana.

“Istimewa!!” jawab Titis dengan suara riang.

“Itu masih belum seberapa. Kapan-kapan, mainlah ke Pulau Utopia, disini, ada yang 100 kali lebih menyenangkan daripada itu. Mmmm…” Apostles Lee terdengar terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia berkata lagi, “Siapa tahu… Mungkin bisa saja kamu mendapatkanku…” goda Lee ke Titis.

Titis sempat tertegun untuk sesaat lalu tak lama kemudian dia tertawa keras dan mukanya memerah entah karena apa.

“Kamu serius Lee? Jangan lari jika aku kesana ya?” tanya Titis dengan suara yang bersemangat.

“Tentu saja serius, tapi semua ada harganya,” jawab Lee sambil tertawa kecil.

“Aku tahu… Sebutkan harganya!!” kata Titis tanpa ragu.

“Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas penyerangan ke Surga Kedua yang ada di Papua,” kata Lee cepat.

Titis terdiam sebentar lalu menjawab pelan, “Biro.”

“Bullshit!!” teriak Lee dari seberang sana.

“Apa maksudmu??” kata Titis dengan suara meninggi.

“Jangan permainkan aku. Aku tahu peta kekuatan Biro dengan pasti. Mereka hanya bocah-bocah ingusan dengan level tertinggi tahapan inisiasi,” balas Lee.

“Lee. Pelakunya adalah Biro. Aku jamin itu. Tapi penyerang utamanya adalah Demon,” jawab Titis.

Lee terdiam.

Tak lama kemudian, “Aku ingin tahu semua yang kau ketahui tentang Demon,” kata Lee dengan nada kesal.

“Lee oh Lee, bukankah ini transaksi? Aku sudah membayar dengan informasi tadi, mana bagianku? Jangan meminta lebih sebelum hutangmu lunas terlebih dahulu,” kata Titis dengan nada arogan.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang