Chapter 28 - Racun part 1

4K 221 102
                                    

Nurul melihat kearah Alit yang masih bermain di halaman rumahnya. Dia duduk di atas kursi rodanya dan tersenyum saat melihat Alit berlari kesana kemari dengan Amel. Sesekali, Nurul akan menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk membuang rasa sesak yang menghimpit dadanya.

Meskipun dia berusaha untuk rela dan menerima Amel, bahkan dia sendiri yang meminta Munding untuk menikah lagi, tapi tetap saja ada sesuatu yang terasa menghimpit dadanya.

Nurul tidak tahu apa itu tapi rasa itu nyata. Logikanya selalu mengatakan kepada Nurul kalau apa yang dia lakukan adalah tindakan yang benar, apa yang dia lakukan adalah demi masa depan Munding dan Alit. Dan itu adalah yang terbaik bagi dua orang yang disayanginya.

Tapi, ada sesuatu dalam dadanya yang seakan tak bisa menerima hal itu.

Semakin Nurul berusaha menekannya, rasa itu semakin menguat. Bahkan selama beberapa hari terakhir ini, Nurul merasa kalau ada sesuatu dalam dirinya yang seakan-akan bukan dirinya. Seperti ada sesuatu yang sedang merasuki Nurul dan pelan-pelan berusaha untuk mengambil alih tubuhnya.

Hari demi hari berlalu.

Alit tumbuh makin besar dan makin dekat dengan Amel. Munding dan ketiga anak didiknya juga sekarang sering mendapatkan penugasan keluar dari Arya. Tapi Nurul sama sekali tak pernah merasa ingin tahu tentang penugasan itu. Yang terpenting, suaminya pulang dengan selamat.

Kaki Nurul juga sama sekali tak menampakkan tanda-tanda akan membaik meskipun sampai sekarang dokter dan tim ahli yang menangani Nurul juga sedikit heran, karena tidak ada sama sekali tanda-tanda pengecilan dari kaki Nurul yang selama ini tidak digunakan itu.

Kaki Nurul masih tetap berukuran normal dan sama sekali tidak terlihat menjadi bagian tubuh yang seolah-olah cacat atau mempunyai kelainan.

Suaminya juga masih tetap menyayangi Nurul seperti dahulu. Sama seperti sebelum ada Amel diantara mereka bertiga. Kini keluarga kecil Nurul sudah terdiri dari empat orang anggota.

=====

Alit kini berusia hampir tiga tahun.
Munding menggendong anaknya sambil tertawa lebar. Di belakangnya, seorang wanita sedang mendorong seorang wanita lainnya yang duduk diatas kursi roda sambil berbincang-bincang pelan.

Munding terlihat bahagia dengan Alit yang bergerak lincah di tangannya. Sesekali Munding akan mencium pipi dan bibir anaknya yang masih lucu dan lugu itu.

Ketiga anak didik Munding tidak bersama mereka. Ini adalah libur yang Munding berikan kepada mereka setelah hampir seminggu mereka menerima penugasan di perbatasan Papua New Guinea oleh Biro, dan mereka memang layak mendapatkan liburan itu.

Dengan alasan yang sama, Munding mengajak keluarganya untuk menikmati akhir pekan mereka juga saat ini, bersama Nurul, Alit, dan Amel.

Munding dan keluarganya berjalan-jalan di komplek wisata yang ramai karena akhir pekan itu tanpa memperhatikan sekelilingnya. Munding juga hanya bersiaga dengan memasang domainnya dengan diameter tak lebih dari 5m saja. Lebih dari cukup untuk melindungi keluarganya.

Tapi tanpa sepengetahuan Munding, seorang laki-laki dengan tampilan seperti pengemudi ojek online selalu memperhatikan gerak-gerik rombongan Munding dari tadi. Lebih tepatnya, si ojol ini sedang mengawasi Nurul yang duduk di kursi rodanya.

Dia menggunakan handphone miliknya untuk mengambil gambar Nurul dan langsung mengirimkannya tanpa jeda ke sebuah nomor luar negeri.

Nun jauh disana.

“Itukah Demon?” gumam Blackhand sambil mengusap-usap kedua tangannya yang menggunakan sarung tangan dengan panjang sampai ke lengan.

“Iya,” jawab Knife dengan nada datar dan suara dalamnya yang misterius.

“Hmmm. Ada perkembangan terakhir?” tanya Lee sambil meminum anggur yang ada di depan mereka.

Lee duduk di atas meja sambil melihat kearah sebuah layar yang menunjukkan beberapa foto yang baru saja mereka terima beberapa detik lagi. Blackhand dan Knife berdiri di sebelah kanan meja, sedangkan meja dan kursi yang ada di belakangnya sendiri kosong. Tak ada seorang pun disana.

Itu adalah meja milik Tommy dan tak ada yang berani duduk di sana. Lee sendiri memilih duduk di atas meja dan menciptakan sebuah pemandangan indah dari view belakang seorang wanita dewasa.

“Ini perkembangan terakhir yang kita punya,” jawah Knife atas pertanyaan Lee.

“Hahahahahahaha,” sebuah tawa terdengar keras dari mulut Blackhand, “Kita hanya melihat mereka menikmati liburan keluarga kecil mereka dan kau sebut ini perkembangan terakhir?” bentaknya.

Knife hanya melirik sebentar ke arah Blackhand dan tersenyum kecil di balik topengnya yang memang tidak menutupi bagian bawah mukanya, “Blackhand, mungkin sudah terlalu lama kejadian itu terjadi dan kau mulai lupa. Apakah kau yakin ingin mencoba lagi berduel denganku?” tantang Knife.

Blackhand terdiam dan dia tak lagi bersuara. Mereka berdua memang pernah berduel dan berujung pada kekalahan dirinya dan Blackhand tak yakin kalau dia akan mampu mengalahkan Knife, setidaknya untuk saat ini.

“Knife, jadi apa usulanmu?” tanya Lee.

“Rencanaku sederhana. Di saat dia masih menjadi manusia normal, kita habisi. Cepat, tepat dan mematikan,” gumam Knife sambil menatap ke layar monitor dengan tatapan sinis dan sadis.

“Dengan Demon di sisinya, mungkinkah kita menghabisinya?” gumam Lee.

“Humph. Demon, dia hanyalah petarung yang besar di sebuah tempat terpencil dan tak pernah melihat luasnya dunia. Aku bisa menghabisinya dengan mudah,” gumam Knife jumawa.

Lee dan Blackhand hanya terdiam saja mendengar sesumbar Knife.

“Jadi?” tanya Lee tak lama kemudian setelah mereka bertiga terdiam selama beberapa saat.

“Aku akan ke sana. Ke negara kecil yang disebut Indonesia itu. Aku ingin melihat sehebat apa orang yang dijuluki Demon,” kata Knife sambil mencibir.

“Ajak Clown. Dia pernah kesana. Aku rasa dia cukup familier dengan negara itu,” kata Lee.

“Tapi, bukankah si Badut mesum itu sedang sibuk menyiapkan serum untuk Utopia?” tanya Blackhand.

“Sudah selesai. Kita punya stock yang cukup untuk digunakan selama beberapa tahun kedepan. Aku tak mau si Badut itu hanya bersenang-senang di lab-nya dengan dalih penelitian,” cibir Lee.

Mereka bertiga lalu terdiam dan hanya menatap ke foto yang ada di layar monitor yang berada di depan mereka.

=====

Di dalam sebuah ruangan yang berisi perabotan mewah, seorang laki-laki berkulit hitam berdiri sambil menggenggam pistol ditangannya dengan erat. Di sekelilingnya terbaring beberapa tubuh yang terlihat bergelimpangan dan bersimbah darah.

Tubuh laki-laki itu bergetar dengan hebat dan melihat kearah dua orang yang berada di depannya dengan tatapan ketakutan. Dia baru saja menyaksikan salah satu pemandangan yang paling mengerikan seumur hidupnya.

Si laki-laki berkulit hitam adalah seorang Presiden dari sebuah negara kecil di Benua Afrika. Negara yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan mereka selama beberapa tahun lalu. Timba, itulah nama sang presiden, dengan semangat dan gigih ingin membangun negerinya yang masih rapuh bagaikan balita.

Tapi Timba tak pernah menyangka kalau hari ini, dia akan mengalami hal yang membuatnya menyadari bahwa status Presiden yang disandangnya sama sekali tak berarti di depan kedua orang yang sekarang berdiri di depannya.

munding:utopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang